Menulis Seperti Buang Hajat
Mengapa harus menulis?
Sebuah pertanyaaan sederhana yang tentu saja tidak membutuhkan jawaban yang rumit. Namun pertanyaan ini hampir membuat seluruh indera saya bekerja keras. Berpikir, kira-kira apa ya jawaban yang harus saya siapkan jika dihadapkan dengan pertanyaan ini.
Selintas maka saya akan menjawab, karena saya suka menulis. Saya suka menuliskan apa saja, tentang apapun, dan saya suka menuangkan setiap helai rasa yang saya rasakan dalam tulisan. Membacanya kembali suatu saat membuat saya seperti berada kembali dalam masa di saat saya menuliskannya.
Jawaban yang kedua jika saya ditanya kenapa saya menulis adalah karena menulis itu seperti buang hajat. Jika dalam sehari kita tidak buang hajat, maka perut kita akan bermasalah. Berbagai penyakit pasti akan satu persatu mendatangi kita. Benarkah?
Jawaban yang kedua saya dapatkan setelah saya membaca sebuah tulisan di grup. Bahwa menulislah seperti buang hajat. Jika saya pikir, benar adanya. Menulis dapat saya ibaratkan buang hajat. Lho kok bisa?
Coba sekarang merenung. Resapi apa yang kita rasakan. Sebuah perasaan apapun pasti kita mampu merasakannya dengan halus. Entah itu perasaan sedang marah, jatuh cinta, jengkel kepada seseorang, atau sebuah perasaan yang membuat kita ingin menjadi seorang pembunuh. Abaikan kalimat yang terakhir.
Di saat kita mengalami perasaan apapun, akan terasa plong jika kita menguraikannya lewat tulisan. Seperti buang hajat kan? Kita keluarkan apa yang ada di dalam perut, setelah keluar, lega rasanya.
Ingat Bapak BJ Habibi ketika pertama kali ditinggal oleh Ibu Ainun Habibi? Beliau mengalami depresi yang amat berat. Pertanyaan dokter hanya satu. Pak Habibi dihadapkan pada pilihan, untuk mengonsumsi obat setiap hari atau melakukan terapi dengan menulis. Dan Pak Habibi memilih menulis.
Beliau tuangkan semua perasaannya sejak ditinggal oleh istri tercinta. Terapi ini lebih manjur dari pada obat. Perlahan beliau mampu bangkit dari kesedihan. Hingga tulisan beliau menjadi tulisan yang abadi, bahkan diangkat dalam sebuah film.
Di atas adalah contoh begitu ampuhnya manfaat dari tulisan. Maka tidak salah kan jika saya katakan menulis seperti buang hajat. Menulis menjadi terapi, obat yang paling ampuh. Merasa penuh, kita tuliskan, lega rasanya.
Lalu bagaimana dengan pendapat bahwa mau menulis dimulai dari mana?
Akan saya katakan dari mana saja kita ingin memulainya. Apa yang ingin kita tulis, tuliskan saja. Bukankah ketika kita ingin buang hajat, kita tidak pernah memikirkan kita akan buang hajat kapan waktu yang tepat bukan? Mules datang, keluarkan, dan selesai.
Jika kita katakan menulis seperti buang hajat, maka membaca adalah makanannya. Menulis tanpa membaca ibaratnya kita tak pernah makan, mana mungkin kita akan buang hajat.
Kalau ingin buang hajat, ya harus makan teratur. Ingin menulis, ya harus membaca. Ketika jari kita mentok, maka membacalah agar ide mengalir terus. Jadi membaca dan menulis bagaikan dua sisi mata uang. Saling berkaitan seperti saya katakan di awal, menulis seperti buang hajat. Agar buang hajatnya rutin, berarti kita harus makan. Makanan bagaikan membaca.
Alasan lainnya menulis adalah menulis akan membuat kita kekal abadi. Ingat tulisan Kartini? Tulisannya masih abadi sampai saat ini. Kertini sudah tiada, tapi tulisannya abadi sepanjang sejarah.
Saya pun berharap seperti itu. Ketika saya sudah fana di dunia ini, saya memiliki sesuatu yang akan diingat terus. Sebuah tulisan yang mungkin sangat sederhana. Tulisan yang mungkin hanya berkisah tentang perjalanan hidup saya, agar keturunan saya mengetahui bagaimana sebelum mereka ada.
Dengan menulis, sekecil apapun tulisan kita, berharap memberikan kebaikan kepada orang lain. Memberikan manfaat, dan mudah-mudahan membawa perubahan yang baik. Meskipun saya merasa tulisan saya tidak memiliki arti apapun. Namun keinginan menulis walaupun tulisan sederhana, tetap menyala. Menulis untuk kebaikan.
Akhirnya, akan saya katakan. Menulislah untuk kesehatan, menulislah agar kita abadi, dan menulislah untuk menebarkan kebaikan. Salam Literasi.
#Menulis untuk tugas KMO
#OneDayOnePost
Tags:
Artikel
5 komentar
Agree Mb...membuang hajat jadi plong Dan akhirnya bahagia
ReplyDeleteAgree Mb...membuang hajat jadi plong Dan akhirnya bahagia
ReplyDeleteHehehe, iyaa mbak wid
ReplyDeleteHehehe, iyaa mbak wid
ReplyDeleteMasih seperti dulu, sederhana tapi ngena. Saya baru tahu soal kasus Pak Habibie ini, alhamdulillah namba pengetahuan. :D
ReplyDeleteSelalu larut dalan tulisan Bu Guru.