Hatiku Kembali Menangis
Hatiku
Kembali Menangis
Sebetulnya dari hari
Sabtu tanggal 13 Agustus 2016 tulisan ini ingin saya buat. Tapi entah karena
apa, kok saya hanya mengendapkan dalam angan. Tak mau beralasan karena sok
sibuk, pokoke saya tidak ingin menari di atas keyboard android saya.
Sepulang sekolah hari
Sabu kemarin saya sengaja mampir ke pasar sebelum pulang ke rumah. Membeli
beberapa kebutuhan di dapur yang sudah berteriak untuk dipenuhi, juga untuk
bersilahturahim dengan wali murid saya yang berjuaalan di pasar.
Saya berkeliling mencari
barang-barang yang sekiranya saya butuhkan. Berhenti dari satu penjual ke
penjual lainnya. Ketika berhenti di satu penjual, saya disapa oleh seorang
anak.
“Assalamu’alaikum,
Bu...” sambil mencium tangan saya dengan takzim.
Sedikit lupa nama anak
tersebut, maklum saya belum lama di tempat ngajar yang baru dengan murid
50 anak. Masih sering tertukar namanya dengan wajahnya. Tapi saya ingat betul
bahwa dia murid saya di kelas enam yang baru saja lulus. Saya pun menjawab
salamnya dan menanyakan apa yang dia lakukan di pasar.
“Keur naon, Jang, aya di
pasar?” tanya saya.
“Gawe, Bu.”
“Gawe naon?” tanya saya
lagi.
“Jadi kuli panggul, Bu.”
Jawabnya. Selesai menjawab dia pamit untuk masuk kembali ke dalam pasar.
Sedih saya mendengarnya.
Anak seusia dia, lulusan SD menjadi kuli panggul. Saya tidak tahu persis alasan
apa yang membuatnya harus bekerja. Padahal saya cukup berpesan sebelum mereka
lulus. Tetaplah bersekolah, lanjutkan sekolah, kejar cita-cita. Rupanya nasehat
saya belum bisa dilakukan.
Kejadian ini bukan
sekali dua kali saya temui. Masih banyak anak-anak yang tidak melanjutkan
sekolah ke SMP, meskipun di daerahnya sudah ada SMP swasta yanng membebaskan
dari biaya apapun. Kendala selalu datang dari pihak orang tua. Melarang anaknya
untuk bersekolah. Cukup bisa baca, berhitung, bagi mereka sudah bagus. Tak
perlu sekolah tinggi-tinggi. Dan hal ini selalu membuat saya menangis. Sedih
luar biasa.
Akhirnya kegiatan
belanja saya cukupkan. Saya memutuskan untuk pulang. Di sepanjang jalan saya
benar-benar menangis. Merasa tak mampu membuat mereka tetap bersemangat
menuntut ilmu. Doa saya dalam hati, mudah-mudahan suatu saat nanti, anak-anak
saya yang hanya lulus SD kembali punya keinginan untuk bersekolah. Dan orang
tuanya memberikan dukungan.
#OneDayOnePost
#Yuk
isi blog lagi
#
Untuk Ahmad dan anak-anakku lainnya
Tags:
Cerpen
5 komentar
Iya sedih banget.. tapi sepertinya meski tak bersekolah, ahlaknya tetap terjaga. Masih menghormati gurunya.. dan semoga tetap begitu meski tahun-tahun berlalu. ini lebih penting mbak lis..😊
ReplyDeleteiya de, tapi ada yang sudah lupa juga, kalo ketemu di jalan pura pura nggak lihat...paling sedih
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSedih mbak.ikut nangis..mbrebes mili
ReplyDeleteSedih mbak.ikut nangis..mbrebes mili
ReplyDelete