Sejenak Bersamamu

Duh, debar di dada tak kunjung berhenti, tapi justru semakin cepat, seperti derap kaki kuda yang berbaris mengarak pawai di jalanan. Tenanglah, wahai hati yang tak sabar, rapalku berulang-ulang agar jantung ini tak meloncat keluar karena saking cepatnya berdetak.


Seperti apa ya kamu sekarang? Masihkah kurus tinggi dengan rambut belah tengah, hidung mancung, serta senyum manisnya itu lho. Ah, apa sih yang sedang aku khayalkan. Semoga kamu masih ingat aku, harapku dalam hati.

Kuamati ponsel di tangan kananku. Rasa tak sabar menunggu waktu yang serasa lama berdetak. Masih belum ada sms atau telfon yang mengabarkan ada di mana posisimu sekarang.

Sebaris sms bergetar masuk dalam ponselku. 
"Aku di depan, keluar saja dulu ya, " bunyi sms mu.
Hah,  depan mana? Depan mall kah? Kenapa tak masuk saja dan mencariku di jajaran food court ini? 
"Masuk saja dalam mall. Aku masih di dalam, di es teler 77," balasku segera.
"Oke, aku ke dalam."

Kuseruput es teh lemonku sampai tandas tak tersisa seperti gelas yang bocor, tak menyisakan dari yang kupesan. Berharap dinginnya air teh sedikit mengurangi rasa gugup yang makin memenjaraku.

Mataku tak lepas dari memandang arah pintu masuk. Nampak dari jauh sosok tinggi jangkung memakai jaket abu-abu, dengan dua tangannya masuk dalam kantong jaketnya, matanya terlihat mencari-cari ke dalam deretan orang yang sedang menikmati hidangannya di atas meja. Benarkah itu kamu? Sosok yang sedang kutunggu kurang lebih lima belas menit ini juga nampak menatapku dari jarak kurang lebih lima meter. Senyum kami langsung merekah saat kami saling mengenal. Kamu tak berubah dari fisik, batinku. Hanya wajahmu terlihat lebih dewasa, bukan lagi wajah kekanakan yang dahulu kukenal.

"Maaf, lama menunggu ya?" sapamu langsung duduk di depanku. Terlihat olehmu, aku yang salah tingkah, tangan dingin saat berjabat tangan tadi, dan mungkin mukaku pias seperti terpidana menghadapi hukuman mati di persidangan. "Tak ada yang berubah darimu, tetap kecil, tapi makin ayu wajahmu." ucapmu tanpa menghiraukan salah tingkahku kau tatap seperti itu. Tatapan mata yang masih sama, teduh menyejukkanku, membuatku selalu merasa nyaman tak ingin berpindah. Kutanggapi dengan cengengesan khas gayaku mendengar ucapanmu.

"Cepat habiskan makananmu, De. Atau kita ngobrol di sini saja?"

Aku terdiam, bingung lebih tepatnya. Sepuluh tahun tak bertemu, tentunya aku ingin lama berbincang dengannya.

"Hei, De!" kembali suaramu mengagetkanku. "Kok malah bengong. Sudah habiskan dahulu makannya, kita ke atas saja yuk, ngobrol sambil cari buku ke gramedia."

Aku hanya mengangguk setuju tanpa komentar apa-apa persis seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dia masih hafal kebiasaanku, mengunjungi buku-buku yang rapi dipajang untuk sekedar membaca atau syukur-syukur membeli. Segera kuhabiskan nasi goreng pesananku. Kamu yang di hadapanku justru asyik menatapku memasukkan suap demi suap nasi goreng dalam mulutku.

Terukir senyum manismu saat tahu aku sudah menyelesaikan santapanku. Menggandeng tangan kananku beranjak menuju lantai tiga. Genggaman tangan kirimu yang kokoh hangat, menghantarkan getaran-getaran listrik sampai ke sudut hatiku. Kutatap wajahmu dari samping, tenang tanpa salah tingkah sepertiku. Jujur tak ingin kutarik tangan kecilku dari genggamanmu. Ya, aku nyaman digandeng olehmu, tak pernah takut. Bagaimanapun sepuluh tahun yang lalu kamu selalu melindungiku dari gangguan tangan-tangan usil yang menggodaku ketika bermain.

Merasa risih kutatap dari samping sepanjang naik ke lantai tiga, dipencetnya hidungku. Malunya aku, ketahuan menatap wajahnya tanpa kedip. Mukaku rasanya panas, mungkin pipiku juga merah merona, laiknya kepiting yang direbus.

"Kenapa, De?" tanyamu setelah memencet hidungku. "Ada yang ingin Ade ceritakan?"

