Dunia Lisa
  • Home
  • Category
    • Mom's Corner
    • Curhat
    • Review
    • Literasi
      • Resensi Buku
      • Artikel
      • Cerita Anak
      • Reportase
      • Puisi
  • Lifestyle
    • Parenting
    • Traveling
    • Kuliner
  • Event
    • SETIP
    • ODOP Estrilook
    • ODOP Blogger Muslimah
    • Tantangan
  • About Me
  • Contact
Hasil gambar untuk gambar rembulan
https://romantismesenja.files.wordpress.com/2014/06/guys-fs.jpg

Aku duduk di serambi malam
Menantimu untuk menyapa
Mengajakmu untuk bercanda
Mendentingkan harpa kerinduan


Hasil gambar untuk gambar kertas dan pensil
http://upload.wikimedia.org/


“Huf...!” terdengar suara bernada kesal. Setengah bersungut dan menggerutu.

“Mengapa kau nampak begitu kesal?” tanya suara yang lain.

Suara pertama hanya menggeleng memberikan jawaban. Suara kompak bernada sama seolah menyatu seperti sebuah paduan suara. Ooo.... kemudian terdiam. Membisu dan hening.

Hasil gambar untuk gambar kancil dan kuda
http://4.bp.blogspot.com/
 Di hutan yang sangat luas ini tak ada binatang yang tidak mengenal Kancil. Binatang kecil bahkan cenderung kerdil. Namun namanya begitu membahana seantero hutan. Kecerdikan Kancil untuk meloloskan diri dari marabahaya membuatnya terkenal.

“Kancil, aku adalah Kuda dari padang rumput di sebelah hutan ini. Aku mendengar kekuatanmu yang mampu mengalahkan semua binatang buas di hutan ini. Untuk itu aku ingin bertanya kepadamu. Hal hebat apa yang membuatmu berhasil menjadi terkenal?” tanya kuda.

Hasil gambar untuk gambar patah hati
image by google

Suara di seberang telefon tidak kuhiraukan lagi. Mataku nanar menatap pemandangan yang jelas terlihat dari balik tiang tempatku menerima panggilan. Tangan mungilnya ada dalam genggaman pria lain. Jari-jari lentiknya diremas lembut, berbanding terbalik dengan perasaanku demi melihatnya. Napasku memburu, bergegas menghampiri tempat duduk yang sudah kami pesan berempat.

Hasil gambar untuk gambar burung kakak tua putih
image by google

Kepalaku celingukan ke kanan dan kiri. Memandang sekitar yang masih terasa asing. Pohon-pohon yang menjulang hingga ke awan. Hijaunya daun seperti mewarnai sekelilingku. Dahan yang besar, melebihi besarnya rangkulan orang dewasa. Satu lagi yang membuatku sedikit kaget. Aku diminta untuk bisa menggerakkan satu pasang bagian tubuhku yang sudah lama tidak berfungsi. Kaku dan rasanya aneh.
image by pixabay.com



"Pulsa itu darimu?"

"Iya."

"Kenapa masih kirim pulsa kepadaku? Padahal aku sudah tak pernah berkabar. Semua medsosmu pun sudah kublokir."

Senyum termanis yang kupunya terukir di wajah. "Karena aku ingin kamu tetap bisa menghubungi temanmu, keluargamu."





Kenapa aku masih mengingatmu? Padahal aku yakin, kamu sudah lulus melupakanku. Lulus dengan gelar cumlaude. Selamat ya....

Aku kembali mengendap, mencuri waktu hanya untuk memuaskan mataku. Makhluk imut nan manis dengan senyum terindah yang mampu menyihirku, mengalihkan duniaku hingga berjam-jam. Pelan dan tak ingin membuat sosok di sebelahku terjaga. Lihatlah, pelukannya hampir selalu membuatku asma mendadak. Dengan tubuh gendutnya senantiasa memelukku agar tak bergeser seinci pun. 

Berhasil... hore! Aku menyeringai bahagia bukan main. Seperti menang undian di mana yang ikut hanya aku. Kujulurkan lidahku untuk merayakan keberhasilanku. Tidak berani melompat atau melakukan salto tujuh kali. Bisa bangun dan matilah aku. 
Hasil gambar untuk gambar patah hati
image by terupdateonline.com



Cerminku retak, Tuan...
Seperti sayatan pada sebuah benda
Menggores dalam laksana luka

Apakah Tuan akan memberiku perekat?
Agar cermin itu terlihat utuh kembali
Supaya Tuan tak perlu risih
Saat bercermin berpantas paras

Cerminku tak bisa direkatkan lagi, Tuan...
Masih nampak bekas retaknya
Mungkinkah perekat yang Tuan beri hanya KW/
Hingga tak bisa merekatkan kembali cerminku

Oh, Tuan, cerminku pecah sudah kini
Berhamburan tak pasti
Jatuh melukai hati yang bercermin
Karena cerminku hanya tinggal kecil

Cerminku tak akan utuh lagi, Tuan...
Meskipun Tuan bawakan lem super mewah
Cerminku hanya ingin senyum Tuan...
Hadir setiap waktu menyapa hatiku...

Pelangi Hatiku, 9 Desember 2016


#OneDayOnePost
Hasil gambar untuk gambar harimau
image by google
Sudah kusiapkan dengan perencanaan yang matang. Alat dan bahan juga sudah kurapikan. Segala kemungkinan dengan perhitungan yang njelimet sekalipun selesai kurancang. Tinggal bergerak menjalankan aksi. 

Aku berjalan bersisian, mengendap perlahan-lahan, agar langkah kaki berenam kami tak terdengar dari jarak dekat  sekalipun. Kupegang leher kokoh yang sudah kulatih selama berminggu-minggu. Memaksanya agar tidak mengeluarkan bunyi yang bisa saja mengacaukan semua rencanaku. 

