Memberi Waktu dan Ruang Untuk Bersimpati serta Berempati pada Si Kakak

Hasil gambar untuk gambar berebut mainan
wajibbaca.com


Pernah nggak sih ngalami kayak gini?

“Aku mau guling yang dipake Mbak!” teriak El kecil dengan sedikit cadel.
“Ini guling aku. Guling Dede yang itu!” tunjuk Hawa.
“Maunya guling Hawa!” El kembali teriak hingga lupa manggil Mbak pada kakaknya.
Merasa nggak ditanggapi oleh kakaknya, El pun mengambil tindakan. Ditariknya guling yang sedang dipeluk oleh kakaknya. Adegan tarik menarik guling akhirnya terjadi. Hingga akhirnya....
“Kasih gulingnya buat Dede! Mbak Hawa pake guling adiknya. Ngalah dong buat adiknya!” kata Ayah.
Ayahnya kasih solusi karena adegan tarikan guling sudah bersaing dengan suara teriakan kedua bocil.


Ah, saya yang sedang asyik berkutat di dapur hanya bisa meringis. Mau ke depan pikir saya ada ayahnya ini. Ternyata justru ayahnya kasih solusi yang cepat sekali, tapi saya yakin bikin sakit hati Mbak Hawa. Adegan teriak dan tarik menarik guling memang langsung berhenti dengan instruksi ayahnya, karena terdengar tawa bahagia milik El.

Saya juga pernah mengaalami hal ini. Sebagai anak tengah saya juga suka diminta mengalah untuk adik dalam hal apa pun. Sakit sih, tapi akhirnya saya paham, kakak memang fungsinya ngalah buat adik. Itu kesimpulan saya waktu kecil. Tipe nggak mau mendengar omelan ibu di rumah. Hehehe...

Namun, ini lain. Saya melihat luka di mata Mbak Hawa ketika itu saya lakukan. Mengalah untuk adiknya. Memang si Mbak akan memberikan guling, makanan atau mainan yang diminta adiknya meskipun dengan hati terpaksa. Solusi cepat yang diambil ayah tentu saja membuat si Mbak belajar, bahwa menjadi seorang kakak itu rasanya sangat menyebalkan, karena diminta untuk selalu mengalah. Sebaliknya buat adik, dia akan belajar bahwa menjadi adik itu bisa mendapatkan segala sesuatu hanya dengan menjerit dan tangisan. Akhirnya saya belajar lagi, untuk memberikan waktu bagi si Mbak dan adik bagaimana berempati.

Ketika adegan menjerit karena Mbak enggan berbagi mainan atau makanan dan Adik mulai mengeluarkan jurus rayuan mautnya, saya akan katakan baik-baik kepada El. “Mbak Hawa lagi nggak mau berbagi mainan ya, De. Kamu mainan milik Ade sendiri. Nanti kalau Mbak Hawa sudah mau berbagi, pasti Dede akan dikasih. Mbak Hawa kan sayang sama Dede El.”

Mudahkah menerapkan pola baru tersebut untuk menumbuhkan simpati dan empati si kakak? Tentu saja tidak mudah ketika di awal saya menerapkan pola ini. Mbak Hawa memang tetap mempertahankan miliknya dan El tetap dengan jeritan khas anak bontot. Selama El melakukan aksi menjerit, saya akan tetap katakan pelan-pelan kepadanya, kalau Mbaknya adalah kakak yang baik, yang nanti akan mau meminjamkan atau berbagi. Tapi lama kelamaan El juga berhenti menjerit dan mulai mendekati Mbaknya sambil bicara pelan. “Aku ikut main ya?”

Dan Mbak Hawa akan mengangguk setuju tanpa ada adegan teriak lagi. Bahkan pernah nggak lama saya ucapkan kalimat di atas (agar El nggak maksa minta milik Mbaknya), Mbak Hawa justru mengajak atau memberikan apa yang dipunya buat adiknya. Indahnya jika sudah begini, saya tersenyum dan akan memeluk mereka.

