Dunia Lisa
  • Home
  • Category
    • Mom's Corner
    • Curhat
    • Review
    • Literasi
      • Resensi Buku
      • Artikel
      • Cerita Anak
      • Reportase
      • Puisi
  • Lifestyle
    • Parenting
    • Traveling
    • Kuliner
  • Event
    • SETIP
    • ODOP Estrilook
    • ODOP Blogger Muslimah
    • Tantangan
  • About Me
  • Contact
Hasil gambar untuk gambar ruang hampa
image:google


Seminggu berlalu. Dan diam itu tetap menjadi teman keseharian Alika. Setiap chatnya hanya dibalas maaf. Tak ada perbendaharaan kata-kata lagi. Sosok yang pendiam menjadi semakin diam dan pelit kosa kata.

Hingga kabar mengejutkan datang dari Tyas sahabatnya. Memberikan hasil chatnya dengan lelaki itu. Dan dia mengabarkan untuk mundur dengan baik. Jalan yang dilalui terlalu terjal.

 Dari awal kita tahu, kalau jalan yang akan kita lalui bukan jalan yang mulus. Akan ada kerikil bahkan batu besar dan runcing yang akan menghambat perjalanan kita. Kenapa baru sekarang kau mengatakan mundur karena jalan terjal?

“Aaagghhhrrr...” Alika berdiri dari posisi duduknya, berteriak dengan sekuat tenaga. Mengeluarkan beban yang menghimpit. Beban itu sudah terlalu berat hingga menyesakkan dada. Ia butuh ruang kosong untuk menghirup oksigen lebih banyak.

Air matanya masih mengalir dengan deras. Kesedihan yang bercampur dengan rasa benci. Bencikah ini? Ah, rasa cinta dan benci yang kini meraja di hatinya tak bisa ia bedakan. Jarak keduanya terlalu tipis. Hingga Alika tak bisa membedakan. Perasaan cinta atau benci yang kini berdiam di hatinya.

Diambilnya kerikil. Dilemparkan ke bawah menuju aliran sungai. Tak terdengar suara apapun. Tenggelam bersama tingginya tebing tempatnya berdiri. Kerikil itu sukses meluncur dalam air. Satu persatu titik air mulai turun. Alika bergegas menuju kendaraannya yang ia parkir. Berlari tergesa dan memacunya sebelum rintik ini menjadi hujan yang besar.

Tak dihiraukan sisa-sisa air mata yang masih mengalir di pipi. Dipacunya dengan kecepatan tinggi, menembus air langit yang mulai turun dengan keroyokan. Menembus jalanan berkelok, menurun hingga habis menyisakan jalanan lurus tanpa tanjakan dan kelokan. Alika masih memacu kuda besinya dengan kecepatan stabil. Tiba di perempatan jalan, Alika menghentikan kendaraannya karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Tangannya menyempatkan meraih tisu dalam tasnya. Jaketnya sudah basah kuyub. Ditariknya selembar tisu untuk mengelap wajahnya yang basah air mata bercampur dengan air hujan.

Saat lampu menjadi hijau, Alika mulai bergerak perlahan. Tak berniat untuk buru-buru. Dari arah kanan sebuah ninja hijau melesat cepat, mengejar lampu hijau yang akan berpindah. Tidak melihat vario hitam milik Alika yang akan berbelok ke kanan. Dan kejadian itu begitu cepat terjadi. Brak...! Tubuh Alika dihantam hingga terpental jauh di tengah jalan raya besar. Semua menjerit tertahan. Vario Alika tergeletak tak jauh dari tubuhnya yang dengan keras menghantam aspal. Helmya terlempar, kepala Alika menyentuh hitam dan kerasnya aspal. Tubuh Alika mengejang sesaat. Darah segar mengalir dari kedua hidung dan mulutnya. Alika menyunggingkan senyum di saat sukmanya mulai menjauh. Pengendara ninja hijau hanya terpental, lecet sedikit.


Alika memandang jasadnya. Tangannya mengelus sepucuk surat yang disimpan di dalam tas. Belum sempat ia berikan kepada Tyas. Surat untuk lelakinya, agar kembali memaafkan dirinya. Ditulisnya semalam, sebelum ia menangis hebat di atas tebing. Ia harus memberikan surat itu kepadanya, segera.

