Salah Mantera


Aku kembali mengendap, mencuri waktu hanya untuk memuaskan mataku. Makhluk imut nan manis dengan senyum terindah yang mampu menyihirku, mengalihkan duniaku hingga berjam-jam. Pelan dan tak ingin membuat sosok di sebelahku terjaga. Lihatlah, pelukannya hampir selalu membuatku asma mendadak. Dengan tubuh gendutnya senantiasa memelukku agar tak bergeser seinci pun. 

Berhasil... hore! Aku menyeringai bahagia bukan main. Seperti menang undian di mana yang ikut hanya aku. Kujulurkan lidahku untuk merayakan keberhasilanku. Tidak berani melompat atau melakukan salto tujuh kali. Bisa bangun dan matilah aku. 

Secepat kilat aku berlari menjauh dari tubuh gendutnya. Tanpa melihat ada siapa di depan. Yang jelas badanku keras menabrak dan. ..bruk! Aku terjatuh kemudian berdiri dengan terhuyung-huyung. Banyak bintang berputar di atas kepalaku. Eh, burung pipit kecil ikut juga berputar. Mencoba berpegang di tiang, kulirik dengan sudut mata. 

Aih, pipiku merona merah jambu. Langsung mengusir semua bintang dan burung pipit di kepala. Aku menabrak sosok yang sangat sangat aku rindukan. Wajah imutnya selalu menghiasi mimpiku di setiap malam. Meskipun ketika bangun dari lelapku, aku kembali mendapati wajah sangar, tubuh gendut, dan dengkurannya.

"Mau ke mana? Kok berlari terburu-buru?" duh, lembut sekali suaranya saat menyapaku. Tubuhku seperti tak bertenaga. Terbang ke langit ke tujuh hanya karena mendengar suaranya. Bagaimana kalau aku bisa ada di dekatnya? 

"Malah bengong sih, Om? " suaranya kembali terdengar. Mataku sudah terpejam dengan tubuh bersimpuh di kakinya. Tapi, apa tadi yang kudengar? Dia memanggilku dengan sebutan Om? Apakah sudah demikian tua aku baginya? Tidak tahukah bahwa aku adalah makhluk paling gagah dan tampan di wilayah ini? Yang menguasai wilayah terluas di daerah ini. Tak ada yang tidak mengenalku, walaupun hanya hitungan lima makhluk. 

"Jangan panggil om, dong. Aku kan masih gagah. Panggil saja kakak," rayuku. Kutepuk jidatku, begitu ingat aku belum merapal mantera pengasihan ke dua sebelum ke sini. Dengan sekuat ingatan mulutku komat kamit mencoba mengahapal mantera yang tidak semuanya kuhapal dengan sempurna. Aku tak mau gagal dengan mantera pertama yang mungkin salah kurapal saat aku berikan ke dia. 

"Mudah-mudahan tidak salah ucap," rapalku dalam hati. Mantera ini aku gunakan agar makhluk manis di hadapanku bertekuk lutut di depanku. Sehingga dengan mudah aku bisa mendapatkan tanpa susah payah. 

"Om baca apa? Baca mantera ya? Om nggak hapal manteranya. Kertas contekannya ada di aku nih," bagai mendengar petir di siang bolong, mataku keluar dari tempatnya. Bacaan mantera yang pernah kutulis bisa ada di tangannya. Mati kutu sudah diriku, rutukku dalam hati. 

"Coklat yang pernah Om kasih dan bermantera sudah aku berikan ke tante gendut. Agar tante gendut selalu manja ke Om."

Apa katanya barusan? Jadi ini alasan kenapa akhir-akhir ini gendut membayangi langkahku? Coklat dengan ajian pengasih dia yang makan? Kenapa bisa sampai di tangannya? Wajahku melongo seperti kerbau. 

"Bisa dong, Om. Waktu itu Om memberikan coklatnya hanya sedikit. Aku bisa langsung nebak, kalau Om orangnya pelit. Ya sudah, kebetulan tante lewat, aku kasih aja coklat ke dia. Aku tahu ada manteranya, karena setelah tante makan dia menyebut nama Om berkali-kali."

Mukaku malu bukan main. Kebusukanku terbongkar sudah. Harusnya makhluk manis ini yang terpesona denganku. Tapi justru tubuh gendut yang sama sekali tidak kusuka. 

"Sudah Manis, jangan dekat-dekat dengan kucing bernama Gilang ini.  Dia itu kucing playboy. Nanti kamu dijahatin!" ujar sebuah suara. Oh, pemilik makhluk manis itu menggendongnya, membawanya menjauh dariku. Rasanya aku ingin meloncat dari atas gedung putih atau menggantung diri di bawah pohon tauge. Gontai aku melangkah pergi. Memang hanya dari atas pohon aku aman menatapnya. Menjauh dulu dari si gendut, dan tentunya harus segera mencari mantera penawar agar terbebas darinya. 

"Meong..." hanya itu yang mampu aku ucapkan mewakili perasaanku. 


#TantanganGilang
#OneDayOnePost

Share:

7 komentar