Hijrah


     Sebelumnya, aku minta maaf, jika surat ini akan membuatmu bersedih. Namun, yang pasti, tak ada niat dalam hatiku untuk membuatmu bersedih, apalagi sampai menangis. Aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika itu terjadi. 
     Jantungku berdetak lebih cepat ketika membaca kalimat yang telah disusunnya. Apa yang sedang terjadi dengan Joe?   
 Mataku dengan cepat kembali menekuri kata demi kata sisa surat yang belum selesai kubaca. 
     Nay, aku ingin kita putus. Rasanya kita sudah salah melangkah. Tentu saja ini salahku yang mulai lebih dahulu. Memintamu menjadi pacarku. Padahal kita tahu, hal itu tidak benar. Agama yang melarangnya. Meskipun kamu bilang, toh kita nggak pernah jalan berdua atau pegangan tangan, tetap saja itu menimbulkan penyakit di hati. Kita putus baik-baik ya. Menjadi teman, tidak ada salahnya kan? Aku akan tetap menyapamu, tapi sebagai teman. 
     Tanpa sadar, retinaku sudah basah. Benarkah Joe meminta hubungan yang baru berjalan tiga bulan ini untuk putus? Hanya alasan yang dari awal sempat aku tanyakan? Ada sakit yang tiba-tiba hadir menyesakkan dada.
     Joe, lelaki yang telah menemani hari-hariku di kelas XII, mendadak membuat keputusan sepihak. Tapi aku bisa apa? 
*
     "Lu kok tumben diem, Nay? Joe tadi menyapamu lho, meski matanya nggak melihatmu. Kalian berantem?" tanya Lia, teman sebangkuku. 
     Aku hanya menunduk. Sejak surat itu, aku belum bisa menerima keputusan Joe. Keberatan Joe sudah pernah aku bahas. Kesepakatan jika kami jadian, nggak akan ada jalan berdua atau pegangan tangan. Karena bukan muhrim. 
     Dan aku merasa kesal dengan Joe. Masih saja dia meributkan soal itu. Islam melarang pacaran. Kita kan nggak pacaran? Kita syar'i kok, itu yang selalu berdebat di hatiku. 
     "Eh, lu malah bengong," kata Lia menyentuh pundakku. 
     Aku tersenyum, "Aku sudah putus dengan Joe." Pelan suaraku menjawab penasaran Lia. 
     "Kalian putus? Siapa yang memutuskan? Padahal aku suka lihat kalian. Pasangan ideal, sama-sama smart."
     "Lu mau bikin gue mewek lagi," jawabku tak bersemangat. 
     Lia langsung memelukku. "Nggak papa, Nay. Tumbang satu, tumbuh seribu," jawab Lia mengusap punggungku.
     "Maksud lu?" Mataku tajam menatap Lia yang memang serius mengucapkan kalimat barusan. Sontak Lia tersenyum sambil mengacungkan dua jari ke arahku. Emang semboyan pahlawan ya. 
*
     Dua bulan sudah aku mendiamkan Joe. Tidak pernah membalas kalimat sapaannya. Joe akhirnya ikut diam, seolah tak pernah mengenalku. Padahal tujuanku hanya ingin dia mengubah keputusannya. Namun, Joe hanya bergeming. Aku pun mulai melupakannya seiring kesibukan menghadapi ujian.
*
     Tidak ada pacaran dalam islam. Meskipun dengan dalih nggak pegangan tangan atau jalan berdua. Itu tetap akan menimbulkan zina hati. Hati kalian akan memikirkan lelaki yang kalian sukai setiap saat. Lalu membayangkannya.  
     Kepalaku menunduk. Kata-kata ustazah barusan menamparku habis. Itu yang dikatakan Joe ketika aku masih memprotesnya. Kajian kali ini membuatku berhasil memahami permintaan Joe. 
     Astaghfirulloh, maafkan aku Allah, gumamku lirih. 
     Lia yang melihatku segera memelukku.                       "Bersyukur ya, Nay. Joe lebih dahulu mengingatkan lu. Jadi lu berdua nggak sampai kebablasan berbulan bulan." Lia mengataknnya sewaktu pulang dari kajian. Aku mengangguk. 
     "Alhamdulillah, Allah membuka hati gue ya. Kalau enggak, gue pasti masih membuat dosa dengan zina hati," kataku disambut anggukan Lia. 
***

Share:

2 komentar

  1. So sweeeet ... Allah menegur dan "menarik" dengan cara manis ... Barakallah untuk kisah Kak Lisa yang penuh teguran manis .. :) 🌧🍊🌧🍊🌧🍊

    ReplyDelete