Ibuku, Pahlawanku bagian 2

Hasil gambar untuk gambar seorang ibu dan anak
image:google


Sejak bapak meninggal, kami memang harus mengencangkan ikat pinggang. Berbagai usaha warung sudah ibu coba. Hasilnya nyaris hanya meninggalkan lubang hutang yang makin menganga. Dua tahun sudah bapak meninggalkan kami karena sakit yang dideritanya. Di ujung menjelang kesembuuhannya, bapak justru dipanggil meninggalkan kami. Bapak hanya pegawai rendahan. Dengan uang pensiun yang tidak seberapa untuk kami bertiga.

Setelah berbagai usaha yang ibu coba gagal, mulailah ibu berubah. Pergi di siang hari dan akan pulang larut malam. Tanpa meninggalkan pesan atau berpamitan. Hanya mengatakan kepada kami ada urusan penting yang harus ibu bereskan. Awalnya hanya seminggu dua kali. Lama kelamaan semakin sering. Meningkat menjaadi setiap hari. Hanya hari Sabtu dan Minggu aku mendapatkan ibu berdiam di rumah, membaca majalah kesayangannya ataupun merawat tanaman bunga di halaman.

Semula kami hanya mengira ibu memang pergi karena urusan penting. Namun keanehan perilaku ibu menepis prasangka baik. Ibu semakin rajin bersolek. Membeli baju-baju yang bagus setiap minggunya. Ada saja barang baru yang ibu bawa sebagai oleh-oleh setiap pulang bepergian. Ibu juga mulai sedikit genit, menurutku. Hingga akhirnya gosip itu melengkapi rasa penasarankku dan mbak Alya.

“Apakah ibu benar seperti itu ya, Mbak?” tanyaku memecah keheningan yang mendadak tercipta.

“Hush! Jangan ngawur kamu!” timpuk mbak Alya.

Aku hanya nyengir. “Tapi seandainya benar? Ibu memang seperti kelakuan yang ada di Kampung Baru, bagaimana Mbak?”

Kembali timpukan majalah nyasar mengenai wajahku. Sekarang lebih keras malah timpukannya. “Mbak Alya gitu ah!”

Mbak Alya bangun dari rebahannya. Memandangku dengan wajah serius. “Masak ibu seperti itu sih, De?”

Aku ikutan duduk bersila. Balas menatap wajah ayunya. “Dugaan kita beralasan, Mbak. Lihat saja perilaku ibu juga beda. Wajarlah kalau tetangga sekitar mengatakan hal miring tentang ibu.” cerocosku.

Kepala mbak Alya manggut-manggut. Entah membenarkan perkataanku atau manggut karena alasan lainnya. “Jika ibu seperti itu, De?” suara mbak Alya menggantung.

Bahuku terangkat ke atas menjawab pertanyaan mbak Alya. Pertanyaan yang sama kuajukan di awal percakapan kami. “Mbak, mosok kita dapat makanan dari uang haram?” bergetar suaraku mengucapkannya. Antara rasa percaya dan tidak percaya berperang dalam hatiku. Pergolakan batin yang cukup membuatku tersiksa seiring gosip yang menerpa keluarga kami.


Mbak Alya memelukku. Aku yakin dalam hatinya juga merasakan hal yang sama. Kami pernah melihat ibu berjalan di terminal berdua dengan lelaki yang aku kenal dulu sebagai pelanggan di warung soto ibu. Saat warung soto ibu masih ramai, setiap jam makan siang aku pasti melihatnya ada di warung ibu. Menikmati soto buatan ibu bersama anak buahnya yang lain. Tak begitu mengenalnya. Yang aku tahu, dia bukan duda. Berarti tak mungkin akan menikahi ibu.

Bersambung...

#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan 


Share:

3 komentar