Jingga



“Ayo, kita pulang,” katamu pelan setengah berbisik. Aku masih duduk menunggu hingga gelap datang.

“Tak baik di sini terus. Angin pantai lama-lama tak bagus untuk kesehatanmu.” Sekali lagi kamu memintaku untuk beranjak dari tempat yang beberapa bulan ini menjadi tempat favoritku.


“Dia tak akan datang, ini sudah bulan ke lima kamu menunggunya setiap sore seperti janjinya,” suaramu kembali terdengar. Tak sadar air mata yang kutahan luruh juga. Hangat menngalir di pipi. Kepalaku menggeleng lemah.

Aku masih ingin menunggunya, merasakan jarinya menggenggam tanganku. Menatapat langit senja hingga ia tertutup malam. Menatap matanya lama, karena kutahu, ada cinta untukku. Matanya yang coklat tak pernah berbohong tentanng perasaannya. Dan aku masih ingin menunggunya seperti janjikku kepadanya, gumam hatiku meyakinkanmu. Tentu saja kamu tidak mendengar.

Kamu ikut duduk di sampingku, menggenggam tanganku lembut sekali. Mengangkat wajahku agar sejajar dengan wajahnya. Tak ada dusta dalam matanya, sungguh ia ingin membuatku yakin tentang malam yang akan selalu datang, tentang dia yang masih kutunggu kehadirannya, meskipun dia tak pernah datang.

“Pulang, ya. Jangan kau habiskan waktumu di sini dengan percuma. Lebih baik menunggunya di rumah.”

Kembali kepalaku bergerak ke kanan dan kiri. Genggaman tanganmu semakin erat, ada luka yang ingin kubagi dengannya lewat aliran tangan yang terpaut di antara kami. Tapi hatiku masih ingin bertahan dengan janji yang kian tak pasti.

“Kuharap hari ini terakhir kalinya kamu menunggu senja datang. Esok, tersenyumlah kembali tanpa harus menunggu senja menghilang. Kamu adalah Jingga, yang bagiku tak akan pernah luruh walau senja menggantikan malam.” Lembut suaramu terdengar di telingaku. Aku tersenyum, dalam hati berjanji untuk memenuhi pemintaannya.

Aku mengangguk setuju untuk meninggalkan deburan ombak yang masih menyanyikan lagu alam, pasir pantai yang masih setia menunggu malam menjemput.

#OneDayOnePost
#TantanganMbakNa

Share:

7 komentar