Pohon Akasia dan Ilalang

Hasil gambar untuk pohon akasia dan ilalang
image;google

Angin kali ini hanya berhembus perlahan. Menyapa lembut setiap makhluk yang bersenandung atas pagi yang cerah. Begitu pula dengan Ilalang. Tak lepas dia bersiul riang dengan kehadiran matahari dan buaian angin. Ilalang berdiri sepanjang tanah yang tidak begitu luas. Dalam kebun yang tidak terawat milik Pak Jangkung. Kebun ini hanya penuh berisi ilalang dan satu pohon Akasia yang menjulang tinggi di tengah ilalang.

“Hoaam...” Akasia meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Melemaskan ototnya setelah malam berganti dengan indahnya pagi.

Ilalang mendongak ke atas. Tersenyum mendapati Akasia sudah bangun. “Nyenyak sekali tidurmu.”

Akasia tertawa. “Angin begitu memanjakanku dari semalam. Hanya bergerak lembut. Tidak kencang seperti malam-malam sebelumnya.” sahut Akasia.

Ilalalang menganggukkan kepalanya. Membenarkan perkataan akasia. Biasanya angin akan menghembuskan kekuatannya dengan besar. Sehingga Ilalang akan kewalahan menghadapinya. Tubuh kecilnya akan bergerak mengikuti angin. Ingin rasanya berpegangan pada Pohon Akasia. Tetapi dia ingat bagaimana Akasia tak mau dibuat pegangan.

“Sana pergi! Jangan berpegang pada tubuhku. Makanya punya badan yang besar. Jangan hanya tubuh kecil dan selalu bergoyang jika angin datang.” Itu ucapan Akasia ketika angin mencoba bertiup sedikit lebih kencang. Dan Ilalang akan tetap mengingatnya. Tidak akan membuat Akasia terbeban lagi.

“Hai, Ilalang, tahukah kamu bahwa nanti malam akan ada badai besar?”

Ilalang menggeleng. “Kamu tahu dari mana?”

“Semalam Angin mengatakan kepadaku. Jadi, bersiaplah.”

“Bersiap apa?” tanya Ilalang tak mengerti.

Akasia tertawa mendapat pertanyaan dari Ilalang. “Lihatlah, Ilalang. Tubuhmu saja tidak memiliki batang yang kokoh. Bagaimana kau akan bertahan dari badai nanti malam?” ledek Akasia dengan sombong.

“O...,” jawab Ilalang. “Aku tak perlu takut, Akasia. Aku juga tak akan berpegang pada tubuhmu. Justru kamulah yang harus berhati-hati dengan badai itu.”

“Apa kau bilang? Tak lihatkah tubuhku sangat kokoh. Tak mungkin angin kuat menggoyangkan badanku.” Semakin sombong Akasia menjawab.

“Kita lihat saja nanti. Siapa yang masih kokoh setelah badai nanti malam.” Putus Ilalang menghentikan perdebatan. Karena jika diteruskan, Akasia tak pernah mau kalah dengan Ilalang. Dia selalu merasa paling kuat.”

Ilalang melanjutkan nyanyiannya. Tertawa senang bersama Ilalang lainnya. Sesekali bercengkerama dengan burung-burung kecil yang lewat. Ataupun dengan para kumbang yang melintas. Ilalang sungguh merasa gembira. Akasia hanya mengamati kegiatan Ilalang. Hanya sesekali ia ikut bercakap. Selebihnya ia hanya berbincang dengan angin.

Malam yang dijanjikan akan ada badai datang begitu mencekam. Langit nampak gelap meyelimuti seluruh kebun. Suara petir bersahutan membelah langit. Hujan turun dengan deras diikuti oleh angin kencang. Ilalang melemaskan tubuhnya. Gemulai tertiup oleh angin yang begitu kasar menyapu. Sempat mendengar suara keras dari Akasia ketika amukan badai mulai menggila. Kemudian terdengar jeritan merintih sakit. Ilalang tidak berani membuka mata. Ada takut yang mencekam. Hingga pagi datang barulah Ilalang berani membuka mata.

Terlihat olehnya tubuh kokoh akasia roboh. Sebagian batangnya tumbang. Pasti oleh badai semalam. Ilalang dengan sedih menatap tubuh akasia. “Maafkan aku, Akasia. Semalam tidak berani membuka mata. Tidak menyangka tubuhmu akan tumbang oleh badai.”

Akasia merintih menahan sakit. “Ternyata aku salah. Aku pikir tubuhku yang akan kuat menahan badai. Ternyata tubuh kokohku tak cukup kuat. Justru tubuhmu yang tak memiliki batang kuat mampu bertahan.” kata akasia.

Ilalang menanggapi dengan senyum. “Semua makhluk di bumi sudah diciptakan sedemikian sempurna. Jadi, tidak ada yang lebih kuat ya.”


Akasia membalas senyum Ilalang. “Maafkan aku ya, Ilalang.” Ilalang mengangguk.

Indahnya persahabatan jika tidak dicampur dengan sikap merasa paling hebat.


#OneDayOnePost
#MingguTemanSedunia

Share:

7 komentar