Bersambung...

#OneDayOnePost
Hasil gambar untuk gambar ruang hampa
image:google


Alika

Ketika aku menitipkan hatiku kepadamu, sungguh aku percaya, engkau tak akan membuatnya retak. Tapi ternyata aku salah. Kau justru memecahkannya hingga hancur berserak...

Alika memeluk kedua lututnya dengan erat. Bahunya berguncang. Suaranya menggema di atas tebing. Menyerukan kepedihan atas luka hatinya. Tak peduli dengan tatapan aneh beberapa ekor burung yang melintas. Yang dia rasakan hanya ingin mengeluarkan sesa di dada agar hatinya menjadi lega. Duduk tanpa alas apapun, membiarkan vario hitamnya berdiri di seberang. Baginya ini adalah tempat yang pas. Tak akan ada orang yang mendengar jeritan tangisnya.

Mendongak ke bawah, terlihat aliran sungai yang jernih. Ada batu-batu besar yang menghambat aliran sungai. Di seberang tebing yang sama tingginya, berderet pohon dengan angkuhnya. Besar dan kokoh.

Alika masih tersedu, menghabiskan sisa kesedihan yang sudah ia pendam. Matanya menerawang jauh menembus langit yang mulai tertutup awan hitam. Sekali lagi Alika tak peduli.

“Kita putus saja, ya. Sepertinya kita mulai sering berbeda pendapat. Ada saja yang membuat kita harus berdebat dan berujung dengan pertengkaran. Maafkan aku.” bunyi whatsapp yanng dikirmkan untuk Alika.

“Oke, siapa takut!” balas Alika tak kalah sengit. Merasa tertantang usai debat kusir yang dilakukannya dengan seseorang di seberang telefon. Emosinya tersulut dengan cepat. Bereaksi atas sikap yang diterimanya.

“Terimakasih atas semuanya.” salam terakhirnya.

“Ya, aku tak akan mengganggumu lagi!” balas Alika.

Kemudia sepi menghampiri keduanya. Biasanya jika Alika emosi, tak pernah keluar kata-kata untuk putus. Hanya diam dan beberapa hari kemudian akan baik kembali. Hingga keesokan harinya, Alika tak mendapatkan chat seperti hari sebelumnya. Sedikit kecewa. Masih agak marah, namun coba diredam. Ditekannya tuts handphonenya mengucapkan kata maaf atas pertengkaran semalam. Terkirim, tapi tidak berbalas. Alika kembali merayu.

“Masih marah ya? Maaf...Udahan dong marahnya. Baikan lagi yuk!” kembali terkirim. Tetap hanya sampai dibaca saja.

Alika masih belum menyerah. Dikirimkan lagi chat dengan emot senyum. Hanya jawaban, “maaf” yanng tertulis.


Alika terdiam. Jawaban singkat dari lelaki yang dicintainya cukup membuatnya paham. Hubungan mereka memang harus berakhir. Alika masih belum begitu sedih. Karena kejadian sebelumnya juga sering. Mereka berdebat, diam, dan akan kembali menyapa setelah masing-masing merasa rindu. Alika memutuskan untuk menunggu hingga amarah yang sedang menguasai lelaki yang dicintainya reda.

Bersambung...

#OneDayOnePost
Hasil gambar untuk gambar telur ayam, telur bebek, telur puyuh
image:google

Kami selalu berkumpul di sini. Berbincang bersama dalam satu kios. Banyak yang kami perbincangkan. Mulai permasalahan yang terjadi di sekitar kita ataupun yang ada di luar. Dan perbincangan kami selalu seru.

Tetapi hari ini berbeda. Ada yang baru menghuni kotak sebelahku. Bentuknya kecil dengan corak bagus. Seperti diukir. Aku menyambutnya dengan gembira. Berarti akan semakin ramai saja kios ini. Pak Kumis sebagai pemilik kios tentunya sedang berkembang usahanya, sehingga bertambah barang yang dijual.

“Kamu berasal dari unggas jenis apa?” tanyaku penasaran.

Dia menatapku dengan sedikit kebingungan. Lalu tersenyum. “Aku berasal dari unggas kecil, bernama burung puyuh.”

“Jadi kamu telur puyuh? Aku baru lihat. Bagus sekali tubuhmu. Bercorak.” kata telur ayam negeri dengan kagum. Telur bebek ikut tersenyum.