Hasil gambar untuk gambar orang merindu
kemanabintang.blogspot.com


Mengapa...
Sebuah tanya menguap
Tak ada jawab yang terkuak
Hanya ada tanya makin menganga

Mengapa...
Rindu itu tak jua sirna
Bahkan makin meraja
Memeluk erat sukma
Hadirkan nada sumbang
Mengalun tanpa syair indah

Mengapa...
Kau berbohong pada siang
Agar sembunyikan terang
Ketika hatimu ikut meradang
Dengan rindu yang kudendang

Pelangi Hatiku, Senin 5 Desember 2016

#OneDayOnePost
Hasil gambar untuk gambar sebuah kerinduan
image by google


“Boleh aku merindukanmu kembali?”
“Mengapa?”
“Karena aku belum bisa melupakanmu.”
“Kalau kau masih merindukanku, kau akan semakin sulit untuk melupakanku.”
“Biarlah. Sesungguhnya aku tak pernah ingin melupakanmu.”
“Lupakanlah aku. Mengingatku hanya akan menambah luka hatimu.”

Berkata seperti itu, bayangmu mulai bergerak menjauh dariku.

“Jangan pergi dulu. Temani aku.”

Kau tidak berbalik. Hanya memandangku dengan tatapan yang masih sama seperti empat tahun silam. Mata yanng meneduhkan, beribu cinta bisa aku lihat dari balik retinamu. Dan ada sebuah ruang yang selalu mengajakku untuk tenggelam bersama ceritanya.

“Lupakan aku, maka semuanya akan kembali seperti semula.”

Aku mulai terisak tertahan. Aku tahu, kamu tak pernah suka mendengar suara isakanku.

“Aku ingin malam ini kamu ada di sampingku hingga mataku tertutup kantuk.”

Kau pun berbalik berjalan menuju tempatku. Ikut duduk memeluk kedua lutut. Memandangku sekali lagi. Wajahku semakin tirus dibandingkan wajah empat tahun lalu. Kutengadahkan wajahku sejajar denganmu. Ingin tanganku menyentuh tulang pipimu yang makin menonjol. Kulitmu sedikit lebih gelap. Tapi tetap dengan senyum yang kusuka.

“Apa yang bisa kulakukan agar malam ini kamu tidak menangis lagi?”

Tak kujawab pertanyaanmu. Tangis yang coba aku sembunyikan suaranya agar tidak terdengar oleh gendang telinganya, tak bisa lagi aku redam. Pecah dan mengguncang bahuku.

“Jangan menangis. Tangismu menghalangi langkahku.”
“Aku hanya ingin menangis malam ini saja. Jangan halangi aku,” kataku pelan. Kamu akhirnya mengangguk. Tertunduk menatap ke bawah. Enggan memelukku untuk menghentikan tangisku. Musik malam yang semakin gelap menghantarkan nyanyian pilu mengiris hati. Menawan hatiku untuk tetap berada dalam kesunyian.

“Aku harus kembali. Sudah aku turuti keinginanmu. Usah bersedih lagi. Maafkan aku tak bisa lagi di dekatmu. Namun aku selalu ada di hatimu.”

Bayangmu makin menjauh seiring tangisku yang kembali bersuara. “Aku masih merindukanmu, meskipun kamu tak pernah mengijinkan itu.”


#OneDayOnePost
Hasil gambar untuk gambar keluarga ayam
image by google

“Ayo, De. Bangun ah!” tarik kakak pertama mencoba membangunkan si bungsu untuk segera menyambut pagi. Lima kakak lainnya sudah melakukan senam pagi dengan ayah dan ibu di depan.

“Malas ah, Kak. Masih gelap juga. Subuh baru saja selesai. Masa harus sepagi ini bangunnya?” masih beralasan agar bisa meringkuk hangat.

“Ade bungsu, nggak baik ya bangun terlalu siang. Nanti keburu habis makanan kita!” kakak pertama masih sabar menghadapi. Maklum adik bungsunya adalah istimewa.

Bungsu mengerjapkan matanya. Berkata lirih dengan malas. Mengepakkan dua sayapnya yang tidak bisa ia gunakan untuk terbang. Menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa malas yang sebenarnya masih memeluknya.

“Nah, gitu dong. Ayo, ke depan!” kata kakak pertama berjalan mendahului ke depan. Berkumpul dengan lima adiknya, ayah, dan ibunya. Jadi ayah dan ibu memiliki tujuh ekor anak. Si bungsu adalah anak paling istimewa. Memilliki badan paling kecil. Dengan kaki yang tidak sempurna. Salah satu kakinya tidak memiliki cakar untuk mengais makanan. Sebelah kanan sayapnya juga tidak sempurna seperti saudaranya yang lain. Ini yang membuat bungsu berjalan tidak bisa dengan cepat. Terhambat saat mengais makanan.

Ayah memberikan isyarat dengan suaranya yang gagah. Memanggil setiap makhluk agar segera beranjak dari rasa malas. Untuk kemudian bertebaran  di atas bumi Allah. Kukuruyuk...Kukuruyuk...

Bungsu berjalan tertatih mengikuti langkah panjang dan cepat kakak pertama. Kakinya yang istimewa membuatnya susah untuk mengimbangi agar berjalan sejajar. Dillihatnya ayah sudah lantang berbunyi. Bersahutan dengan suara kakak kedua dan ketiga. Ya, kakak pertama hingga ketiga memiliki kesamaan dengan ayah. Memiliki tubuh yang kekar, jengger berwarna merah yang mulai tumbuh di atas kepalanya, dan jalu yang kokoh. Tidak seperti dia, hanya bisa merepotkan.

Ketika ayah mengais makanan di tanah, ibu akan membantu. Lalu memanggil anak-anaknya agar mematuknya. Kemudian ayah dan ibu akan meminta ketujuh anaknya belajar mengais makanan menggunakan paruh dan kakinya. Dan bungsu akan selalu ketinggalan. Kesulitan melakukannya, hingga keenam kakaknya akan membantunnya.

Tapi kemarin ayah sudah berpesan. Bungsu harus berusaha sendiri. Tidak boleh tergantung kepada kakaknya. Mencari makanan sendiri meskipun hanya dengan satu kaki yang bisa digunakan untuk mengais. Masih bisa memanfaatkan paruh. Ayah dan ibu ingin bungsu juga mandiri. Karena nantinya ia tidak selamanya tinggal dengan ayah dan ibu.

