Karena Cinta (bagian 8)

Waktu terasa lambat berganti bagi hati yang merindu. Itulah yang dirasakan Sasya saat menanti hari berganti Selasa malam atau menjelang Rabu pagi. Jarum jam sudah bergeser menunjukkan kuasanya di angka sembilan malam. Sasya gelisah menunggu kabar dari Ayub. Perjalanan dari Jakarta menuju Sukamakmur bukanlah jarak yang dekat. Hampir dua jam duduk di atas motor jika dilajukan dengan kecepatan sedang. Whatsapp Sasya belum terbaca dari selepas magrib tadi.

Sasya terlentang menatap langit kamar kontrakannya. Ada banyak tempelan stiker bintang yang sengaja mereka tempel. Ayub selalu membisikkan di telinga Sasya.

Jadilah bintang di langit, agar ketika aku merindukanmu, aku akan menemukanmu di antara pendar cahaya bintang. Menemani malam-malamku yang pastinya akan terasa panjang tanpamu. Tapi dengan melihat langit, aku merasa kita bersama memetik dawai kerinduan untuk menghabiskan sisa malam.

Kalimat sederhana, namun membuat Sasya selalu merindukan Ayub. Kembali matanya melirik jam dinding. Sudah bergeser sepuluh menit dari jam sembilan. Gelisah mulai menyergap perasaan Sasya. Ada rasa takut dan cemas. Mengingat jalan menuju kontrakannya melewati kebun karet yang sepi. Kalau liburnya berbarengan dengan suami Altamira, biasanya mereka pulang berdua. 

Sayy, kamu di mana? Aku cemas sekali...

Kembali Sasya mengirim WA ke Ayub. Tetap tak terbaca. 

Dua puluh menit berlalu. Mata Sasya sudah mulai tak kuat menahan kantuk. Ketika tiba-tiba HPnya bergetar. Dengan cepat Sasya membuka pesan dari Ayub.

Sayy, sudah tidurkah? Aku telfon ya?

Dibalas oleh Sasya.

Nggak jadi pulangkah, yaank?

Terkirim, dan langsung terbaca. Terlihat dari layar HP Ayub sedang mengetik pesan. Sasya menunggu.

Aku telfon aja ya, Sayy?

Okeee..

Jawab cepat Sasya. Pertanyaan yang sebetulnya tak membutuhkan jawaban. Karena biasanya tanpa ijin, Ayub akan menelfonnya. Berbincang lama mengurai benang kerinduan.

Nada dering terdengar. Langsung Sasya menekan tombol terima panggilan.

"Saayy ada di mana?"  Salam belum dijawab, Sasya sudah memberondong dengan pertanyaan. Sesaat Ayub tertawa.

"Masih di resto, Yank. Ada job tambahan. Nggak bisa pulang. Maaf yaa, Yank." Ayub hati-hati menyampaikannya. Ia hafal betul bagaimana Sasya akan ngambek jika ia tak pulang. Sudah dua kali waktunya off ia harus menerima order, sehingga jadwal bertemu istrinya tercinta harus gagal.

Sasya terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Ada sedih dan jengkel bermain di hatinya. Nggak kangen apa ya, kok terima job lagi. Begitu batinnya berkata.

"Sayy..." panggil Ayub.

"Emang nggak ada orang lain lagi, Yank? Harus Saayy?" lirih Sasya mengucapkannya. Nyaris tak terdengar.

"Nggak ada orang, Yank."
"Ya sudah."
Klik! Telefon langsung ditutup Sasya tanpa mengucap salam. Ayub hanya melongo. Tak biasanya Sasya menutup telefon tanpa pamit. Dipencetnya kembali nomor Sasya. Berdering tanpa diangkat pemiliknya. Berkali-kali Ayub mencoba. Berkali-kali pula tak mendapat jawaban. Sasya sudah meletakkan telfonnya di sudut kasur dan ia tutup dengan bantal. Air matanya sudah mengalir, diambilnya buku kejujuran.

Kembali kamu nggak inget aku, Saayy. Tak pulang lagi, padahal aku sudah merindumu. Begitu berartikah sampai kamu tak bisa minta ijin? Bilang sama bosmu, kalau kamu punya istri yang tinggalnya jauh. Aku sebel ma Saayy...Lihat saja, aku nggak akan angkat telfonmu!


Bersambung...

#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung




Share:

12 komentar