Si Bungsu

Hasil gambar untuk gambar keluarga ayam
image by google

“Ayo, De. Bangun ah!” tarik kakak pertama mencoba membangunkan si bungsu untuk segera menyambut pagi. Lima kakak lainnya sudah melakukan senam pagi dengan ayah dan ibu di depan.

“Malas ah, Kak. Masih gelap juga. Subuh baru saja selesai. Masa harus sepagi ini bangunnya?” masih beralasan agar bisa meringkuk hangat.

“Ade bungsu, nggak baik ya bangun terlalu siang. Nanti keburu habis makanan kita!” kakak pertama masih sabar menghadapi. Maklum adik bungsunya adalah istimewa.

Bungsu mengerjapkan matanya. Berkata lirih dengan malas. Mengepakkan dua sayapnya yang tidak bisa ia gunakan untuk terbang. Menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa malas yang sebenarnya masih memeluknya.

“Nah, gitu dong. Ayo, ke depan!” kata kakak pertama berjalan mendahului ke depan. Berkumpul dengan lima adiknya, ayah, dan ibunya. Jadi ayah dan ibu memiliki tujuh ekor anak. Si bungsu adalah anak paling istimewa. Memilliki badan paling kecil. Dengan kaki yang tidak sempurna. Salah satu kakinya tidak memiliki cakar untuk mengais makanan. Sebelah kanan sayapnya juga tidak sempurna seperti saudaranya yang lain. Ini yang membuat bungsu berjalan tidak bisa dengan cepat. Terhambat saat mengais makanan.

Ayah memberikan isyarat dengan suaranya yang gagah. Memanggil setiap makhluk agar segera beranjak dari rasa malas. Untuk kemudian bertebaran  di atas bumi Allah. Kukuruyuk...Kukuruyuk...

Bungsu berjalan tertatih mengikuti langkah panjang dan cepat kakak pertama. Kakinya yang istimewa membuatnya susah untuk mengimbangi agar berjalan sejajar. Dillihatnya ayah sudah lantang berbunyi. Bersahutan dengan suara kakak kedua dan ketiga. Ya, kakak pertama hingga ketiga memiliki kesamaan dengan ayah. Memiliki tubuh yang kekar, jengger berwarna merah yang mulai tumbuh di atas kepalanya, dan jalu yang kokoh. Tidak seperti dia, hanya bisa merepotkan.

Ketika ayah mengais makanan di tanah, ibu akan membantu. Lalu memanggil anak-anaknya agar mematuknya. Kemudian ayah dan ibu akan meminta ketujuh anaknya belajar mengais makanan menggunakan paruh dan kakinya. Dan bungsu akan selalu ketinggalan. Kesulitan melakukannya, hingga keenam kakaknya akan membantunnya.

Tapi kemarin ayah sudah berpesan. Bungsu harus berusaha sendiri. Tidak boleh tergantung kepada kakaknya. Mencari makanan sendiri meskipun hanya dengan satu kaki yang bisa digunakan untuk mengais. Masih bisa memanfaatkan paruh. Ayah dan ibu ingin bungsu juga mandiri. Karena nantinya ia tidak selamanya tinggal dengan ayah dan ibu.

Ayah dan ibu sudah berjalan mencari titik-titik tempat harta karun yang banyak terpendam. Sisa hujan semalam memudahkan tanah untuk dikorek dicari cacingnya. Semua anaknya sudah menyebar. Bungsu ketinggalan. Suaranya mencicit tidak jelas. Ada rasa sedih dan marah kepada bentuk tubuhnya yang tidak sama dengan saudaranya.

Di tengah kebun, matanya hanya menatap kosong. Saudaranya mulai acuh. Sibuk mengais makanan. Tak lagi memedulikan dirinya yang belum juga mendapat makanan. Terseok kakinya mencoba mengais tanah basah. Tak mendapatkan apa-apa. Bungsu berpindah tempat. Masih dengan langkah tak sempurnanya. Sekali lagi tak memeroleh apapun. Bungsu mencicit memanggil kakaknya. Kakak pertama yang mendengar suaranya hanya menatap sekilas.

“Ayo, De. Kamu pasti bisa!” semangat kakak pertama.

“Aku belum mendapatkan cacing seekorpun, Kak.” pelan dengan nada putus asa hampir menangis bungsu menjawab.

“Semua juga berusaha, Sayang,” lembut ibu berkata. Menentramkan hati bungsu.
“Ibu yakin kamu juga bisa. Jangan jadikan kakimu sebagai alasan untuk meminta makanan dari kakakmu.” lanjut ibu menasehati. Sayap kiri ibu memeluk tubuh kecil bungsu.

“Iya, Bu. Aku akan berusaha lagi mengais tanah.” Bungsu membusungkan dadanya. Berjalan tertatih tapi dengan keyakinan. Bahwa ia pasti juga bisa mendapatkan makanan dengan usahanya sendiri.

#OneDayOnePost

#TantanganCerpenTentangAyam

Share:

5 komentar