Ayah dan ibu sudah berjalan mencari titik-titik tempat harta karun yang banyak terpendam. Sisa hujan semalam memudahkan tanah untuk dikorek dicari cacingnya. Semua anaknya sudah menyebar. Bungsu ketinggalan. Suaranya mencicit tidak jelas. Ada rasa sedih dan marah kepada bentuk tubuhnya yang tidak sama dengan saudaranya.

Di tengah kebun, matanya hanya menatap kosong. Saudaranya mulai acuh. Sibuk mengais makanan. Tak lagi memedulikan dirinya yang belum juga mendapat makanan. Terseok kakinya mencoba mengais tanah basah. Tak mendapatkan apa-apa. Bungsu berpindah tempat. Masih dengan langkah tak sempurnanya. Sekali lagi tak memeroleh apapun. Bungsu mencicit memanggil kakaknya. Kakak pertama yang mendengar suaranya hanya menatap sekilas.

“Ayo, De. Kamu pasti bisa!” semangat kakak pertama.

“Aku belum mendapatkan cacing seekorpun, Kak.” pelan dengan nada putus asa hampir menangis bungsu menjawab.

“Semua juga berusaha, Sayang,” lembut ibu berkata. Menentramkan hati bungsu.
“Ibu yakin kamu juga bisa. Jangan jadikan kakimu sebagai alasan untuk meminta makanan dari kakakmu.” lanjut ibu menasehati. Sayap kiri ibu memeluk tubuh kecil bungsu.

“Iya, Bu. Aku akan berusaha lagi mengais tanah.” Bungsu membusungkan dadanya. Berjalan tertatih tapi dengan keyakinan. Bahwa ia pasti juga bisa mendapatkan makanan dengan usahanya sendiri.

#OneDayOnePost

#TantanganCerpenTentangAyam


"Masih  marah denganku?"
"Tidak ."
"Masih  membenciku?"
"Sangat."
"Tapi,  masih adakah cinta untukku?"
"Masih. Perasaanku nggak pernah berubah."
"Lalu,  kenapa membenciku juga?"
"Entahlah."
"Bagaimana bisa benci dan cinta bersatu?"
"Jangan tanya padaku.  Tanyakan saja pada hatimu,  apakah perasaanmu juga masih sama denganku."

Diam. Semua termenung  dalam kebisuan yang tiba-tiba memeluk. 

"Kamu ragu dengan perasaanku?"
"Iya."
"Kok bisa?"
"Karena kamu  tak pernah membuatku yakin."

Desahan napas mewakili kesepian.  Nyanyian tak bernada nyaris sempurna menambah kebisuan. 

"Harus dengan apa aku meyakinkanmu?"
"Tanyakan hatimu."
"Aku juga tidak tahu,  harus bertanya seperti apa."
"Ya sudah. Tak ada artinya kan?"
"Ada."
"Apa artinya?"

Kembali tak ada jawaban hingga semuanya berlalu. 

#OneDayOnePost

Hasil gambar untuk gambar ruang rindu
image by google

Aku datang ke ruangan ini, hanya untuk sekedar mengurai cerita yang kembali menyesakkan dada. Entahlah, apakah kamu juga akan datang ke ruangan ini. Ruangan ini dahulu adalah  milik kita. Ketika kita saling merindu, maka dengan tak sengaja kita selalu bertemu di sini. Untuk kemudian saling berbincang dan mengurai tawa hingga kita lelah. 

Mataku berkeliling mengamati keadaan. Tak ada yang berubah. Hanya terasa lebih sepi. Aku rindu dengan suara nakalmu yang sering menggodaku agar aku cemberut sesaat. Di mana kamu sekarang? Sering meninggalkanku sendirian dalam ruang yang pernah kita cipta.

Kemarahanmu selalu melenyapkan semua hal indah yang biasa kita buat. Dan aku tak pernah bisa mengusir ketika amarah itu menguasaimu. Aku seperti sehelai benang basah, makin terpuruk di saat kamu marah hanya karena kesalahan kecil yang sering kubuat.

Apakah kamu masih memiliki rasa yang sama? Sama-sama merinduku? Ataukah rasa rindu milikmu sudah enggan untuk singgah sejenak?

Ya, aku belum terbiasa sendirian dalam ruang rindu ini. Karena apa? Karena kita membangunnya sudah empat tahun lebih. Bersamamu dalam tawa canda dan kadang dengan air mata. Kamu yang selalu ada buatku. Siap m,emelukku dari jauh kala semua sedih sempurna menyatu dalam hidupku.

Ingatkah kamu beberapa slide kenangan yang pernah tercipta? Kalaupun sudah tak ingat, tak apa. Aku juga tak memaksamu untuk mengingatnya. Aku hanya akan sendirian mengingat semuanya. Untuk kemudian menyimpannya rapi dalam bingkai yang indah, dalam palung hatiku.

Sketsa tentangmu selalu abadi, meski ragamu tak akan pernah abadi bersamaku.

#OneDayOnePost
#SajakRinduUntukmu




Hasil gambar untuk gambar kucing menggigit donat
image:google

“Boleh aku menukar makananku dengan punyamu?” tanyanya. Aku melihatnya. Ia menggigit roti yang aku inginkan. Roti dengan lubang di tengah. Tapi yang ini berbeda dengan yang dibawa ibu. Yang ini masih utuh. Belum digigit. Warna coklat yang menghias permuakaannya begitu menggodaku. Dia sepertinya baru. Aku belum pernah melihatnya. Tapi kenapa dia baik mau berbagi denganku? Ada sedikit curiga bermain di hatiku.

“Aku bosan dengan makanan seperti ini. Aku belum pernah makan selain roti ini. Makanya melihatmu makan roti itu, aku ingin sekalli menukarnya. Tentunya kalau kamu tidak keberatan.” jelasnya. Dia bersih, bertubuh putih bercampur hitam. Badannya lebih besar dari tubuhku. Terlihat terawat. Sepertinya dia memang baik.

“Kamu nanti tidak akan kenyang,” kataku masih berdalih.

Dia tertawa memamerkan gigi taringnya yanng tajam. “Perutku juga tidak terlalu lapar kok. Boleh aku tukar?” tanyanya lagi setengah memaksa.