Kugelengkan lemah kepalaku menjawab pertanyaanmu. Padahal dalam hati aku berujar, banyak, Mas, yang ingin kuceritakan. Tapi cukupkah waktu memberikan ruang kepada kita? Sedangkan aku tahu, Mas bisa keluar menemuiku sekarang juga di sela-sela kesibukanmu di resto.

Sampai di lantai tiga, langkah kaki kami langsung menuju deretan buku yang berjajar rapi dengan jenisnya masing-masing. Ditariknya tanganku menuju deretan novel. Mataku langsung terhenti, menarik tangannya agar ikut pula berhenti.

"Mau beli buku ini?" tanyamu menunjuk salah satu buku. Diambilnya buku yang sebenarnya memang sangat ingin kubeli, memasukkan ke dalam tas belanjaan. 
"Bagaimana kabar mas Wid? Sehat semua kan?"
"Semua sehat, alhamdulillah." kujawab pertanyaanmu sambil membolak balik halaman buku novel lainnya. Wajahmu menatapku. Diangkatnya daguku mendongak ke wajahmu. "Apa yang terjadi, De? Ade nampak murung. Ayo, ceritalah."

"Mas Ayub," pelan kusebut namanya. Kembali tatapan mata teduhnya menjawab panggilanku.
"Aku akan dijodohkan oleh mas Wid, dengan temannya." lirih kukatakan apa yang membuatku ingin bertemu. Ada perasaan yang terpendam selama sepuluh tahun tak bertemu langsung. Hanya dua bulan terakhir intens berkomunikasi melalui facebook. Baru kali ini bisa bertemu. Aku memendam rasa, Mas. Aku ingin berjodoh denganmu, bukan dengan pilihan mas Wid, rintihku.

"Terus, De?" tanyamu menunggu cerita ku. Wajahmu serius menatapku, tentu saja sedikit menunduk karena dia lebih tinggi dariku. Aku hanya sepundaknya jika berjalan.

"Aku nggak mau, Mas."
Kudengar nafasmu berat, menyisakan ruang yang tak pernah kutahu. Melihat tatapan matanya padaku, aku yakin, aku masih menjadi wanita dalam pelukan hatinya.

"Seandainya aku belum melamar seorang gadis, tentu aku akan meminangmu, De. Tiga bulan lalu aku melamarnya. Maafkan aku yang tak pernah mencoba mencari kabarmu selama sepuluh tahun. Saat bertemu di facebook, aku sudah melamar gadis itu." jelasmu.

Kedua mataku terasa panas, siap memuntahkan kesedihan dari sudut telaga. Tak bisakah dirubah? Toh janur kuning belum melengkung? Tuntut batinku. Jebol sudah pertahananku, mengalir juga apa yang kutahan dari tadi. Tanganmu mengusapnya pelan.

"De, maafkan aku,"
Aku hanya mengangguk. Tak ada yang perlu dipaksakan dalam setiap keputusan. Goresan tinta penguasa langit tentu lebih indah, jika kita mampu memaknainya dengan rasa syukur.

"De, senyumlah. Ini pertemuan kita sebelum Ade bersanding dengan pilihan mas Wid, dan aku dengan pilihanku. Aku hanya ingin melihat senyummu. Kamu tetap adikku."

Kuanggukkan kepalaku. Genggaman tanganmu kurasa makin erat. Jangan dilepaskan mas, setidaknya untuk terakhir ini, jeritku merintih.


#OneDayOnePost
tantangan analogi

Share:

21 komentar

  1. Terpikat dengan diksimu mbak Lisa..
    Baper bener deh baca tulisan ini.
    Sedih..😭

    ReplyDelete
  2. Aih... mbakkkk. Baper bener deh ah bacanya.. kereeeen. Terbawa perasaan aku.

    ReplyDelete
  3. Aaaahhh...ceritanya...kita bangeeett..sukaaaaa...

    ReplyDelete
  4. Hahaha ... Cah Kae!!
    Reuni mben ketemu nuw Lis 😊😆

    ReplyDelete
  5. Brother and sister zone juga akhir ceritanya :D

    ReplyDelete
  6. Tak ada yang perlu dipaksakan dalam setiap keputusan... Super sekali, cerita yang cukup menyedihkan.. He..

    ReplyDelete
  7. pngalaman pribadi kah mbak? Kerennn alurnya dapett

    ReplyDelete
  8. Jodoh tidak akan tertukar ya mbk Lisa...., dan pastinya akan bertemu ^^

    ReplyDelete
  9. Baper, bun lis... cedih tahu. Cinta bertepuk sebelah tangan atau apa nih...

    ReplyDelete
  10. andai... oh, andai...
    biarlah waktu yg menjawab semua tanya itu...

    ReplyDelete
  11. Aagghhh...mbak lisa ...ceritanya buagus bangetzz..ikut deg2 an...tapi bikin baper....
    Abang n adik Zone....hiks hiks hiks... #curcol ...wkwkkwwk

    ReplyDelete