“Coba berputarlah. Aku ingin melihat corakmu!” pinta telur bebek. Dengan semangat telur puyuh mengikuti permintaan telur bebek. Dia berputar dengan lincah. Semua bertepuk tangan melihat aksinya.

“Berarti aku paling bagus dong di sini dibandingkan dengan kalian yang pollos tidak becorak.” Sahut telur puyuh mulai terlihat angkuh.

Semua telur berpandangan. Selama ini yang tinggal di kios ini tidak ada yang merasa lebih baik.

“Maksudmu?” selidik telur ayam negeri.

“Lihat tubuhku. Meskipun aku kecil aku paling cantik. Badanku tidak polos seperti badan kalian.” Telur burung puyuh semakin pongah.

Telur ayam kampung yang dari tadi hanya diam ikut bicara. “Kalian adalah sama. Hanya berbeda di luar saja.”

“Tidak! Tetap berbeda.” Sahut telur puyuh dengan cepat.

Telur ayam kampung kembali tersenyum. Semua memandang telur ayam kampung menanti penjelasan lebih lanjut. “Di luar saja kita berbeda. Ada yang bercorak seperti telur puyuh. Ada yang polos sepertiku. Berwarna seperti telur bebek dan telur ayam negeri. Tapi lihatlah, jika kita buka cangkang kita, apakah berbeda?”

 Semua terdiam. Saling pandang satu dengan lainnya. Kemudian tertunduk.

“Kita di dalam isinya sama. Putih telur dan kuning telur. Apakah ada yang lain?” lanjut telur ayam kampung.

Telur bebek tertawa. “Iya, ya. kita ini sama. Hanya cangkang kita yang berbeda. Jadi nggak usah merasa lebih bagus.”

“Betul...betul...” manggut-manggut telur ayam negeri. Telur puyuh mengangguk. Menyadari kekeliruannya.

“Maafkan merasa lebih bagus.” lirih ucap telur ayam puyuh.

“Kita memaafkan kok.” peluk telur ayam kampung. Kami berangkulan.


#OneDayOnePost 

Hasil gambar untuk gambar seorang ibu dan anak
image;google

“Tapi omongan mereka salah kan, Bu?” tanya mbak Alya.

“Apa yang mereka katakan tentang ibu?”

Sebelum menjawab kami terdiam. Memilih kalimat yang pas agar tidak menyinggung perasaan ibu. “Mereka bilang, Ibu tak ubahnya seperti wanita yang tinggal di Kampung Baru,” lirih mbak Alya mengucapkan kalimat tersebut.

Ibu terdiam, tertunduk kepalanya. Lirih ibu berucap, “Iya, Ibu memang seperti itu.”

“Ibu...” mata kami terbelalak. Satu kalimat jawaban ibu sudah cukup menjawab rasa penasaran dan segala prasangka kami tentang ibu. Mbak Alya memelukku, menangis kami berdua. Ibu tak bergeming dari duduknya.

“Jadi Ibu memberikan makanan kepada kami dengan uang haram?” dengan nada tinggi aku bertanya kepada ibu.

“Tidak!” jawab ibu tak kalah tinggi.

“Kata Ibu barusan, Ibu tak ubahnya seperti wanita yang tinggal di kampung sebelah kan? Kalau bukan uang haram, lantas apa kami menyebutnya?” masih dengan nada tinggi aku membalas perkataan ibu.

“Dengarkan Ibu! Ibu berbuat seperti itu hanya untuk melunasi hutang keluarga kita yang makin mencekik. Hutang dari berobat bapak. Hutang dari warung kita yang semuanya gagal.” Jelas ibu masih dengan nada tinggi diiringi isak tangis.

“Jika hutang itu tidak segera Ibu bayar, rumah peninggalan bapak akan diambil. Padahal ini adalah satu-satunya harta kita.” Lanjut ibu.

“Kalau hutang itu sudah lunas, Ibu akan berhenti.” pelan ibu mengakhiri perkataannya. “Untuk makan kalian dan biaya sekolah, Ibu memakai uang pensiun bapak. Sisanya berhutang di warung dan akan Ibu bayar saat pensiun bapak turun nanti.”

Mendengar penjelasan ibu, tangis kami makin kencang. Beban ibu begitu berat.