Akhirnya aku memberikan roti yang kudapat dari Abu. Keinginanku yang begitu besar bisa menikmati roti berlubang tengah itu mengalahkan keraguanku. Segera kusodorkan roti milikku. Dia langsung menyambarnya dan berlari menjauh sambil mengucapkan terimakasih.

Dengan senang hati aku gigit roti yang berlubang tengah tersebut. Bermaksud untuk menunjukkan kepada ibu, Putih, dan Hitam saudaraku. Bahwa aku akhirnya mendapatkan roti yang aku inginkan karena kebaikan seseorang. Sambil bersiul riang dengan pongah aku berjalan pulang.

“Ibu...Putih...Hitam!” panggilku. Kuletakkan roti berlubang di hadapanku.

“Lihatlah,  yang aku bawa!”

Yang kupanggil bergegas mendekat. Mata Hitam dan Putih berbinar melihat apa yang kudapatkan. “Dari mana kamu dapat roti itu, Belang?” tanya Hitam dengan heran.

“Dari seseorang yang rela memberikan rotinya untukku.” jawabku.

“Aku akan memakannya sendirian. Kalian tak akan kubagi!” kataku lagi.

“Jangan dimakan!” kata Ibu tiba-tiba. Mulutku yang hendak menggigitnya urung kulakukan. Mataku menatap Ibu.

“Sepertinya roti itu palsu, Belang.” kata ibu sebelum aku sempat bertanya.

Aku tidak percaya dengan perkataan ibu. Dengan cepat aku menggigit bagian coklat. Tidak bisa kugigit. Lalu aku mencoba menggigitnya di bagian lain. Sama. Kenyal tidak bisa aku gigit. Gigiku seperti susah untuk mencabiknya. Berkali-kali aku mencoba menggigitnya. Hingga aku lelah. Tubuhku berkeringat.

Putih dan Hitam tampak kasihan melihatku. Mencoba membantukku, tapi aku tangkis tangannya. Kue itu aku dekap dengan dua kaki depanku.

Ibu mendekatiku. “Ini bukan roti asli, Belang. Ini hanya roti palsu yang bentuknya mirip dengan yang kamu inginkan. Lihatlah. Tidak bisa kamu gigit kan?” ibu menjilati kepalaku dengan sayang. Wajahku sangat sedih. Perutku sudah lapar. Dengan pandangan memelas aku bersembunyi di ketiak ibu.

“Makanlah bagianmu tadi pagi. Putih sengaja menyimpannya untukmu.” kata ibu lembut memberikan jatah roti untukku pagi tadi. Dengan lahap aku memasukkannya ke dalam mulut. Biarpun sedikit rasanya lebih nikmat dari pada roti palsu ini.


#OneDayOnePost

Hasil gambar untuk gambar kucing menggigit donat
image:google

Cahaya keemasan menyilaukan mata memaksaku untuk segera bangun dan menyusul kedua saudaraku yang sudah terlebih dahulu beraktifitas. Kulirik sekitarku. Alas empuk milik Putih dan Hitam sudah terlipat rapi. Pasti mereka sudah asyik bercanda dengan yang lainnya di halaman depan. Biasanya pagi-pagi begini mereka akan bermain hingga puas sambil menunggu jatah sarapan.

Kulengkungkan tubuhku ke kanan dan ke kiri. Sekedar melemaskan otot-otot yang kaku dari semalam. Dengan langkah malas kuayunkan kaki bergerak menuju depan. Ibuku masih asyik mengawasi gerakan Putih dan Hitam. Melihat kedatanganku, Ibu mendekatiku.

“Sudah bangun rupanya kau, Belang,” kata ibu sambil menjilati tubuhku dengan sayang. Aku paling suka diperlakukan seperti ini oleh ibu. Seperti masih kecil. Kuenduskan kepalaku di ketiak ibu. Ekorku berkibas manja.

“Ibu, hari ini aku ingin makan yang berbeda. Bosan aku dengan makanan itu-itu saja.” kataku kepada ibu. Mendengarnya ibu hanya tersenyum. Aku sudah terlalu sering mengatakan kepada ibu tentang kebosanankku dengan makanan yang diberikan. Sesekali lidahku ingin mencoba yang lainnya.

“Kamu ingin makan apa?” tanya ibu. “Nanti Ibu carikan. Siapa tahu ada makanan yang berbeda untuk kita hari ini.” lanjut ibu.

Aku mengangguk senang. Bayanganku ingin menikmati sepotong roti yang biasa disantap setiap pagi. Liurku selalu menetes ketika melihat anak kecil di sebelah rumah menikmatinya. Roti dengan lubang tengah. Bertabur warna coklat. Coklat itu penuh melingkari. Sekali gigit rasanya nikmat sekali. Dan ibu memahami keinginanku. Semoga ibu membawakan makanan yang sangat aku inginkan.

Ibu memintaku dan kedua saudaraku untuk menunggu. Ibu hanya akan pergi sebentar. Kami asyik bermain berkejaran. Saling menubruk, berguling, mencakar, kemudian tertawa bersama. Hal yang paling membuatku bahagia. Tubuhku yang paling besar dengan warna belang dan ekor panjang. Putih dan Hitam tubuhnya tidak sebesar tubuhku. Kami tiga jantan jagoan ibu.

Dari jauh aku melihat ibu berjalan menggigit roti yang kuimpikan. Ada bekas gigitan di bagian tepinya. Tapi hanya sedikit. Aku melompat kegirangan. Tubuhku berlari berputar-putar. Putih dan Hitam hanya tertawa menyaksikanku.

“Ayo, makanlah bagian kalian masing-masing.” kata ibu memotongnya menjadi tiga bagian. Aku sedikit cemberut. Jatah makanku berkurang. Harusnya kue ini menjadi santapanku semua. Tanpa perlu dibagi. Aku hanya diam menatap bagian kue yang disodorkan ibu. Hilang sudah selera makanku.

“Kok kamu tidak makan, Belang?” tanya Hitam sambil mengunyah makanannya.

“Sudah nggak selera,” jawabku sekenanya.

