Pemberangusan Buku

Buku adalah gudang ilmu, kuncinya adalah membaca.



Begitulah kira-kira bunyi sebuah pepatah lama yang masih sangat populer hingga kini. Menggambarkan tentang betapa vitalnya arti buku dan proses membaca. Hal ini tentu saja sejalan dengan cita-cita luhur Bangsa Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat. Cita-cita luhur harus diwujudkan karena merupakan visi pendiri bangsa.


Tetapi ironisnya, masih banyak PR yang harus Bangsa Indonesia kerjakan untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut. Selain dari berbagai inovasi pemerintah yang telah dilakukan terutama dalam sektor pendidikan. Hal tersebut tentu saja tidak cukup, mengingat tingkat literasi di Indonesia masih sangat rendah. Menurut data dari UNESCO minat baca orang Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Itu artinya dari seribu orang Indonesia hanya satu orang yang suka membaca.

Belum usai dengan polemik tetang rendahnya minat baca, kebijakan pemerintah yang satu ini justru mengundang banyak kritik dan permasalahan baru yang muncul. Yaitu tentang pemberangusan buku yang padahal mengandung nilai sejarah di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui, sejarah merupakan identitas dan cikal-bakal berdirinya suatu bangsa. Terlepas dari suram atau tidaknya masa lalu bangsa tersebut, sejarah tetaplah sebuah sejarah yang tak bisa dilupakan, terlebih lagi jikalau harus dimusnahkan.

Rabu, 26 Desember 2018 menjadi hari di mana bangsa kita mengalami (lagi) simbol kemunduran ilmu pengetahuan. Tepatnya di Toko Ki Ageng yang berlokasi di Jalan Brawijaya nomor 67 dan nomor 24 Kediri, Jawa Timur, tentara dan polisi melakukan razia dan menyita buku yang dianggap meresahkan masyarakat. Tidak cukup sampai di situ, razia buku yang dianggap menganut paham kiri terjadi lagi di toko buku kawasan Jalan HOS Cokroaminoto, Padang pada Selasa, (8/1).

Sebelumnya, berdasarkan infografis Tirto.id razia buku juga terjadi pada 10 Mei 2016 di Jogjakarta, 11 Mei 2016 di Grobogan, dan 12 Mei 2016 di Sukoharjo.

Lantas di mana makna demokrasi sesungguhnya jika perihal akses pengetahuan saja dibatasi? Bebas bersuara dikecam, sedikit-sedikit delik aduan. Bahkan kini membaca buku sejarah pun dilarang. "Suatu kemubaziran sempurna dan kebodohan luar biasa jika razia buku-buku sejarah dilakukan," ucap Najwa Shihab yang kiranya sangat mewakili kondisi bangsa kita kini.

Jika pemberangusan buku masih berlanjut, akan memungkinkan Indonesia kembali ke zaman kegelapan. Yaitu zaman ketika pengetahuan dan buku yang konon dianggap sebagai peradaban dunia mengalami pembatasan hanya alasan untuk ketertiban umum. Bukankah menjadi aneh, saat adanya hari peringatan buku nasional, tapi buku justru mengalami larangan untuk diedarkan bahkan mengalami pemberangusan.

Percayalah, setiap buku yang telah dilahirkan oleh seorang penulis pasti akan menemukan sendiri penikmatnya. Karena sejatinya, tidak ada karya yang tidak layak untuk dibaca.

#Tantanganke10
#Katahatiproduction
#Katahatichallenge
#Kelompok8
#Dita R, Raff, Lisa

Share:

1 komentar

  1. Minat baca di negeri kita rendah banget...bahkan udah ditulis aja kadang masih ditanya..di situ kadang merasa miris..hihi

    ReplyDelete