“Maafkan kami, Ibu. Tapi kami ingin Ibu berhenti melakukannya. Sudah, Ibu, jangan lakukan lagi!” berhambur kami memeluk ibu yang masih menangis terisak.

“Kita bisa berjualan lagi, Bu. Aku akan berkeliling lagi menitipkan kue buatan Ibu. Kita bisa memulai dari awal lagi, Bu.” kataku.

“Tidak bisa. Modal saja Ibu tak punya. Hanya ini cara cepat untuk melunasinya.”

Pelukan kami dibalas erat oleh ibu. “Abaikan omongan tetangga. Mereka tidak pernah tahu dengan kesulitan yang kita alami. Ibu berjanji, tinggal sedikit lagi hutang itu akan lunas. Dan Ibu tidak akan melakukannya lagi.”

“Ibu...” bertiga kami kembali menangis. Saling memberi kekuatan dan keyakinan bahwa semuanya akan kembali normal.

“Kalian malu memiliki Ibu seperti ini?” tanya ibu menatap wajahku dan mbak Alya bergantian.

Tegas kami menggeleng. “Ibu tetap menjadi pahlawan bagi kami. Meskipun perbuatan Ibu hina, tapi kami tetap sayang Ibu,” mbak Alya mewakili jawabanku juga.

“Maafkan Ibu, membuat kalian malu,”

Kami hanya menangis, mencari arti dari semua yang sudah terjadi. Ada doa terselip, semoga ini yang terakhir ibu lakukan.Besok malam ibu sudah bersama kami seperti dahulu.


Tamat

#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan
Hasil gambar untuk gambar seorang ibu dan anak
image:google


Kami menangis sesenggukan cukup lama. Saling menguatkan lewat pelukan. Karena hanya ini yang bisa kami lakukan. Untuk bertanya langsung kepada ibu kami tak punya cukup nyali dan keberanian.

“Mbak, kita harus bertanya kepada ibu dan mengingatkan ibu. Jangan sampai ibu lupa bahwa kita butuh yang halal. Bukan hanya melulu tentanng uang.” kataku usai tangis kami reda.

“Ya, kita harus menanyakan ke ibu. Walaupun nantinya ibu akan marah dengan kita. Kamu siap, De, jika ibu ngamuk?”

Aku mengangguk. “Siap, Mbak!”

Jadilah kami menunggu kepulangan ibu. Berharap ibu pulang tidak selarut malam-malam sebelumnya. Tak ada hiburan yang bisa kami gunakan untuk membunuh waktu yang rasanya berputar lebih lama dari biasanya. Hanya radio kecil pengusir rasa kantuk dan bosan yang kadang-kadang datang menghampiri.

Tepat ketika jarum jam menunjuk ke angka sembilan, kudengar langkah kaki mendekat ke arah pintu yang sudah terkunci. Pasti ibu yang datang, pikirku. Segera kubangunkan mbak Alya yang sudah terpejam matanya. Pelan kugoyang badannya. Aku sendiri bergegas menemui ibu, mencium tangannya. Disusul oleh mbak Alya.

“Kok kalian belum tidur?” tanya ibu meletakkan tas bawaannya. Kami sudah bisa menebak, pasti isinya baju baru dan sedikit makanan untuk kami.

“Bu, boleh kami bertanya?” awal yang bagus. Mbak Alya memulai percakapan yang serius dengan ibu tanpa basa basi.

Ibu mengangguk. Mengambil duduk di hadapan kami. “Apa yang akan kalian tanyakan?”

“Maaf, jika pertanyaan kami akan menyinggung perasaan ibu.”

“Apakah ini tentang gosip yang akhir-akhir ini mengenai ibu?”

Serempak kami mengangguk mengiyakan. Ibu tertawa getir. Parau sekali suara yang kami dengar. Agak takut mengamati perubahan di wajah ibu. Ibu seperti menanggung beban berat. Rasanya kami ingin menarik kembali pertanyaan agar ibu kembali tersenyum.

“Peduli apa mereka dengan kehidupan kita? Apakah mereka akan menolong di saat kita membutuhkan bantuan? Tidak kan? Mereka hanya tahu menggunjing dan membicaran keburukan kita. Meskipun itu benar.”