Putih menatapku. Disodorkan bagiannya yang tinggal sedikit. “Kamu kurang ya? Nih, makan punyaku.”

Aku tetap menggeleng tak berselera. Inginku utuh, bukan dibagi-bagi begini. Ibu dan Putih menatapku. Tampak ibu sedikit kecewa.

“Kamu nggak ingin makan bagianmu, Belang?” lembut ibu bertanya.

“Aku ingin semuanya, Bu. Bukan dibagi bertiga. Mana aku kenyang!” jawabku dengan kesal. Berlalu meninggalkan ibu dan saudaraku. Lebih baik aku pergi mencarinya sendiri. Meskipun perutku sudah sangat lapar. Masih kudengar suara ibu dan Putih memanggil namaku. Tapi tak kuhiraukan panggilan mereka. Aku sudah terlanjur kesal.

Kuikuti ke mana kakiku ingin melangkah pergi. Bunyi perut yang lapar sudah kuabaikan. Berharap ada yang berbaik hati melempar makanannya kepadaku. Sekedar mengisi perutku agar tidak melilit.

Dari jauh aku melihat si Abu sedang menggigit sebuah roti. Bukan roti yang aku inginkan. Namun perutku sudah tidak tahan minta diisi. Kuberanikan untuk meminta sedikit saja bagiannya. Dan Abu tidak keberatan. Aku menggigitnya. Berniat menjauh dari tempat Abu makan. Tidak tahan dengan bau badannya yang jarang tersentuh oleh air.

Belum sempat aku menggigit pemberian Abu, aku dikagetkan oleh suara.


Bersambung....

#OneDay OnePost
Hasil gambar untuk gambar makaroni cheese dalam roti cone
image:google

“Kenapa sih, kalau masak selalu pedas? Aku kan nggak suka pedas!” ketus mengatakannya sambil mulut menahan rasa cabai yang tak hilang juga meski sudah menghabiskan dua gelas air bening.

Martha hanya tertawa melihat Vio masih mengusir rasa pedas. “Salah siapa masih nekat makan. Aku sudah bilang, ini pedas, Vio.”

Masih ber hu ha hu ha... Vio menjawab. “Tapi kamu menggodaku untuk mencobanya.”

“Idih, siapa coba yang menggodanya. Kamu sendiri yanng tergoda.” Balas Martha tak mau kalah.

Dengan kesal Vio memukul lengan kanan Martha yang sengaja selalu memasakkan makanan dengan cabai tak pernah memakai ukuran perutnya. Padahal dia tahu, Vio tak kuat dengan pedas. Namun sepertinya Martha tak pernah lelah mengajaknya untuk selalu mencoba lagi bereksplorasi dengan cabai.

Martha hanya tertawa kecil. “Ini kan resepmu, Vio. Tapi aku tambah saja dengan cabai.” Sahut Martha cuek. Vio makin gemas dibuatnya.

“Auk ah gelap!” Vio bergegas ke dapur mengambil gula pasir dan air hangat untuk menetralisir rasa yang baginya seperti monster.

“Vio, makaroni ini harus kita eksekusi lebih baik lagi. Jangan hanya diwadahi dalam mangkok saat kita akan menjualnya.” Masih saja Martha berkata-kata meskipun Vio sudah tidak di sampingnya.

Vio menyahut dengan deheman. Ide untuk membuka usaha ini adalah ide berdua. Membuat makaroni dengan campuran cheese yang pas di lidah tentunya bukan usaha mudah. Rasa sudah kami dapatkan dipadu dengan berbagai varian rasa sepertinya sudah cukup membuat menu yang kami tampilkan akan berbeda. Hanya saja menurut Martha, wadahnya harus berbeda dengan yang lain. Kalau sama menggunakan mangkok, rasanya tidak akan memiliki nilai jual. Itu diskusi kami tadi malam.

“Jadi, mau pake wadah apa?’ tanya Vio setelah mengelap tangannya dengan tisu. Duduk kembali di hadapan Martha. Percobaan makaroni cheese dengan varian rasa cabai rawit, keju, dan saus bolognaise ternyata cukup berhasil. Terbukti Martha menandaskan sampai tidak besisa.

“Kau doyan atau lapar?” tanya Vio membolak-balik mangkok kecil.

Martha hanya nyengir. “Asli enak, Vio. Hanya saja kalau sesuai seleramu, kurang pas. Makanya tadi aku variasikan dengan cabai rawit. Enak kan?”

Vio membenarkan. Jika hanya mengandalkan saus bognaise, rasanya memang kurang. Harus ditambahkan dengan irian cabai rawit. Barulah enak. Untuk yang menyukai rasa pedas. Bagi Vio itu adalah menu yang menyiksa.

“Hei, ayo kita pikirkan. Wadahnya jangan menggunakan cup. Pakai apa ya?” colek Martha membangunkan lamunan Vio.

Vio manyun. Sebetulnya dia sudah menemukan wadah yang unik. Tapi ia ragu, apakah Martha akan setuju dengan usulnya?

“Kau pasti ada ide ya?” selidik Martha. Vio hanya mengangguk. “Apa idemu?” lanjut Martha.

Vio membenahi duduknya. Menyilangkan kakinya dan memasang wajah serius. “Bagaimana kalau kita gunakan wadahnya dari roti berbentuk cone. Rotinya harus lembut tapi cres saat digigit. Akan berpadu dengan gurih dari makaroni cheesenya. Bagaimana?” Vio meminta pendapat Martha.

Martha tampak berpikir sejenak. Membayangkan roti yang Vio katakan. Kemudian kepala Martha mengangguk paham. Wajahnya kelihatan senang sekali.

“Ide bagus sepertinya. Mari kita eksekusi agar segera tahu rasanya.” Kata Martha menyeret Vio kembali ke dapur.

Vio hanya mengekor ditarik oleh Martha. Impian untuk segera memiliki usaha sendiri sungguh sudah di depan mata. Membuat keduanya selalu bersemangat untuk mengeksekusi setiap  ide yang muncul.


