Karena Cinta (bagian 10)

Sasya tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya mengembara mengingat setiap kepingan kenangan bersama Ayub suaminya. Bagaimana mereka menjaga hingga sampai pada harapan yang nenyenangkan. Banyak hal yang sudah mereka lalui bersama. Seketika Sasya ingat, dia ngambek seperti ini saat berargumen dengan Ayub masalah tinggal setelah pernikahan mereka. Sasya yang mengabdi di Sukamakmur, sedangkan Ayub bekerja di Jakarta. Mereka terpisah jarak. Jika Ayub memaksa tinggal dengan Sasya dan melaju ke tempat pekerjaannya, sangatlah jauh. Tentunya akan melelahkan raganya.

Ayub pernah memintanya untuk sedikit mengalah. Mengambil tempat tinggal di tengah-tengah kedua pekerjaan mereka. Ke tempat pekerjaan Sasya dan pekerjaan Ayub. Sehingga mereka bisa bertemu setiap hari. 

"Yank, kita tinggal di Citeureup saja. Sayy ke sekolah naik motor. Jadi kita bisa pulang dan bertemu tiap hari." jelas Ayub waktu itu.

Sasya terdiam, tak bisa memberikan jawaban. Dalam hati ia membenarkan alasan suaminya memilih tinggal di Citeureup. 

"Yaank, kok diam?"

Sasya menggeleng.
"Jauh, Sayy. Biarlah kita berjauhan, ketemu seminggu sekali. Biar kaya pacaran terus," rajuk Sasya sambil matanya memandang wajah suaminya. Memasang tampang melas, berkedip-kedip matanya, dua tangannya menggenggam tangan Ayub. Jurus rayuan Sasya keluar. 

Ayub tertawa. Menikmati perilaku manja dari Sasya, dan itu selalu membuatnya merasa berarti. Dipeluknya tubuh Sasya, sebelumnya dengan gemas dipencet hidung Sasya. 

"Kamu itu, Yank, kalau sudah ngeluarin jurus rayuan, aku bisa apa? Aku bakal merindukanmu terus saat jauh."

"Itu yang kumau, Say selalu merindukanku. Jadi pas ketemu, kita punya tabungan rindu."

Itu baru awal, belum ada keluhan apapun. Hingga kejadian demi kejadian membuat Ayub harus mendiamkan Sasya. Masih dengan masalah tempat tinggal. Ketika waktunya off Ayub tak bisa karena pekerjaan, Sasya akan ngambek. Dan akhirnya memunculkan perkataan dari Ayub.

"Makanya Saayy, ngalah lah. Kita tinggal di Citeureup. Setiap hari kita bisa bertemu. Aku bisa pulang!" dengan nada tinggi Ayub mengeluarkan kekesalannya sampai Sasya terdiam. 

"Aku nggak mau capek, Saayy," jawab Sasya tak kalah tinggi suaranya.

"Say pikir aku tidak capek? Pulang kerja dari resto terus melaju ke sini. Capek, Yankk..." Ayub menahan agar suaranya tak semakin tinggi. 

"Aku nggak mau, Yank. Terserah Sayy, mau pulang atau tidak!" dengan ketus Sasya justru menantang Ayub. 

Dan mereka sibuk dengan perang dingin yang tercipta. Sasya merayunya setelah tiga hari Ayub mendiamkannya. Tapi tampaknya Ayub masih kuat berdiam diri. Tak membalas pesan, mengangkat telfon Sasya. Akhirnya Sasya menyusul ke Jakarta, merayu suaminya, cairlah suasana kaku tersebut.

Kantuk itupun belum datang. Sasya membuka lembaran buku kejujuran tulisan Ayub. Ada catatannya saat perang dingin itu terjadi.

Aku lelah Yaank...jika harus seminggu menahan kangen untuk berjumpa. Kenapa kamu tak mau mengalah juga? Ayolah, Saayy, jika kita tinggal bersama, bertemu tiap hari, itu akan sangat menyenangkan bagi kita. Akan banyak cerita yang bisa kita ciptakan. 

Tanpa terasa mata Sasya panas. Menyadari betapa egoisnya dia selama ini. Tak mau mengalah untuk kebahagiaan berdua. Jika tinggal di Citereup, pasti tak akan terjadi hal seperti sekarang ini.

"Saayy, maafkan aku. Siang ini aku akan menyusulmu," lirih ucap Sasya. Matanya mulai terasa berat, terpejam sesaat sebelum adzan shubuh berbunyi.

********

Selesai dengan tugasnya sebagai abdi negara, Sasya sibuk menyiapkan diri akan ke Jakarta. Meminta maaf dan akan membicarakan lagi dengan matang rencananya tinggal di pilihan Ayub. Bulat sudah rencana Sasya. Harus mengalah, agar tak terulang kejadian semalam. 

Dipilihnya bahan kaos untuk bepergian siang hari. Hanya akan membawa satu potong baju kerja untuk hari besok. Belum selesai memasukkan baju, terdengar salam dari pintu. Suara seseorang yang membuat jantungnya meloncat kaget.

"Kok bengong, Yank. Salamku nggak dijawab lagi. Nggak kangen? Masih ngambek?" tanya pemilik suara sambil mengecup kening istrinya. Tanpa jawaban, Sasya langsung memeluk tubuh suaminya. Membiarkan tangis tumpah di dada Ayub.

"Aku kangen, maafkan aku ya , Sayy. Aku egois."

"Hei, sudahlah. Aku juga salah. Maafkan aku juga ya," semakin erat dipeluknya tubuh Sasya. Tak pernah ingin melihat ada air mata sedih mengalir dari matanya. Apalagi jika dia penyebabnya. Pelan diusap airmata Sasya. Dikecup dengan sepenuh hati kedua pipi Sasya. 

"Aku mau tinggal di Citeureup, Yank. Supaya kita bisa bertemu tiap hari. Agar kau bisa memelukku setiap malam."

"Benarkah, Saayy?"

Sasya menjawab dengan anggukan kepalanya. Bahagianya Ayub mendengar keputusan Sasya. Akhirnya. 

"Makasih ya, Saayy..."

Keduanya kembali berpelukan. Jika ada yang mengalah, rasanya akan indah. Tak perlu ada perang dingin lagi.

Tamat

#OneDayOnePost


#TantanganMenulisCerbung

Share:

7 komentar