Hancur


Perasaanku mendadak tidak enak, begitu mataku menatap sebuah kuda besi seperti milik suamiku ada di halaman kost tempat Kay tinggal.



Jantungku berdebar, berbagai bayangan buruk melintas seperti siluet ketika aku memastikan, bahwa itu memang benar motor milik Mas Wid, suamiku. Tapi, bukankah tadi Mas Wid bilang kalau dia ada urusan sebentar di kantor, bukan pergi ke tempat lain? Jangan-jangan, kecurigaanku benar, kalau Mas Wid dan Kay memiliki hubungan istimewa.

Ah, aku tak boleh berprasangka buruk kepada mereka. Motor seperti Mas Wid banyak yang punya, hibur hatiku ketika kakiku semakin dekat dengan pintu kost tempat Kay tinggal.

Kardus besar aku letakkan di atas meja yang ada di depan teras tempat kost Kay. Kakiku masih terasa lemas, membayangkan dari balik pintu muncul kedua orang yang sangat berarti bagiku. Masih ingat pesan Mas Wid tadi pagi kepadaku saat pamit.

"Aku harap, kamu menungguku di rumah ini. Aku akan menyelesaikan sesuatu hari ini. Percayalah padaku, bahwa mulai hari ini, aku sudah jatuh cinta kepadamu. Seperti kamu yang telah jatuh cinta padaku," jelas Mas Wid meyakinkanku.

Aku hanya mengangguk. Hatiku sudah berbunga mendengar perkataannya sejak semalam, bahwa dia sudah jatuh cinta kepadaku. Berarti rasa cintanya kepada wanita yang sudah terlebih dahulu ada di hatinya, telah mampu kugeser.

"Kay," panggilku sambil pelan mengetuk pintu.

Dua kali aku mengetuknya kembali setelah tidak kudapatkan jawaban. Ketukan ketiga kalinya aku mendengar suara dari dalam berdehem. Suara Kay, lalu terdengar langkah kaki perlahan membuka pintu. Jantungku sudah berdegup tak karuan.

Pintu dibuka dari dalam, sebuah kepala dengan rambut acak-acakan muncul dari dalam. Mataku dapat melihat dengan jelas bagaimana keadaan orang yang membukakan pintu untukku. Dia hanya mengenakan celana boxer, tanpa penutup dada.

Mendadak aku merasakan lemas di kedua lutut. Dia sama terkejutnya denganku begitu pintu terbuka. Lidahku kelu, benar sudah prasangka yang dari tadi bermain dalam benakku.

"Mas Wid, sedang apa kamu dalam kamar Kay?" tanyaku gemetar.

Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara Kay dari dalam.

"Siapa yang datang, Sayang?"

Itu suara Kay. Darahku seperti mendidih begitu menatap keadaan Kay yang tak kalah mengejutkan. Berbalut selimut Kay berjalan ke tempat aku dan Mas Wid berdiri.

Apa tadi yang kudengar? Kay menyebut sayang kepada Mas Wid? Jadi....

"Kay," lirih kusebut namanya.

Air mataku sudah tak dapat lagi kubendung,berlomba turun. Kardus berisi kue untuk Kay terjatuh di lantai. Wajah Kay dan Mas Wid pucat pasi, seperti dua orang maling yang kepergok orang lain ketika melakukan aksinya.

"Jadi, dia wanita yang sudah kau cintai sejak lama, Mas?" tanyaku dengan bergetar. Tangan kananku menunjuk ke arah Kay, sahabatku sejak SMA. Sahabat yang begitu kusayangi seperti saudaraku.

Mas Wid hendak memelukku. "Biarkan aku menjelaskannya, Nay. Apa yang kamu lihat tidak sepenuhnya benar. Kami tidak melakukan apa-apa," jelas Mas Wid dengan gugup.

Kulihat Kay sudah menangis terduduk tak jauh dari posisi Mas Wid berdiri.

"Tidak melakukan apa-apa sedangkan mataku melihat kalian sebelumnya pasti tanpa sehelai kain sebelum aku datang," kataku nyaring dengan melempar celana dalam milik Mas Wid ke mukanya.

Mas Wid langsung terdiam.

"Maafkan aku, Nay. Tapi benar kata Mas Wid, kami tidak melakukan apa-apa," Kay mencoba menjelaskan juga.

"Kay, sungguh tidak kusangka, kamu lah wanita yang dicintai Mas Wid. Tapi kenapa kalian tidak menikah saja? Kenapa Mas Wid justru menikah denganku dan menjadikanmu simpanannya?" teriakku kepada Kay.

"Nay... " Bersamaan mereka menyebutku.

"Urus perceraian kita, Mas. Dan kamu Kay, aku bukan sahabatmu lagi," kataku.

Sekuat tenaga aku berbalik ke arah pintu meninggalkan mereka dengan perasaan hancur.

***

Share:

1 komentar