#OneDayOnePost
#TantanganCerpenKuliner

Hasil gambar untuk gambar kucing putih dan kucing abu
image:google

Dia berjalan perlahan. Kalung yang membelit lehernya nampak mulai kekecilan. Bandul yang menggantung di lehernya memantulkan cahaya karena terkena sinar matahari. Aku seperti tidak asing melihatnya. Tubuhnya tidak berbeda denganku. Hampir sama malah. Hanya warna kami yang berbeda. 

Ingin rasanya segera berlari menghampiri. Tapi aku takut salah. Jangan-jangan aku hanya terbawa ilusi.

Kembali mataku beralih ke burung-burung kecil yang ikut bergoyang di atas rumput. Senangnya melihat mereka asyik berayun di batang yang tak berkayu itu. Tak pernah aku berniat untuk menerkamnya. Hanya sesekali iseng ingin mengajaknya bermain. Dan tentu saja untuk mengasah kecepatan berlariku.

Keasyikanku kembali terusik dengan bayangan yang kulihat dari kejauhan. Kalungnya mirip denganku. Hitam dengan bandul yang akan nyaring berbunyi jika berlari. Oh ya, ada inisial lambang namaku di kalung. D adalah inisial namaku. Apakah kalungnya berinisial L?

Secepat angin kugerakkan kakiku menuju sosok yang membuatku penasaran. Kuhentikan langkahnya. Dia menggeram, menatapku tajam. Sikap waspada karena dia mencium aroma tubuhku. Aku mencoba menyeringai. Dia mengibaskan ekornya ketika didapatnya aku tidak gentar dengan geramannya.

“Siapa kamu? Apa maumu?” cepat dia bertanya. Aku tak langsung menjawabnya. Mataku mencari inisial dari kalungnya. Siapa tahu benar dugaanku. Tapi apa yang kucari tak ada. Kalung itu hanya sama warna denganku. Bandul yang berbunyi gemerincing yang kutemukan. Membuat semangatku langsung turun.

“Aku hanya ingin memastikan tentangmu.” jawabku pelan.

“Oh...kalau begitu minggir! Aku ingin lewat!” sahutnya cepat melangkah meninggalkanku.

Dia berjalan melewatiku. Ekor panjangnya berkibas. Ekor itu benar sekali mirip dengan yang aku cari. Kembali aku menghadang langkahnya.

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” nampaknya dia mulai geram dengan sikapku.

“Kamu Luring bukan?” tanyaku di sela-sela penasaran.

Sejenak dia terdiam. Mengamatiku dari ujung ke ujung tanpa berkedip. Semoga dia mengingatku. Lama dia melakukannya. Kemudian perlahan dia berjalan mengitari tubuhku. Mencium bauku. Aku hanya mendengus. Sedikit kesal karena dia tak mengenalku. Sedangkan aku hanya butuh sedikit waktu untuk yakin bahwa dia Luring.

“Kamu siapa? Bisa tahu nama kecilku.” dia mulai menjawab dengan santai.

“Oh.... Luring. Aku Daring. Lupakah?” teriakku histeris. Benar dugaanku. Dia Luring adikku.

Kami dua bersaudara yang dibuang terpisah dengan induk kami. Beruntung aku dan Luring dibawa pulang ke rumah dan dirawat oleh seseorang . Hanya tiga minggu kami bersama. Dan tiba-tiba Luring tidak ada bersama kami. Aku dan yang merawat kami mencari berhari-hari. Sudah tiga bulan sejak hilangnya Luring tak sengaja aku berpapasan hari ini.

Luring mengamatiku. Pandangan matanya mulai melunak. Menatap lembut kepadaku.

“Kamu Daring?” bertanya untuk memastikan. Kemudian Luring berlari memelukku. Ada rasa haru menyeruak. Tiga bulan tidak bertemu dengannya membuatku sungguh rindu. Apalagi kulihat sekarang tubuhnya sangat gagah. Dengan rambut sedikit hitam keabu-abuan berpadu warna putih di beberapa bagian tubuhnya semakin menambah keelokan dirinya. Ekor panjangnya berwarna putih. Berbeda denganku. Seluruh tubuhku hanya polos berwarna putih. Berekor pendek pula.

“Kamu ke mana saja, Luring? Aku mencarimu.” kataku melepas pelukan.

“Aku dibawa pergi oleh anak laki-laki kecil. Dia mengambilku saat kamu tertidur dengan pulas waktu itu. Aku sudah menjerit minta tolong padamu. Tapi kamu tak mendengarku. Untungnya aku dirawat dan dibesarkan dengan baik. Hanya saja namaku bukan Luring.”

“Lalu siapa namamu sekarang?”

“Namaku sekarang Leo. Tapi inisial L terlepas saat aku bermain.” jelas Luring.

“Aku tinggal tak jauh dari sini, Daring. Apakah kamu masih tinggal di sini?”

Aku mengangguk. “Di mana tinggalmu?”

“Di ujung jalan depan. Rumah bercat coklat. Hari ini aku tiba-tiba ingin bermain ke sini. Eh, malah bertemu denganmu.” kata Luring sambil tertawa.

“Kamu senang bersama anak itu?” tanyaku pelan. Takut membuatnya tersinggung.

Luring menjawab pertanyaanku dengan mengangguk mantab. Aku bernapas lega. Tak apalah aku jauh dengan Luring, asalkan dia dirawat. Eh, sekarang namanya Leo. Pantas saja ketika aku panggil Luring dia hanya terdiam.

“Kapan-kapan mainlah ke tempatku,” ajak Leo. “Aku harus bergegas pulang. Nanti aku dicari.” Berkata begitu Leo berjalan meninggalkanku. Aku hanya bengong melihat kepergiannya. Ingin mengejarnya. Namun aku tak punya kekuatan. Mungkin Leo sudah melupakanku. Tak menganggapku lagi saudaranya. Aku bergegas berbalik. Berjalan menuju tempat ternyamanku. Ada sedih dalam langkah gontaiku.

Mendadak aku dikejutkan oleh pelukan dari belakang. “Daring, aku akan datang lagi esok hari. Jangan bersedih. Aku sungguh merindukanmu juga.”

