Kepingan LDR bagian 2

Kuparkir vario hitamku di bawah pohon mangga golek. Sengaja tak kumasukkan hingga teras. Masih belum pasti hati ini memutuskan menginap atau tidak. Hari masih sore. Matahari juga masih menantang menebarkan panasnya. Rumah bercat coklat kebagian panasnya saat sinar angkuhnya berada di ufuk barat. Kebun kecil di sebelah selatan rumah ibu mulai nampak menghasilkan. Ada cabe, terung, kacang panjang, bayam, dan tanaman tomat. Mulai berbuah, membuat siapapun yang melihat gatal untuk memetiknya.

Halaman rumah memang tidak cukup luas. Ada pohon mangga dan jambu biji. Cukup membuat teduh halaman jika siang hari. Di teras rumah, tersedia dua kursi panjang dari bambu. Tiduran kala sore begini, bersantai menikmati indahnya suasana menjelang tenggelamnya sang surya.

Kuedarkan mataku ke seluruh halaman. Masih sama seperti bulan-bulan yang lalu ketika suasananya belum berbeda. Aku sering ke sini, ada mas Fian ataupun tak ada dia. Sudah kuanggap rumahku sendiri, ditambah aku hanya pendatang di kota kecil Ponorogo ini. Terdampar setelah mendapatkan SK penempatan kerja. Aku kost dekat dengan rumah ibu.

Dan aku menjadi bagian dari keluarga mas Fian, jauh sebelum aku akrab dengannya. Aku tak pernah bertemu dengan mas Fian, putra sulung ibu. Meskipun aku sering menemani malam minggu ibu. Karena menurut cerita ibu, mas Fian bekerja di luar kota dan jarang pulang. Ataupun ketika pulang, aku pun pas kebetulan tidak ada di rumah ibu. Jadi kami tak pernah bertemu.

Aku bertemu mas Fian secara tak sengaja. Waktu itu aku asyik bercerita dengan ibu di bangku kayu di teras depan. Muncul mas Fian menyalami dan mencium tangan Ibu. Aku yang berada di samping ibu, terkejut mendapati sosok tinggi cenderung kurus, berkulit sawo matang seperti kulit orang Indonesia kebanyakan. Hidungnya sungguh mancung, dengan mata agak sipit. Dan senyumnya sungguh membuat hatiku tertawan seketika.

Mas Fian menyalami tanganku, menebar senyumnya, dan melihat bagaimana aku terlihat kikuk di hadapannya. Ibu hanya tersenyum simpul mendapati aku salah tingkah oleh anak sulungnya. 

"Hei, lihat apa ya, sampai tidak berkedip!" Sambil tangan kanannya berayun di depan wajahku. 

Tak terbayang, wajahku pasti merah seperti kepiting yang direbus. "Eh, anu Mas, maaf..." Tidak bisa berkata apapun, yang akhirnya aku hanya mampu menundukkan wajah. Tawa mas Fian seketika pecah sambil berlalu masuk ke dalam dengan tas ranselnya. 

" Ibu, aku pulang ke kost saja ya, nggak jadi nginep. Ada mas Fian yang pulang. Takut ganggu kangen Ibu dengan mas Fian." kataku hendak berpamitan. Nggak enak rasanya jika niatku menginap akan mengganggu pertemuan ibu dan anak lelakinya. Meski bekerja di Surabaya, mas Fian jarang pulang. Belum tentu sebulan sekali. Makanya aku berinisiatif untuk tetap di kost an saja.

Ibu tersenyum. "Memang kenapa kalau ada anak lanang Bu e?"

Aku hanya menjawab dengan cengiran. Karena nggak tahu harus jawab apa. Masalahnya aku begitu gugup dan tak bisa berkutik berhadapan dengan mas Fian. Selama ini hanya mendengar dari cerita Ibu, de Wiwik, de Ambar, dan melihat dari foto. Diam-diam aku sudah bermain hati dengannya setiap ibu dengan bangga bercerita tentangnya. Sebagai anak sulung, begitu bertanggung jawab. Lulus SMA memilih bekerja dan membantu biaya sekolah dua adiknya, de Ambar dan de Wiwik.

Satu lagi yang membuat hatiku makin terpesona, mas Fian yang awalnya hanya sebagai waiter di sebuah restoran, akhirnya mampu menjadi seorang chef di tempatnya bekerja. Sebuah perjuangan yang tentunya tidak mudah.

"Lho, ada nak Wulan to?" Sudah dari tadi, Nak?" Suara ibu membuyarkan ingatanku tentang pertama kali aku bertemu dengan mas Fian. Kucium tangan ibu dengan takzim. Memeluk beliau, selalu merasa seperti memiliki ibu kembali. 

"Kangen Ibu, lama tak peluk begini."

Ibu balas memelukku dengan erat. Tersenyum tulus. "Ibu juga kangen. Sehat kan? Sejak pindah, lama nggak ke sini."

Aku hanya menjawab dengan anggukan.

"Ayo masuk!" Ajak ibu menggandeng tanganku. Masih kulingkarkan tanganku ke pinggang ibu masuk menyusuri ruangan dalam rumah berjalan menuju ruang keluarga, tempat kami biasa bercengkerama.

"Ibu, hari ini aku boleh nginap? Tidur dengan Ibu ya?" kataku manja. Duduk di karpet, bersandar di tembok. Di sebelahku ibu ikut duduk dan mengangguk senang atas permintaanku.

"Ada De Wulan, ya, Bu?" sebuah suara khas yang tak pernah kudengar sejak kubatalkan pernikahan. Belum sempat kesadaranku pulih, sosok itu sudah tersenyum di hadapanku. Ikut duduk bersama kami.

Kakiku bersiap untuk pergi begitu dia dengan santainya duduk. Belum sempat aku berdiri, tanganku ditahan olehnya.

"Duduklah, De. Tak kangenkah Ade denganku?"

Dua mataku sudah berusaha menahan tangis. Ada luka melihatnya nyata hadir di hadapanku. Sosok berhidung mancung dengan senyum khasnya. Mas Fian, lelaki yang kucintai.

Bersambung

#OneDayOnePost



Share:

4 komentar