Menjadi orangtua memang tidak ada sekolahnya, dari anak-anaklah saya belajar untuk menjadi Ibu yang lebih baik dari hari ke hari. Yang pasti saya harus siap memanjangkan sedikit sumbu sabar dengan mengubah pola agar semuanya menjadi happy ending. Saya percaya anak yang terlahir dengan mempunyai adik adalah anak yang memiliki potensi yang sangat besar untuk mencintai adiknya. Hanya saja mereka butuh sedikit dibantu oleh kita orangtuanya. Tidak memaksa si kakak harus mengalah kepada adiknya. Namun, memeberikan waktu kepada si kakak agar mau berbagi dengan sukarela tanpa paksaan. Sehingga simpati dan empati si kakak kepada adiknya akan tumbuh tanpa paksaan.

PeeR saya tinggal ngobrol dengan ayahnya agar menyamakan pola asuh.

“Ketika orangtua memberikan waktu dan ruang untuk bersimpati dan berempati dengan si sulung, anak sulung itu akan memiliki waktu dan ruang untuk bersimpati pada adik-adiknya.” (Sabtu Bersama Bapak)

Tulisan ini diikutsertakandalam ODOP bersama Estrilook Community 

#ODOP
#EstrilookCommunity
#Day2

Share:

40 komentar

  1. kudu banyak belajar nih sama mba lisa, hhee

    ReplyDelete
  2. Tahu banget rasanya dikecewakan, jadi belajar semoga tidak mengulang kesalahan yang sama ke anal-anak ya, Mbak. Makasih sharing nya.

    ReplyDelete
  3. Ya ampun aku sama adeq begini. Sehingga menghasilkan pertumpahan darah 😂😂

    ReplyDelete
  4. Aku anak sulung. Dan memang tetlatih utk mengalah. Terbawa hingga dewasa. Jadi skrng bawaannya menganggap adik itu ttp masih kecil meskipun mereka jg sdh dewasa. masih ada was2 ketika berjauhan karena berpikir mrka masih anak2. itu hanya pemikiran yg terbentuk terlalu belia.

    ReplyDelete
  5. Yap ngalamin banget empat tahun tiga harus bener adil menguras energi untuk kerjasama agar ketiganya kompak dalam simpati dan empati

    ReplyDelete
  6. Hmm, saya anak bontot, cuma karena kakak saya laki2 jadi kayanya hampir gak pernah rebutan, karena kesukaan kita berbeda. Kok di awal aku jadi ikut sedih sama kaka hawa, heuheuu... melankolis aku nih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi...iya mbak..kadang aku juga menempatkan pada posisi kak hawa

      Delete
  7. saya sama kakak kek begini waktu kecil. mungkin sama-sama perempuan jadi apa-apa kudu kembar kalo enggak bisa ada badai di rumah wkwk. makasih bun sharingnya, ilmu banget ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi..dulu masa kecil mbak saya dengan adik juga begitu. Saya anak temgah jadi penonton saja

      Delete
  8. Sebagai anak pertama, saya pernah merasakan posisi seperti itu. Selalu harus mengalah huhuhuuu... :(
    Karena saya tahu bagaimana rasanya di posisi yang harus sering mengalah, maka saya tidak melakukan hal yang sama pada anak-anak.
    Saya selalu memngkondisikan kakak dan adek dalam posisi serta porsi yang sama. Supaya tidak ada yang merasa sedih hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betuuul banget mbak. Saya dulu ngerasain ngalah nggak enak juga.

      Delete
  9. Benar banget, mba Lisa. Sebagian orang tua senantiasa mengajarkan agar anak yang lebih besar selalu mengalah pada adiknya. Padahal, hal ini gak berlaku di semua keadaan. Solusi di atas, keren banget, mba...

    ReplyDelete
  10. Menyamakan pola asuh ini yang susah..kwkwkw
    Di rumah pun dmeikian adanya. Si Adik maunya menang sendiri jadilah ai Mas ngalah lagi dan lagi..
    Hiks terima kasih sudah diingatkan, Mbak Lisa...

