Sepenggal Kisah

Menyusuri lorong keluar dari stasiun Tugu, berjalan pelan dengan perasaan tak menentu. Ada harap semoga terjadi, tapi terselip juga sebuah ketakutan, tak akan bisa bertemu. Lalu lalang orang keluar masuk stasiun Tugu sedikit mengobati cemasku. Mereka yang berjalan pelan, ataupun seperti berkejaran dengan waktu. Sedikit memacu kecepatan langkah kaki agar cepat sampai sepertinya. Kedua kakiku sengaja kulangkahkan perlahan saja. Terasa ringan badanku, separuh raga seperti terbang meminta sang waktu agar berpihak kepadaku.


Kini aku berdiri di depan stasiun Tugu. Menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sosokmu, siapa tahu sudah menungguku. Celingukan di antara hiruk pikuk keramaian stasiun, sosok tinggi yang kumaksud tak nampak juga. Mungkin sebentar lagi, doaku dalam hati. Meskipun sebagian doaku menguap, mengingat percakapanku denganmu dua hari lalu ketika aku membeli tiket kereta untuk menemuimu ke Jogja.

"Ade mau ngapain ke Jogja? Aku belum tentu bisa menjemputmu, batalkan saja ya," ucapmu ditelfon ketika aku kabarkan bahwa aku hendak ke Jogja menggunakan kereta api. Tiket yang waktu itu sudah kupegang, tak membuatku mengurungkan niat.

"Aku sudah terlanjur beli tiketnya," pelan aku menjawabnya. Kudengar desahan berat nafasmu membalas jawabanku.

"Kenapa tak bisa menjemputku di stasiun?" tanyaku kembali, kini dengan suara nyaris tak terdengar. Sudut mataku sudah berkumpul cairan bening yang siap tumpah.

Kembali kau menarik nafas berat. "Nggak bisa dibatalkan, De?"
Kujawab pertanyaanmu dengan gelengan kepalaku, tanpa sadar, seolah kau melihat jawabanku. Padahal kau ada di seberang telfon, tak mungkin melihat.

"De," lirih suaramu memanggilku. Sekuat hati kutahan isak yang hampir keluar. 
"Iya,"
"Batalkan ya," masih memintaku dengan lembut. 
"Mas repotkah hingga tak bisa menjemputku?"
"Besok lusa mas ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Mas nggak tahu jam berapa selesainya acara. Takutnya sampai malam." jelasmu.

Kedua mataku semakin memanas, perlahan mulai turun bulir-bulir dari telaga mataku. Sebisa mungkin isak ini kutahan, agar kau tak mendengarnya.

"Nggak apa-apa kalau mas ada acara. Aku tetap akan ke Jogja, tiket sudah kubeli, sayang kalau tidak berangkat." sekuat hati kujelaskan rencanaku. Tanpamu atau denganmu, aku akan tetap berangkat, keputusan yang kini membuatku tak karuan saat kakiku sampai di kotamu.

Tiga puluh menit berlalu meninggalkanku yang masih berdiri mematung di samping mini market pintu pembelian tiket kereta. Mataku mulai siap-siap menumpahkan telaganya. Berkali-kali menatap layar ponsel, berharap kau menelfonku sekedar mengabarkan kalau kau tak bisa.

Kutarik selembar tisu, mengusap sudut-sudut mata. Menahannya agar tak menjadi tangisan. Lebih baik aku tetap berjalan menyusuri Malioboro mengusir segenap rasa cemas yang mulai memenjaraku.

Rintik hujan menemani langkahku berjalan menyusuri Malioboro. Ramai sekali dengan wisatawan. Suara pedagang satu dan lainnya bersaing menjajakan dagangannya. Aku hanya tersenyum menanggapi rayuan setiap pedagang. Tak berniat membeli, hanya ingin mengusir sebentuk rasa yang mulai tak enak. Seiring waktu yang terus menggelinding, menyisakan senja yang akan menghampiri. Masih sepi dari harapan kedatanganmu. Puas berjalan sepanjang Malioboro, aku kembali memutuskan kembali ke stasiun. Memesan tiket untuk kembali pulang, dan mencoba untuk menghubungimu.

Berkali-kali terdengar mail box menjawab telfonku. HP mu mati rupanya. Terduduk lemas di sudut stasiun dengan tiket kepulangan jam 19.00 sudah kupegang. Kau benar-benar tak muncul, bahkan tak memberiku kabar. Kau tak berusaha untuk muncul sekejap saja. Bukankah kesibukanmu untuk menyiapkan hidangan pernikahan ada di sepanjang Malioboro juga? Menjadi sosok penting dari sebuah acara, membuatmu tak menyempatkan mengabariku. Apakah Chef sepertimu harus stand by selama acara berlangsung?