Dalam hati aku membenarkan omongan ibu. Tetangga memang hanya tahu menggunjing. Tidak tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya orang yang jadi bahan gunjingan.

Bersambung...

#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan
Hasil gambar untuk gambar seorang ibu dan anak
image:google


Sejak bapak meninggal, kami memang harus mengencangkan ikat pinggang. Berbagai usaha warung sudah ibu coba. Hasilnya nyaris hanya meninggalkan lubang hutang yang makin menganga. Dua tahun sudah bapak meninggalkan kami karena sakit yang dideritanya. Di ujung menjelang kesembuuhannya, bapak justru dipanggil meninggalkan kami. Bapak hanya pegawai rendahan. Dengan uang pensiun yang tidak seberapa untuk kami bertiga.

Setelah berbagai usaha yang ibu coba gagal, mulailah ibu berubah. Pergi di siang hari dan akan pulang larut malam. Tanpa meninggalkan pesan atau berpamitan. Hanya mengatakan kepada kami ada urusan penting yang harus ibu bereskan. Awalnya hanya seminggu dua kali. Lama kelamaan semakin sering. Meningkat menjaadi setiap hari. Hanya hari Sabtu dan Minggu aku mendapatkan ibu berdiam di rumah, membaca majalah kesayangannya ataupun merawat tanaman bunga di halaman.

Semula kami hanya mengira ibu memang pergi karena urusan penting. Namun keanehan perilaku ibu menepis prasangka baik. Ibu semakin rajin bersolek. Membeli baju-baju yang bagus setiap minggunya. Ada saja barang baru yang ibu bawa sebagai oleh-oleh setiap pulang bepergian. Ibu juga mulai sedikit genit, menurutku. Hingga akhirnya gosip itu melengkapi rasa penasarankku dan mbak Alya.

“Apakah ibu benar seperti itu ya, Mbak?” tanyaku memecah keheningan yang mendadak tercipta.

“Hush! Jangan ngawur kamu!” timpuk mbak Alya.

Aku hanya nyengir. “Tapi seandainya benar? Ibu memang seperti kelakuan yang ada di Kampung Baru, bagaimana Mbak?”

Kembali timpukan majalah nyasar mengenai wajahku. Sekarang lebih keras malah timpukannya. “Mbak Alya gitu ah!”

Mbak Alya bangun dari rebahannya. Memandangku dengan wajah serius. “Masak ibu seperti itu sih, De?”

Aku ikutan duduk bersila. Balas menatap wajah ayunya. “Dugaan kita beralasan, Mbak. Lihat saja perilaku ibu juga beda. Wajarlah kalau tetangga sekitar mengatakan hal miring tentang ibu.” cerocosku.

Kepala mbak Alya manggut-manggut. Entah membenarkan perkataanku atau manggut karena alasan lainnya. “Jika ibu seperti itu, De?” suara mbak Alya menggantung.

Bahuku terangkat ke atas menjawab pertanyaan mbak Alya. Pertanyaan yang sama kuajukan di awal percakapan kami. “Mbak, mosok kita dapat makanan dari uang haram?” bergetar suaraku mengucapkannya. Antara rasa percaya dan tidak percaya berperang dalam hatiku. Pergolakan batin yang cukup membuatku tersiksa seiring gosip yang menerpa keluarga kami.


Mbak Alya memelukku. Aku yakin dalam hatinya juga merasakan hal yang sama. Kami pernah melihat ibu berjalan di terminal berdua dengan lelaki yang aku kenal dulu sebagai pelanggan di warung soto ibu. Saat warung soto ibu masih ramai, setiap jam makan siang aku pasti melihatnya ada di warung ibu. Menikmati soto buatan ibu bersama anak buahnya yang lain. Tak begitu mengenalnya. Yang aku tahu, dia bukan duda. Berarti tak mungkin akan menikahi ibu.

Bersambung...