    ReplyDelete
  11. Masya Allah mba Lisa... sepertinya aku harus belajar banyak sama mba Lisa 😊. Kedua anakku pun sering begitu dan aku sering pake solusi instan 😔.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terkadang solusi instan memang ajib yaa..hehehe..saya juga sempat begini

      Delete
  12. Betul nih bun..pola asuhnya harua disamakan biar anak gak bingung karna masa ortunya aja masih beda pendapat. Mudah-mudah2an dengan sedikit perbincangan dengan suami dan ikut kelas parenting semuanya jadi sama yah mbak dalam menerapkan pola asuh si kecil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Alhamdulillah suami mudah diajak menyamakan pola asuh

      Delete
  13. Ini drama di rumahku banget nih, Mbak. Dan parahnya anakku yangblanang terkesan bossy gitu sama kakakknya. Sampek-sampek kakakknya sering takut. Tapi dinlain waktu dia sangat sweet sama kakaknya. Selalu bilang terima kasih dan minta maaf kalau bikin kakakknya sedih. Kadang-kadang aku galau sendiri. 7 tahun ngasuh anak ya masih aja minim ilmu.Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi...tapi seru ya mbak, anakku lanang yang bontot itu juga suka begitu. Kalau lagi manis banget sama mbaknya, ya bikin meleleh.

      Delete
  14. betul tuh. namanya anak-anak. pasti ada saat saja yang diributin.

    ReplyDelete
  15. Memang kalau tidak dibiasakan, nanti sang adik jadi kurang bisa mengontrol emosi dan empatinya��

    ReplyDelete
  16. Ngena banget quotenya, Mbak. Masya Allah kadang saya pun masih belum matang saat menghadapi kasus antar adik kakak ini. Masih suka keceplosan bilang sama sulung kalau dia harus ngalah karena adik masih kecil. Heu

    ReplyDelete
  17. Masya Allah, mbak. bener banget. saya pun menerapkan pola ini. meski berat di awal, tapi bikin senyum di akhirnya. hihihiii
    karena saya termasuk yang tidak setuju dengan pendapat bahwa kakak harus mengalah dengan adik. tidak bisa selamanya seperti itu, lah. setuju, gak, mbak?

    btw, salam kenal yaaaa

    ReplyDelete
  18. Drama kakak adek akan selalu ada ya mba. Aku pun pernah ngalamin. Padahal si kakak udah umur 10 tahun dan adeknya setaun. Kupikir si sulung akan lebih mudah bersimpati dan mengalah. Ealaaah ternyata nggak jugak. Malah justru dia ngamuk dan membanting pintu. Akhirnya mamak juga yang membujuk dan memberi pengertian. Baru setelah masuk SMP si kakak mulai "sayang" ama adeknya hahaha...

    ReplyDelete
  19. Iya, sebel juga sih jika sebagai kakak selalu dipaksa mengalah hanya krn secara fisik, Si kakaknya lebih besar duluan

    ReplyDelete
  20. Tak terasa saya meneteskan air mata baca tulisan ini. Karena saya juga sering memaksa kakak untuk mengalah. Saya sadar itu salah tapi terlalu egois. Meskipun kadang kakak lebih sering berempati. Hiks. Makasih sharingnya mbak. Sesuai banget sama isi hati saya. Hwhe

    ReplyDelete
  21. Kok sama ya mbak,
    Saya juga di rumah gitu, apa aja bisa jadi bahan rebutan, terutama remot tv,

    Dan kita sebagai orang tualah yang harus nijak menjadi penengah mereka

    ReplyDelete
  22. Anakku yg suka ngalah mlh adekknya. Hihi...padahal ya sdh saya kasih tahu kalau kakak skali2 ngalah buat adeknya. Tapi adeknya sabar ya jdi gk jarang berantem

    ReplyDelete
  23. Bela yang benar, bukan bela yang muda. Itu menurut saya, berdasarkan pengalaman menjadi anak sulung.
    Btw, quote SBP bikin saya pengen baca bukunya.

    ReplyDelete