Aku membeku dalam tangisan kecil yang tertahan. Tertunduk dan sesekali mengambil tisu untuk mengelapnya. Waktu berputar dan tak berpihak kepadaku. Sebentar lagi kereta yang akan membawaku kembali tiba. Kuketik sebuah pesan singkat, "Aku pulang, Mas. Naik kereta jam 19.00."

Sudahlah, putusku dalam hati. Bagaimana pun juga, aku tak bisa memaksamu untuk datang dan meninggalkan tugasmu. Aku yang salah, tetap nekat datang padahal kutahu, kau sudah mengatakan tak bisa. Gontai dan masih menyisakan air mata, tapi kakiku tetap menyusuri lorong stasiun tugu. Berharap kereta cepat datang sehingga aku bisa melepaskan lelah di dalam kereta. Syukur-syukur kalau kereta sepi, bisa membuang kembali sedih yang mendera.

Pesanku terkirim. Tepat pukul 19.00 kulihat kereta dari arah barat, perlahan bergerak ke arah timur. Berhenti gerbong ketiga di hadapanku. Segera aku naik dan mencari duduk sesuai nomor yang tertulis. Sepi, hanya ada penumpang di kursi seberang. Berarti aku duduk sendiri. Kurapatkan jaket coklat yang membungkus tubuhku, mengusir dinginnya AC dari kereta. HP bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Namamu terlihat dari layar ponselku.

Kuabaikan panggilan telfonmu. Sekali, dua kali, hingga empat kali seiring berangkatnya kereta mengantarku pulang. Tanpa sadar aku kembali menangis. Sedih luar biasa. Berharap bisa berjalan menyusuri Malioboro bersamamu seperti tahun lalu, ternyata menyisakan luka. Kunikmati perjalanan keretaku. Inginnya memejamkan mata, mengusir rasa sedih.

Kembali ponselku bergetar. Akhirnya kuangkat telfonmu. Membalas salammu pelan, karena tangisku masih meraja.

"De," pelan suaramu memanggil. Aku tak berniat menjawab. Kubiarkan suaramu menggantung.

"Sudah jalan keretanya?"
"Sudah,"
"De, maafkan mas," kau meminta maaf.
Aku kembali terjebak dalam diam. Aku yakin kau pun mendengar isakku.
"De," kembali suaramu memanggilku pelan. Entahlah apa yang sedang bergelut dalam benakmu.

Tak berniat menjawab panggilanmu. Kubiarkan kebisuan ini menemaniku. Aku yang biasanya ramai dengan cerita, nampaknya kehabisan cerita. Kau di seberang pun membiarkan kebisuan ini, dan hanya mendengarkan tangisku berlomba dengan jeritan kereta yang melaju.

Cukup lama keadaan ini kubiarkan, hingga aku memutuskan. 
"Sudah ya, aku tutup telfonnya. Sayang pulsanya,"
Lama kutunggu jawabanmu, hingga keluar suaramu.
"Hati-hati ya, De," akhirnya kau menjawab dan kututup segera telfonmu. Aku hanya ingin menuntaskan tangisku. Tanpa diganggu.

Sudahlah, tak usah menangis lagi. Ini memang kesalahanku. Hiburku dalam hati.

Ada pesan masuk ketika aku akan memasukkan ponsel ke dalam tas kecilku. Pesan darimu.

"De, semoga ada maaf untuk mas. Kuharap esok mas masih bisa mendengar suaramu. Tangis dan diammu tadi sudah cukup menghukumku. Tak ada yang salah hari ini, hanya waktu yang belum bisa berkompromi dengan kita. Besok pagi aku akan menyusulmu. Telfon mas jika sudah sampai di rumah. Hati-hati ya, De."


#OneDayOnePost
Secuiltulisanuntukmu

Share:

11 komentar

  1. stasiun tugu Yogya ya, jadi inget sama stasiun Lempuyangan :D

    ReplyDelete
  2. Wah wah wah... sabar mbanya yg menunggu di jogya seorangan... si masnya sudah minta maaf... maafkan, yah... hehehe

    ReplyDelete
  3. Aku jemput aja sini sini. Tinggal bayar aku jemput hehe

    ReplyDelete
  4. Hmm sedih aku mb...seperti merasakan sesuatu.baper.com

    Yogya penuh kenangan

    ReplyDelete
  5. Aaaahhh...baca ini pagi-pagi rasanya gimana gitu...bisa ngrasain cerita itu...hehe

    ReplyDelete
  6. ya gitu deh cewek.. rasanya gimana gitu kalo nggak dinomor satukan.. jadi inget jaman......hahahaha *ah sudahlah..

    ReplyDelete
  7. Cah kae ...
    Selalu memberi ide cemerlang dlm tulisanmu Lis

    ReplyDelete