Ibuku, Pahlawanku bagian 3

Hasil gambar untuk gambar seorang ibu dan anak
image:google


Kami menangis sesenggukan cukup lama. Saling menguatkan lewat pelukan. Karena hanya ini yang bisa kami lakukan. Untuk bertanya langsung kepada ibu kami tak punya cukup nyali dan keberanian.

“Mbak, kita harus bertanya kepada ibu dan mengingatkan ibu. Jangan sampai ibu lupa bahwa kita butuh yang halal. Bukan hanya melulu tentanng uang.” kataku usai tangis kami reda.

“Ya, kita harus menanyakan ke ibu. Walaupun nantinya ibu akan marah dengan kita. Kamu siap, De, jika ibu ngamuk?”

Aku mengangguk. “Siap, Mbak!”

Jadilah kami menunggu kepulangan ibu. Berharap ibu pulang tidak selarut malam-malam sebelumnya. Tak ada hiburan yang bisa kami gunakan untuk membunuh waktu yang rasanya berputar lebih lama dari biasanya. Hanya radio kecil pengusir rasa kantuk dan bosan yang kadang-kadang datang menghampiri.

Tepat ketika jarum jam menunjuk ke angka sembilan, kudengar langkah kaki mendekat ke arah pintu yang sudah terkunci. Pasti ibu yang datang, pikirku. Segera kubangunkan mbak Alya yang sudah terpejam matanya. Pelan kugoyang badannya. Aku sendiri bergegas menemui ibu, mencium tangannya. Disusul oleh mbak Alya.

“Kok kalian belum tidur?” tanya ibu meletakkan tas bawaannya. Kami sudah bisa menebak, pasti isinya baju baru dan sedikit makanan untuk kami.

“Bu, boleh kami bertanya?” awal yang bagus. Mbak Alya memulai percakapan yang serius dengan ibu tanpa basa basi.

Ibu mengangguk. Mengambil duduk di hadapan kami. “Apa yang akan kalian tanyakan?”

“Maaf, jika pertanyaan kami akan menyinggung perasaan ibu.”

“Apakah ini tentang gosip yang akhir-akhir ini mengenai ibu?”

Serempak kami mengangguk mengiyakan. Ibu tertawa getir. Parau sekali suara yang kami dengar. Agak takut mengamati perubahan di wajah ibu. Ibu seperti menanggung beban berat. Rasanya kami ingin menarik kembali pertanyaan agar ibu kembali tersenyum.

“Peduli apa mereka dengan kehidupan kita? Apakah mereka akan menolong di saat kita membutuhkan bantuan? Tidak kan? Mereka hanya tahu menggunjing dan membicaran keburukan kita. Meskipun itu benar.”

Dalam hati aku membenarkan omongan ibu. Tetangga memang hanya tahu menggunjing. Tidak tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya orang yang jadi bahan gunjingan.

Bersambung...

#OneDayOnePost
#TantanganTemaPahlawan

Share:

3 komentar