Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian 8)

September kelabu, 2002
Petir itu kembali menyapaku, dengan suaranya yang lebih menggelegar, siap meledakkan isi kepalaku. Empat tahun sudah kita menikah, malam ini kembali pertanyaan yang tak kutahu jawabannya dihadirkan kembali. Dengan suara lembut, tapi tetap menusukku, membuat luka baru di sebelah luka lama. Jawabanku pun tetap sama. Kau suamiku, yang merenggut kehormatanku dengan paksa. Bukan orang lain yang memetik mahkotaku. Pertanyaan yang membuatku kembali menangis di hadapanmu. Dan kau berlalu begitu saja. Lirih kuucapkan, "ceraikan saja aku, jika masih kau ulang pertanyaan yang sama di malam kita menikah. Atau menikahlah dengan gadis perawan untuk membuang penasaranmu!"


Masih di September 2002
Dua hari sudah kau mendiamkanku,  suamiku. Tak keluar sepatah kata pun untuk sekedar menyapaku atau anakku. Berangkatku ke sekolah berbungkus amarahmu karena permintaanku. Kau hanya terdiam, tak menanggapi. Buat apa bertahan, kalau tak ada percaya di antara kita?

Ya, September setelah empat tahun usia pernikahan kami, tiba-tiba mulutku lancang menanyakan hal yang sudah kutahu reaksi Mei. Mei menangis hebat, bahunya berguncang. Menahan agar suara tangisnya tak mengganggu lelap Bintang dalam tidurnya. Aku hanya memandangnya. Dan keluarlah suara Mei, pelan namun cukup membuatku terkejut.

"Ceraikan saja aku, Yah, dari pada aku tak pernah membuatmu bahagia. Atau menikahlah kembali dengan gadis perawan seperti inginmu. Agar Ayah tidak penasaran lagi."

Gila! Mei benar-benar nggak waras dengan idenya. Menceraikan dia atau menikah lagi, permintaannya di sela-sela tangisnya. Aku marah mendengar ucapan Mei. Aku mendiamkannya selama tiga hari. Membuatku berpikir, apakah aku harus ikuti permintaannya?

Tidak! Aku terlalu mencintai Mei. Tidak akan pernah aku melepasnya dari ikatan denganku. Aku tak ingin menceraikan Mei. Permintaannya hanya karena ia terusik dengan pertanyaanku. Pertanyaan bodoh menurut Mei.

Dan hari ketiga, kuajak Mei duduk, bicara serius. Kupeluk tubuh ringkihnya.

"Maafkan Ayah, sudah menanyakan kembali pertanyaan bodoh Ayah tak ingin menceraikan Ibu."

Mei tak membalas pelukanku. Tak juga menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir dari matanya. Dia hanya membisu seperti patung, tak bereaksi.

"Ibu tak mau memaafkan Ayah?"

Mei masih diam. Bunyi tak tik tuk detik jam menjadi musik pemanis kebisuan kami.

"Bicaralah, Bu."

Kulepas pelukanku pada Mei, memberikan ruang agar ia menjawab pertanyaanku. Mei mengusap air matanya, lirih ia berujar.

"Kalau Ayah masih ingin bertahan dengan Ibu, tolong jangan tanyakan pertanyaan itu lagi. Berkali-kali sudah kukatakan, Ayahlah lelaki pertama yang menyentuhku, mengambil kehormatanku dengan paksa. Kalau masih kau tanyakan siapa yang mengambil kegadisanku sebelum Ayah, aku nggak tahu jawab apa. Ibu sudah jujur menjawabnya. Terserah Ayah, mau mencari gadis perawan dan menikahinya agar penasaranmu terobati, aku juga tak akan marah. Silahkan."

Kudengarkan dengan baik penjelasan Mei. Masih memintaku mencari gadis perawan lalu menikahinya. Kugelengkan kepalaku.

"Tidak, Ibu. Ayah tak akan melakukannya. Ayah janji, tak akan lagi menanyakan hal yang membuat Ibu menangis. Maafkan Ayah."

Kembali aku memeluk Mei, kubiarkan ia menangis, menuntaskan kesedihannya. Kuharapkan esok ia sudah tersenyum kembali, untukku dan untuk Bintang.

Bersambung...


#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

11 komentar

  1. Masih kekeuh dengan masalah keperawanan. Jitak nih ayah. Hehe

    ReplyDelete
  2. Nyebelin amat sih.. Ayah kasih ke kucing aja lah, *upsss

    ReplyDelete
  3. Wuiihh...dah menikah 4 tahun....koq.blm.percaya ma istri...
    Di dijemur jasiin kerupuk apa di rempeyek aja.kalee nih suami....
    #maaf mbk lisa....melu gemezz ma kelakuan suami...hahhahha

    ReplyDelete
  4. Ih... Kok gitu... Pantesan mei marah.. Sensitif bnget pertanyaan si Ayah...

    ReplyDelete
  5. Waaahhhh pada ngutuk si ayah neh..mbak Lisa hebat banget ceritanya..😆

    ReplyDelete