Tentang Kopi


Hasil gambar untuk gambar secangkir kopi
Sumber Gambar: www.samishare.com

Bahunya masih terguncang. Berarti air matanya masih belum tuntas untuk meminta penyelesaian. Aku hanya sanggup mematung. Menatap dari jarak sekian meter asalkan bayangnya masih berada dalam jangkauanku. Tubuh ringkihnya selalu melemah, dan aku seperti tak pernah bisa membuatnya yakin.


Sulungnya, Kinanti, gadis manis yang sudah remaja, terpaksa melihat bagaimana luapan kemarahannya kepadaku. Dua matanya terluka. Trauma masa kecil yang sudah nyaris memudar sejak aku hadir, seperti kembali muncul dalam layar-layar slide berbayang.

Kinanti mendekatiku. “Apakah ibu akan baik-baik saja, Yah?” setengah berbisik di dekatku. Aku hanya mengangguk perlahan.

“Tidurlah kalau kamu ingin tidur.”

Kinanti mengiyakan saranku. Masuk ke dalam kamarnya. Bergegas aku mendekati Asih, wanita ringkih yang begitu banyak menyimpan luka, meskipun aku selalu berusaha membantu menghapusnya.

Kusentuh pundak kirinya, tangisnya tinggal menyisakan isak-isak kecil. Mengusapnya pelan, memberinya isyarat, aku akan selalu ada bersamanya.

Asih menyadari kehadiranku. Diciumnya tangan kananku. “Maafkan aku, Mas. Marahku seharusnya tak perlu sampai seperti tadi.”

Hanya pelukanku yang menjawab permintaan maafnya. Kepalanya menyusup di dadaku. Kembali terisak untuk ke sekian kalinya. Ada sembilu yang menyayat hati melihatnya masih saja terluka dengan silued masa lalunya. Dan aku yang memulai, memancing semua indera akan kenangan buruknya di masa lalu.

Masih ingat bagaimana marahnya Asih di dapur malam ini. Aku yang selesai menyeduh kopi, belum sempat menyesapnya harus mendengar gelasnya beradu dengan lantai dapur berbanding dengan suara teriakannya.

Aku melongo, mengira ia sudah tertidur, maka aku membuat kopi untuk menemani malamku sebelum beranjak ke kamar. Dan itu sudah berhasil kulakukan sembunyi-sembunyi tanpa setahu Asih. Selesai aku menikmati kopi, maka gelasnya segera kubersihkan, agar tak bersisa wangi kopi yang nantinya akan memenuhi ruangan dapur Asih yang mungil. Bahkan sedetik selesai menuang air panas di cangkir, aku akan menghalau aromanya yang mudah menyebar dengan pengharum ruangan.

Tapi tidak malam ini. Rupanya aksi sembunyiku yang hanya diketahui oleh Kinanti harus diketahui pula oleh Asih. Yah, Asih adalah wanita yang kubebaskan dari rasa sakit akibat perlakuan buruk suami pertamanya. Lelaki yang candu dengan kopi dan memukulnya setiap Asih lambat menyiapkan kopi untuknya. Pernikahan yang hanya bertahan empat tahun. Dan berhasil selamat sebelum lelaki kasar itu berhasil melukai Kinanti.

Menjadi ibu seorang diri dengan luka lahir dan batin membuatku tertarik untuk menjadikan Asih sebagai wanitaku. Dengan satu perjanjian darinya, aku dilarang minum kopi, bahkan tidak ada yang minum kopi di rumah nantinya. Anehnya waktu itu aku menyetujuinya. Sepersekian detik barulah aku sadar, aku juga lelaki yang candu kopi. Cinta membuatku membisu untuk tidak berkata jujur.

Tangisan Asih menyadarkanku. Mengembalikan ragaku pada dimensi nyata di sini. “Maafkan Mas jika tak pernah mengatakan bila aku pecinta kopi. Tapi lihatlah, aku berbeda dengan lelaki yang dahulu pernah menyakitimu.” Perlahan aku mencoba menjelaskannya. Kuraih tubuhnya untuk duduk di tepian ranjang.

“Tapi aku masih sulit menghapus bayangan buruk itu, Mas.”

“Kita akan membunuhnya bersama-sama, Asih. Membuang kepingan masa lalumu. Hadapilah kenyataan sekarang bersamaku. Bukan kopi yang membuatmu terluka. Tapi lelaki pertamamu.”

“Mas...” Belum selesai Asih mengungkapkan aku sudah memotongnya.

“Ayo, Sayang, kita melupakannya bersama-sama. Ada aku yang akan menjagamu.” Kupeluk kembali tubuh wanita yang begitu aku cintai. Kepalanya mengangguk lemah.

“Bantu aku, Mas.”

“Pasti! Aku akan membantumu. Sesekali hiruplah aroma kopi cinta yang aku tawarkan agar pergi bayangan burukmu.”

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post yang diselenggarakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.

Share:

2 komentar

  1. Kereeen!
    Sayang ya, padahal aroma kopi itu enak lho...
    Kasihan Asih trauma padanya :)

    ReplyDelete
  2. Kenangan buruk itu memang susah untuk dihapus ya. Seringkali menjadi trauma tersendiri.

    ReplyDelete