Daring dan Luring


Hasil gambar untuk gambar kucing putih dan kucing abu
image:google

Dia berjalan perlahan. Kalung yang membelit lehernya nampak mulai kekecilan. Bandul yang menggantung di lehernya memantulkan cahaya karena terkena sinar matahari. Aku seperti tidak asing melihatnya. Tubuhnya tidak berbeda denganku. Hampir sama malah. Hanya warna kami yang berbeda. 

Ingin rasanya segera berlari menghampiri. Tapi aku takut salah. Jangan-jangan aku hanya terbawa ilusi.

Kembali mataku beralih ke burung-burung kecil yang ikut bergoyang di atas rumput. Senangnya melihat mereka asyik berayun di batang yang tak berkayu itu. Tak pernah aku berniat untuk menerkamnya. Hanya sesekali iseng ingin mengajaknya bermain. Dan tentu saja untuk mengasah kecepatan berlariku.

Keasyikanku kembali terusik dengan bayangan yang kulihat dari kejauhan. Kalungnya mirip denganku. Hitam dengan bandul yang akan nyaring berbunyi jika berlari. Oh ya, ada inisial lambang namaku di kalung. D adalah inisial namaku. Apakah kalungnya berinisial L?

Secepat angin kugerakkan kakiku menuju sosok yang membuatku penasaran. Kuhentikan langkahnya. Dia menggeram, menatapku tajam. Sikap waspada karena dia mencium aroma tubuhku. Aku mencoba menyeringai. Dia mengibaskan ekornya ketika didapatnya aku tidak gentar dengan geramannya.

“Siapa kamu? Apa maumu?” cepat dia bertanya. Aku tak langsung menjawabnya. Mataku mencari inisial dari kalungnya. Siapa tahu benar dugaanku. Tapi apa yang kucari tak ada. Kalung itu hanya sama warna denganku. Bandul yang berbunyi gemerincing yang kutemukan. Membuat semangatku langsung turun.

“Aku hanya ingin memastikan tentangmu.” jawabku pelan.

“Oh...kalau begitu minggir! Aku ingin lewat!” sahutnya cepat melangkah meninggalkanku.

Dia berjalan melewatiku. Ekor panjangnya berkibas. Ekor itu benar sekali mirip dengan yang aku cari. Kembali aku menghadang langkahnya.

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” nampaknya dia mulai geram dengan sikapku.

“Kamu Luring bukan?” tanyaku di sela-sela penasaran.

Sejenak dia terdiam. Mengamatiku dari ujung ke ujung tanpa berkedip. Semoga dia mengingatku. Lama dia melakukannya. Kemudian perlahan dia berjalan mengitari tubuhku. Mencium bauku. Aku hanya mendengus. Sedikit kesal karena dia tak mengenalku. Sedangkan aku hanya butuh sedikit waktu untuk yakin bahwa dia Luring.

“Kamu siapa? Bisa tahu nama kecilku.” dia mulai menjawab dengan santai.

“Oh.... Luring. Aku Daring. Lupakah?” teriakku histeris. Benar dugaanku. Dia Luring adikku.

Kami dua bersaudara yang dibuang terpisah dengan induk kami. Beruntung aku dan Luring dibawa pulang ke rumah dan dirawat oleh seseorang . Hanya tiga minggu kami bersama. Dan tiba-tiba Luring tidak ada bersama kami. Aku dan yang merawat kami mencari berhari-hari. Sudah tiga bulan sejak hilangnya Luring tak sengaja aku berpapasan hari ini.

Luring mengamatiku. Pandangan matanya mulai melunak. Menatap lembut kepadaku.

“Kamu Daring?” bertanya untuk memastikan. Kemudian Luring berlari memelukku. Ada rasa haru menyeruak. Tiga bulan tidak bertemu dengannya membuatku sungguh rindu. Apalagi kulihat sekarang tubuhnya sangat gagah. Dengan rambut sedikit hitam keabu-abuan berpadu warna putih di beberapa bagian tubuhnya semakin menambah keelokan dirinya. Ekor panjangnya berwarna putih. Berbeda denganku. Seluruh tubuhku hanya polos berwarna putih. Berekor pendek pula.

“Kamu ke mana saja, Luring? Aku mencarimu.” kataku melepas pelukan.

“Aku dibawa pergi oleh anak laki-laki kecil. Dia mengambilku saat kamu tertidur dengan pulas waktu itu. Aku sudah menjerit minta tolong padamu. Tapi kamu tak mendengarku. Untungnya aku dirawat dan dibesarkan dengan baik. Hanya saja namaku bukan Luring.”

“Lalu siapa namamu sekarang?”

“Namaku sekarang Leo. Tapi inisial L terlepas saat aku bermain.” jelas Luring.

“Aku tinggal tak jauh dari sini, Daring. Apakah kamu masih tinggal di sini?”

Aku mengangguk. “Di mana tinggalmu?”

“Di ujung jalan depan. Rumah bercat coklat. Hari ini aku tiba-tiba ingin bermain ke sini. Eh, malah bertemu denganmu.” kata Luring sambil tertawa.

“Kamu senang bersama anak itu?” tanyaku pelan. Takut membuatnya tersinggung.

Luring menjawab pertanyaanku dengan mengangguk mantab. Aku bernapas lega. Tak apalah aku jauh dengan Luring, asalkan dia dirawat. Eh, sekarang namanya Leo. Pantas saja ketika aku panggil Luring dia hanya terdiam.

“Kapan-kapan mainlah ke tempatku,” ajak Leo. “Aku harus bergegas pulang. Nanti aku dicari.” Berkata begitu Leo berjalan meninggalkanku. Aku hanya bengong melihat kepergiannya. Ingin mengejarnya. Namun aku tak punya kekuatan. Mungkin Leo sudah melupakanku. Tak menganggapku lagi saudaranya. Aku bergegas berbalik. Berjalan menuju tempat ternyamanku. Ada sedih dalam langkah gontaiku.

Mendadak aku dikejutkan oleh pelukan dari belakang. “Daring, aku akan datang lagi esok hari. Jangan bersedih. Aku sungguh merindukanmu juga.”

Daring balas memeluk tubuh yang tak lain adalah Leo. Kami berpelukan erat. Rumah memang memisahkan kami, tapi tidak menghapus ikatan saudara kandung.

#OneDayOnePost

#Tantangan500Kata 

Share:

1 komentar

  1. Senang dengan akhir ceritanya. Pesan yang bagus untuk anak-anak. sayangi saudara.

    ReplyDelete