#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan 


Newer Posts Older Posts Home

Mama Daring

Mama Daring

Seru-seruan

1minggu1cerita

About Author

PENULIS & BLOGGER

Hallo, Saya adalah muslimah penyuka kucing, senang traveling meski belum berkunjung ke banyak tempat, senang kuliner walau hanya makanan tertentu, membaca berbagai jenis buku, menulis cerita anak, dan berpetualang ke negeri dongeng untuk menciptakan berbagai keajaiban dalam ke dunia anak-anak yang sedang saya tekuni. Hubungi saya via email : lestarilisa8@gmail.com

Follow us

Featured Post

Popular Posts

  • Review Scarlett Brightening Series (Facial Wash, Esssence Toner, dan Serum)
    Review Scarlett: Brightening Facial Wash, Brightly Essence Toner, dan Brightly Ever After Serum  Ngaku, nih? Siapa yang suka banget coba-cob...
  • Mampirlah ke Dunia Lisa, Blog dengan Wajah Baru
    Eh, siapa sih yang nggak ingin tampilan blognya menjadi cantik dan enak dilihat? Semuanya pasti akan menjawab mau dong! Nggak ada yang pe...
  • Seperti Inilah Karakter Shio Babi Berdasarkan Elemennya
    Karakter shio babi dengan shio lainnya tentu saja berbeda. Karena beberapa shio dianggap memiliki pengertian berbeda. Apakah Anda sud...
  • Lebih Asyik ke Candi Borobudur Atau Candi Prambanan Untuk Menghabiskan Libur Akhir Tahun?
    ruangbelajarbahasainggris.com Libur tlah tiba Libur tlah tiba Hore ... hore ... hore! Apa sih hal yang membahagiakan bagi ...
  • Ramalan Shio Ayam Tahun 2020 Lengkap dari Cinta Hingga Keuangan
    Hanya tinggal menyisakan kurang dari dua bulan saja, kita semua akan menyambut tahun 2020. Tentu berbagai harapan dilontarkan dan pe...

Buku Terbit

Dunia Lisa

Blog Archive

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  March 2025 (1)
      • Tradisi Membangunkan Sahur: Antara Romantisme Rama...
  • ►  2024 (1)
    • ►  September 2024 (1)
  • ►  2023 (4)
    • ►  July 2023 (1)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  March 2023 (1)
    • ►  February 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  September 2022 (2)
    • ►  August 2022 (3)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (2)
  • ►  2021 (32)
    • ►  December 2021 (5)
    • ►  November 2021 (2)
    • ►  October 2021 (5)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (1)
    • ►  May 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  March 2021 (1)
    • ►  February 2021 (3)
    • ►  January 2021 (2)
  • ►  2020 (39)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  October 2020 (2)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (5)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (4)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (5)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ►  2019 (78)
    • ►  December 2019 (2)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  October 2019 (4)
    • ►  September 2019 (3)
    • ►  August 2019 (6)
    • ►  July 2019 (8)
    • ►  June 2019 (7)
    • ►  May 2019 (18)
    • ►  April 2019 (6)
    • ►  February 2019 (9)
    • ►  January 2019 (12)
  • ►  2018 (49)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  October 2018 (8)
    • ►  September 2018 (10)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (3)
    • ►  March 2018 (6)
    • ►  February 2018 (3)
    • ►  January 2018 (10)
  • ►  2017 (116)
    • ►  December 2017 (4)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (21)
    • ►  September 2017 (8)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  July 2017 (4)
    • ►  June 2017 (7)
    • ►  May 2017 (6)
    • ►  April 2017 (11)
    • ►  March 2017 (28)
    • ►  February 2017 (11)
    • ►  January 2017 (12)
  • ►  2016 (198)
    • ►  December 2016 (12)
    • ►  November 2016 (24)
    • ►  October 2016 (31)
    • ►  September 2016 (29)
    • ►  August 2016 (6)
    • ►  July 2016 (5)
    • ►  June 2016 (18)
    • ►  May 2016 (22)
    • ►  April 2016 (21)
    • ►  March 2016 (26)
    • ►  February 2016 (4)

Total Pageviews

Komunitas

Dunia Lisa

Categories

  • Blog Competition 10
  • Cermin 6
  • Cerpen 128
  • Curhat 29
  • Flash Fiction 2
  • Lebih Dekat 2
  • ODOP Estrilook 7
  • Parenting 30
  • Puisi 29
  • SETIP Estrilook 3
  • Satu Hari Satu Karya IIDN 5
  • Serba-serbi Cerita Anak 13
  • Tantangan 3

Followers

About Me

My photo
Lisa Lestari
View my complete profile

Instagram

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram

Copyright © 2017-2019 Dunia Lisa. Created by OddThemes