Daring balas memeluk tubuh yang tak lain adalah Leo. Kami berpelukan erat. Rumah memang memisahkan kami, tapi tidak menghapus ikatan saudara kandung.

#OneDayOnePost

#Tantangan500Kata 

Hasil gambar untuk gambar pohon meranti di hutan
image:google

“Kamu mendengar apa yang tadi dibicarakan di pinggir hutan?” kata seekor burung yang hinggap di tubuhku. Aku masih menunggu percakapan selanjutnya.

Sebelum menjawab, kudenngar cicitnya. “Ya, sebentar lagi hutan ini akan ditebang. Bagaimana dengan nasib kita?” kudengar suaranya mulai sedih.

“Apa yang baru saja kalian dengarkan? Ceritakanlah kepadaku.” Kata seekor semut merah keluar dari lubang.

Dua ekor burung yang kebetulan hinggap menoleh. Sedikit terkejut. Dipikirnya percakapannya dengan temannya tidak ada yanng mendengar. Mereka sepertinya hanya singgah sebentar.

“Maafkan kami. Mungkin kami salah mendengar.” Sahut salah satu burung yang berbulu kuning.

“Yang kami dengar bahwa hutan ini akan ditebang pohonnya. Seperti tempat tinggal kami yang kini hanya berupa tanah tandus tanpa pohon.” Lanjutnya.

“Maksudmu, semua pohon di hutan ini akan ditebang?” kembali semut mengulang pertanyaannya.

Kedua burung mengangguk. Aku yanng mendengar menjadi sedih. Bercampur dengan marah. Sudah banyak yang menjadi korban jika akku dan teman-temankku selalu berakhir tragis di gergaji mesin. Mereka akan mengiris tubuh kami dengan sadis. Tanpa ampun memotongnya menjadi pendek. Bergidik aku membayangkannya.

“Lalu kapan mereka akan mulai menebang?” tanya semut.

“Tadi aku mendengar besok pagi hutan ini akan dibabat habis.”

“Pohon besar, apa yang bisa aku lakukan kalau memang benar orang di luar hutan akan menebangmu juga?” pertanyaan semut dengan wajah cemas dan ketakutan. 

Aku hanya termenung. Semut sudah berpindah berkali-kali. Dari satu hutan ke hutan lainnya. Rumahnya selalu menjadi korban orang-orang yang menebang pohon tanpa peduli dengan hewan yang menetap di tempatku.

Kuambil napas sebanyak yang aku bisa. “Pergilah dengan segera, sebelum tubuhkku ambruk. Agar keluargamu bisa selamat dan mendapatkan tempat lebih cepat.”

Semut mengangguk. Mengumpulkan semua keluarganya. Menyiapkan apa saja yang bisa dibawa. Kesibukan mulai terlihat. Aku hanya mengamati saja. Tak terkecuali laba-laba yang menempati dahanku paling rendah. Tanpa banyak bertanya, dia bergegas mencari tempat baru.


Dengan sedih kupandangi satu persatu sahabat yang biasanya selalu ada bersamaku. Berbincang setiap hari. Sebentar lagi tubuhku juga akan tergolek oleh gergaji. Dahan-dahanku akan terpotong oleh kapak-kapak pekerja yang tak kenal ampun. Bagaimana aku dan temanku lainnya akan menjaga hutan dari longsor jika manusia masih senang menebang kami?

#OneDayOnePost

image:google

Ruangan kelas berukuran 8 x 8 meter ini sudah tidak menunjukkan geliat apapun. Semua yang sibuk dari pagi hingga siang sudah keluar. Pintu juga sudah tertutup. Menyisakan jendela yang tidak tertutup untuk membiarkan angin dari luar menggantikan udara yang ada dalam kelas.

“Hoam...rasanya badanku pegal sekali. Digeser ke kanan, ke kiri, kadang ke depan ke belakang.” kata sebuah suara memecah kesunyian. Ternyata itu adalah suara meja. Kursi yang ada di dekatnya ikut tersenyum.

“Benar sekali, Meja. Tubuhku sakit semua. Kamu tahulah, siapa yang duduk di badanku? Anak yang paling gendut.. nggak mau diam pula. Tubuhku selalu diayun dan bergoyang. Ingin sekali aku menjatuhkannya agar kapok menggoyangkan tubuhkku.” Panjang lebar Kursi mengatakan keluhannya.

“Ha...ha...ha...” terdengar tawa keras dari arah dinding. Pandangan berpindah ke depan. Mencari tahu siapa yang tertawa keras. Rupanya suara dari papan tulis berwarna putih yang menggantung di tembok.

Seketika papan tulis menghentikan tawanya. Merasa semua mata menatapnya dengan heran. “Ups...maaf, tertawaku membangunkan ya?”

Penghapus yang berada paling dekat dengannya mengangguk mengiyakan. “Apa yang membuatmu tertawa?” tanyanya.

Kembali papan tulis mengeluarkan suara khasnya. “Tentu saja aku mentertawakan kalian. Memangnya hanya meja dan kursi saja yang merasa badannya sakit semua?”

Semua yang ada di dalam kelas saling berpandangan. “Kamu juga merasa sakit?” penasaran penghapus mewakili penasaran lainnya.

“Iya.” Mantab papan tulis menjawab.

“Apa yang kamu rasakan?” kembali penghapus yang bertanya.

“Apa pernah kalian membayangkan digantung sepanjang hari, lalu dicoret-coret tubuh kalian? Pastinya sakit semua.”

Meja, kursi, penghapus akhirnya mengangguk. Mencoba memahami yang dirasakan oleh papan tulis.

“Kita di sini semuanya pasti capek, badan pegal semua. Tak ada yang enak sendiri. Karena kita harus memberikan manfaat untuk anak-anak yang belajar di kelas ini. Jadi jangan pernah mengeluh dan merasa paling capek sendiri.”  Nasehat sebuah suara yang tak lain adalah lemari yang penuh berisi buku-buku pelajaran.

“Benar, kita tidak boleh merasa paling capek. Semuanya pasti capek karena melakukan tugasnya masing-masing.” Lanjut lemari.

