Karena Cinta (bagian 3)

Sasya, Altamira, dan Helena memutuskan tinggal dalam satu kontrakan. Mereka menyewa satu rumah dengan tiga kamar. Memilih tempat tinggal dekat dengan sekolah, agar lebih irit biaya ongkos. Sekolah  mengabdi mereka adalah sebuah SD di bawah kaki bukit dengan suguhan pohon-pohon hijau di sekelilingnya. Udara dingin, kabut terkadang turun memberi warna pada desa tersebut. Jalanan khas kampung berbatu, berkelok, membuat enggan penghuninya keluar rumah, menyebabkan rumah kontrakan itu selalu ramai dengan cerita setiap harinya. Kebersamaan yang menyenangkan. Bercerita dalam senang dan sedih. Asyik mendalami watak satu sama lainnya. Dengan keunikan masing-masing bawaan dari asalnya. Sedikit selisih dari bertiga, masih dianggap wajar. Yang penting mereka selalu berkomunikasi agar tidak terjadi salah paham.

Kejadian yang Sasya ingat, setelah dua minggu mereka bersama dalam satu sekolah dan kontrakan. Siang itu sepulang sekolah Altamira masuk kamar dengan wajah usai menangis. Sasya dan Helena yang asyik berbincang di ruang tengah, bergegas menghampiri pintu kamarnya. Mengetuk perlahan, menanti jawaban dari empunya kamar. Sepi tanpa jawaban. Hanya isak tangis mulai terdengar menjawab ketukan pintu sahabat.

"Tata, buka pintu dulu!" Sasya mengetuk pintu semakin gugup mendapati suara isak tangis Altamira. Helena pun ikut berteriak menggedor pintu.

"Tata, ada apa? Buka pintunya dahulu!" kembali Sasya meminta. Kembali tanpa respon.

Hening, Sasya dan Helena berdiri di depan pintu, menanti Altamira membukakan pintu. Sasya jongkok, menyandarkan punggungnya ke pintu kamar Altamira. Kepalanya tertunduk. Helena berdiri, lengan kanan bersandar pintu, matanya menatap Sasya, menunggu perintah apa yang akan dilakukan agar Altamira mau membuka pintu.

Detik berputar dengan menit. Hampir dua puluh menit mereka mematung tak bergerak dari posisi semula. Ketika terdengar gerakan engsel pintu dibuka, reflek Sasya berdiri dari jongkoknya. Kakinya sudah mulai terasa kesemutan.

Muncul wajah kusut, mata merah usai menangis, dari balik pintu, telfon genggam ada di tangan kanan. Sepertinya selesai menelefon seseorang. Mungkin keluarganya yang jauh. Kasihan Altamira, pasti dia merasa sendiri dan jauh dari keluarganya.

Sasya memeluk Altamira, Helena melakukan hal yang sama. 

"Aku nggak apa-apa," lirih Altamira menerangkan kondisinya kepada sahabatnya. Terlihat mereka sangat panik, wajah cemas, saat Altamira masuk kamar tadi.

Sasya melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang pundak Altamira. "Ceritakan pada kami, apa yang terjadi?"

Altamira menggandeng tangan kedua sahabatnya, duduk di tepi busa kasur. 

"Aku tadi nyaris adu pendapat dengan Bu Popi. Kalian tahu kan, bagaimana beliau melihatku. Selama ini Bu Popi tak pernah mau bersalaman tangan denganku. Senyum juga enggak, apalagi ngobrol. Kalaupun bercakap, yang keluar kata-kata berbumbu cabe sekilo. Tadi aku bertanya ke beliau, apakah aku berbuat salah sehingga perlakuan beliau judes bin ketus ke aku."

Sasya dan Helen mendengarkan penjelasan Altamira. Mereka tahu betul siapa Bu Popi. Guru senior, cantik, berkerudung lebar, tapi desas desus yang ada, beliau memang judes. Apalagi sikapnya kepada Altamira yang berbeda keyakinan. Nyaris tak pernah mau bercakap ramah atau sekedar bersalaman tangan. Entah apa yang ada dalam pikiran Bu Popi mengenai Altamira. Pernah mendengar bahwa Bu Popi mengatakan hal buruk tentang Altamira dan keyakinannya. Sehingga beliau merasa kotor jika bersentuhan dengannya.

"Aku sedih, aku memang beda agama dengan kalian semua. Tapi apa segitu buruknya aku di mata agama kalian?" ada nada amarah, geram, dari kata-kata Altamira.

"Aku harus berbuat apa?" dua tangan Altamira menangkup di wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Sasya dan Helena erat kembali memeluk sahabatnya.

"Untuk sementara kita cuekin dulu Bu Popi. Kamu sahabatku, Ta. Kita memang berbeda. Tapi karena perbedaan itulah kita menjadi indah. Agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku." Sasya semakin erat memeluk Altamira yang menangis kembali. 

Bersambung....

#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

5 komentar

  1. Karena bersama tak harus sama....

    Pelukin satu2..

    ReplyDelete
  2. Saya pernah nemu orang kayak gitu tuh..hemm serasa dia paling oke. Zzebbell.

    ReplyDelete
  3. Hehe disini juga ada yang kek gitu.. Tapi aku di posisi altamira-nya..

    ReplyDelete
  4. Yeee...persahabatan beda agama....keren....
    Nothing wrong with beda keyakinan. Yg penting saling menghargai.
    Bu popi suruh pindah planet aja...kalo ga mau bersama org2 yg beraneka ragam..wkwkwk ...,(aq sadis yooo....

    ReplyDelete