Zya


Lu kenapa sih? Suka banget melet kalau ada Rio," tanya Fio kepada Zya. Tanpa sadar kebiasaannya menjulurkan lidah kepada Rio diamati oleh Fio, teman sebangkunya.



"Nggak kenapa-napa. Lu aja yang kepo," jawab Zya asal.

"Gimana nggak kepo? Lha, gue lihat elu setiap Rio lewat, lidah lu pasti melet. Tadi Rio hanya berdiri di belakang pintu saja, lu melet."

Zya terdiam. Nggak berniat membahasnga dengan Fio. Bisa panjang nih urusan kalau dibahas. Mata Fio masih menatapnya penasaran. Menuntut penjelasan, meskipun Zya sudah memberikan sinyal enggan membahasnya dengan pura-pura membaca.

"Jangan-jangan lu naksir ya, sama Rio?" tebak Fio yang langsung membuat Zya menghentikan kegiatannya.

"Lu dapet ide gila dari mana, bisa nebak gue begitu?" selidik Zya. Matanya tajam menatap Fio.

Fio mengangkat bahunya, "Asal nebak aja. Habisnya lu kagak mau cerita asal muasal kebiasaan lu yang suka melet."

"Gue sebel ma Rio. Eh, tepatnya benci ding." Pelan Zya menjawab. Kepalanya menunduk, memperhatikan ujung sepatu.

"Kenapa lu benci Rio? Setahu gue, Rio kan teman lu waktu SMP dulu." Fio tak berhenti juga menyelidiki kebiasaan baru Zya terhadap Rio.

"Lu diem dulu napa? Biarkan gue cerita sampe selesai." Mata coklat Zya masih tak beralih dari lantai kelas ketika menjawab. Nampaknya Fio lebih tertarik menginterogasinya dari pada peduli dengan cacing di perut yang mulai menagih janji.

"Sorry, oke deh, gue sabar menanti cerita lu."

Zya mengambil napas sebelum mulai bercerita. "Rio pernah melemparkan hewan yang paling gue takuti sewaktu jam olah raga. Dan gara-gara ulahnya, gue disorakin temen sekelas."

Fio masih sabar menunggu lanjutan cerita Zya.

"Kebayang nggak sama lu, pas asyik pemanasan buat olah raga, tiba-tiba dia lempar tuh ulat bulu warna hijau ke dada gue. Spontanlah gue jingkrak-jingkrak sambil teriak. Mana gue ada di barisan depan lagi. Otomatis semua tertawa seolah melihat pertunjukan gratis. Gue malu sekali, Fi." Zya menutup wajahnya dengan kedua tangan setelah selesai bercerita.

Fio manggut-manggut. Entah mengerti atau hanya simpati mendengar cerita teman sebangkunya.

"Sejak saat itu, lu mulai suka melet sama Rio?"

Dahi Zya berkerut, mencoba mengingat. "Nggak sih, tapi berhubung dia nggak minta maaf ke gue, akhirnya gue sebel ma Rio. Gue melet aja kalau ngelihat. Puas rasanya kalau sudah melet meskipun Rio diam aja."

"Lu aneh, Zya. Bener-bener aneh," kata Fio.

Mendengar jawaban Fio, Zya terdiam. Apanya yang aneh? Wajar dong kalau kejadian SMP itu membuatnya membenci Rio lalu membalasnya dengan balasan yang menurutnya setimpal?

*

"Lu nggak bosen apa, setiap ngelihat gue melet gitu." Tegur Rio ketika Zya bertemu tanpa sengaja di depan kamar kecil sekolah.

Kepala Zya cekingukan mencari siapa yang diajak bicara oleh Rio.

"He! Gue ngomong ama lu, Zya," kata Rio sambil melempar tisu ke wajah Zya. Sekali lagi Zya menjulurkan lidahnya dan melemparkan kembali tisu yang dilemparkan ke wajah Rio.

"Gue benci sama lu." Ketus Zya menjawab tanpa memandang wajah Rio padahal keduanya berdiri berhadapan.

Rio mengulurkan tangan kanannya. "Maafin gue kalau masalah lempar ulat bulu bikin lu marah."

Zya bengong melihat Rio meminta maaf. Mulutnya membentuk huruf o tanpa dia sadari.

"He! Bengong lagi ni anak. Gue minta maaf, Zya. Gue tahu, lu marah dan melet karena masalah ulat bulu itu. Kejadian yang udah lama. Sorry ya, gue baru sadar setelah Fio cerita ke gue kemarin," jelas Rio masih menunggu balasan tangan Zya.

"Gue nggak mau maafin." Ketus Zya menjawab mengabaikan tangan Rio sambil melet meninggalkan Rio yang masih berdiri.

"Hei!" panggil Rio.

Zya hanya menanggapi panggilan Rio dengan lambaian tangan.

"Lu jelek kalau melet, Zya!" teriak Rio.

Zya menghentikan langkahnya dan menengok ke arah Rio. "Bodo amat. Emang gue pikirin!" Tak lupa Zya menjulurkan lidahnya sebelum menjauh dari Rio.

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post yang diselenggarakan oleh Blogger Muslimah Indonesia

Share:

2 komentar