Semuanya terdiam setelah mendengar penjelasan lemari. Dalam hati membenarkan. Semuanya pasti lelah dan capek. Tapi ini adalah sebuah kewajiban untuk memberikan manfaat bagi anak-anak. Jadi, tak ada gunanya mengeluh bukan?


#OneDayOnePost
Newer Posts Older Posts Home

Mama Daring

Mama Daring

Seru-seruan

1minggu1cerita

About Author

PENULIS & BLOGGER

Hallo, Saya adalah muslimah penyuka kucing, senang traveling meski belum berkunjung ke banyak tempat, senang kuliner walau hanya makanan tertentu, membaca berbagai jenis buku, menulis cerita anak, dan berpetualang ke negeri dongeng untuk menciptakan berbagai keajaiban dalam ke dunia anak-anak yang sedang saya tekuni. Hubungi saya via email : lestarilisa8@gmail.com

Follow us

Featured Post

Popular Posts

  • Seperti Inilah Karakter Shio Babi Berdasarkan Elemennya
    Karakter shio babi dengan shio lainnya tentu saja berbeda. Karena beberapa shio dianggap memiliki pengertian berbeda. Apakah Anda sud...
  • Mampirlah ke Dunia Lisa, Blog dengan Wajah Baru
    Eh, siapa sih yang nggak ingin tampilan blognya menjadi cantik dan enak dilihat? Semuanya pasti akan menjawab mau dong! Nggak ada yang pe...
  • Ramalan Shio Ayam Tahun 2020 Lengkap dari Cinta Hingga Keuangan
    Hanya tinggal menyisakan kurang dari dua bulan saja, kita semua akan menyambut tahun 2020. Tentu berbagai harapan dilontarkan dan pe...
  • Wajib Disimak! Inilah Gejala dan Cara Mendeteksi Kanker Payudara
    Kanker payudara adalah momok bagi wanita, karena jarang diketahui gejalanya dari luar. Ketika Anda merasakan sesuatu yang kurang beres...
  • Mengembangkan Ide Cerita
    Setelah kemarin Menangkap Ide , saatnya nih mulai mengembangkannya. Belum menjadi cerita utuh ya. Kita kembangkan dulu seperti ringkasan...

Buku Terbit

Dunia Lisa

Blog Archive

  • ►  2023 (2)
    • ►  March 2023 (1)
    • ►  February 2023 (1)
  • ►  2022 (14)
    • ►  September 2022 (2)
    • ►  August 2022 (3)
    • ►  July 2022 (1)
    • ►  June 2022 (1)
    • ►  May 2022 (1)
    • ►  April 2022 (2)
    • ►  March 2022 (2)
    • ►  February 2022 (2)
  • ►  2021 (32)
    • ►  December 2021 (5)
    • ►  November 2021 (2)
    • ►  October 2021 (5)
    • ►  September 2021 (4)
    • ►  August 2021 (1)
    • ►  July 2021 (3)
    • ►  June 2021 (1)
    • ►  May 2021 (2)
    • ►  April 2021 (3)
    • ►  March 2021 (1)
    • ►  February 2021 (3)
    • ►  January 2021 (2)
  • ►  2020 (39)
    • ►  December 2020 (4)
    • ►  November 2020 (1)
    • ►  October 2020 (2)
    • ►  September 2020 (3)
    • ►  August 2020 (3)
    • ►  July 2020 (5)
    • ►  June 2020 (6)
    • ►  May 2020 (4)
    • ►  April 2020 (1)
    • ►  March 2020 (5)
    • ►  February 2020 (3)
    • ►  January 2020 (2)
  • ►  2019 (78)
    • ►  December 2019 (2)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  October 2019 (4)
    • ►  September 2019 (3)
    • ►  August 2019 (6)
    • ►  July 2019 (8)
    • ►  June 2019 (7)
    • ►  May 2019 (18)
    • ►  April 2019 (6)
    • ►  February 2019 (9)
    • ►  January 2019 (12)
  • ►  2018 (49)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  October 2018 (8)
    • ►  September 2018 (10)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (3)
    • ►  March 2018 (6)
    • ►  February 2018 (3)
    • ►  January 2018 (10)
  • ►  2017 (116)
    • ►  December 2017 (4)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  October 2017 (21)
    • ►  September 2017 (8)
    • ►  August 2017 (3)
    • ►  July 2017 (4)
    • ►  June 2017 (7)
    • ►  May 2017 (6)
    • ►  April 2017 (11)
    • ►  March 2017 (28)
    • ►  February 2017 (11)
    • ►  January 2017 (12)
  • ▼  2016 (198)
    • ▼  December 2016 (12)
      • Titip Rindu
      • Suara dari Balik Kertas
      • Kancil dan Kuda
      • Pergi dari Hatiku
      • Namaku Jacob
      • Sebentuk Cinta
      • Enyahlah!
      • Salah Mantera
      • Cermin
      • Seandainya...
      • Nada Rindu 2
      • Nada Rindu
    • ►  November 2016 (24)
      • Si Bungsu
      • Dua Hati
      • Ruang Rindu
      • Roti Palsu bagian 2
      • Roti Palsu bagian 1
      • Macaroni'n Cheese
      • Daring dan Luring
      • Kehilangan Kembali
      • Percakapan dalam Kelas
    • ►  October 2016 (31)
    • ►  September 2016 (29)
    • ►  August 2016 (6)
    • ►  July 2016 (5)
    • ►  June 2016 (18)
    • ►  May 2016 (22)
    • ►  April 2016 (21)
    • ►  March 2016 (26)
    • ►  February 2016 (4)

Total Pageviews

Komunitas

Dunia Lisa

Categories

  • Blog Competition 10
  • Cermin 6
  • Cerpen 128
  • Curhat 29
  • Flash Fiction 2
  • Lebih Dekat 2
  • ODOP Estrilook 7
  • Parenting 30
  • Puisi 29
  • Satu Hari Satu Karya IIDN 5
  • Serba-serbi Cerita Anak 13
  • SETIP Estrilook 3
  • Tantangan 3

Followers

About Me

My photo
Lisa Lestari
View my complete profile

Instagram

  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram

Copyright © 2017-2019 Dunia Lisa. Created by OddThemes