Rumah di Ujung Jalan


"Bang, tunggu aku! Jangan ditinggal!" teriak Tya memohon sambil terengah-engah mengejar abangnya yang sudah berada jauh di depan.



Bang Ali hanya berhenti sebentar , menengok ke arah Tya sambil berteriak juga.  "Buruan, Tya. Abang nggak mau nungguin kalau hitungan sepuluh kamu masih jalan kayak keong. Satu, dua, tiga,... " Ali segera menghitung dengan cepat. Tak peduli Tya yang masih mengatur napasnya.

Mata Tya melihat ke kanan dan kiri jalan. Kalau pagi atau siang hari sepanjang jalan ini ditumbuhi oleh pohon jenjeng. Berjajar dengan pohon jati. Tapi berhubung ini malam hari, yang terlihat hanya suara angin dan gesekan daun antar pohon. Ditambah langit tampak gelap tanpa ada bulan dan bintang. Hanya nyanyian binatang malam menjadi musik perjalanan Ali dan Tya.

Tya ingat, di ujung jalan ini ada sebuah rumah yang terkenal karena menyeramkan. Konon, banyak pengguna jalan yang sudah pernah diganggu. Mereka mengatakan bahwa setiap melewati rumah angker tersebut, terdengar suara tertawa, menangis, atau seperti benda berjatuhan dari dalam rumah.

Hu... Bulu kuduk Tya seolah berdiri saat membayangkan malam ini dia dan Bang Ali harus melewati rumah tersebut. Tya segera berlari dengan cepat mengalahkan pembalap motor GP. Tanpa rem dia mendekati Ali dan menarik tangan abangnya sebelum hitungan mencapai sepuluh.

Ali mengikuti laju lari Tya. Baru tahu dia, kaki adiknya yang mungil ternyata lebih cepat dari gerakan kakinya sendiri. Begitu sampai di depan rumah yang berada di ujung jalan, mereka mendengar suara gaduh dari dalam. Tya langsung berteriak.

"Ayo, Bang, lebih cepat. Aku takut," teriak Tya dengan napas terdengar ngos-ngosan. Tangannya masih kuat menarik tangan Ali.

Begitu rumah di ujung jalan yang dikenal dengan keangkerannya sudah terlewati, Tya mendadak berhenti.

"Su...  dah... , Bang,...  aku...  kehabisan...  napas.... " kata Tya terputus-putus beriringan dengan deru napasnya yang masih berlomba dengan detak jantungnya. Tya membungkukkam badannya, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya.

"Bang, besok-besok jangan lewat sini lagi. Jantungku mau copot rasanya," ujar Tya.

Ali hanya mengangguk. Dia masih berusaha mengatur napas.  Dilihatnya Tya sudah berjalan santai dengan melambaikan tangan kanannya mengajak Ali segera menyusul.

"Lambatnya Bang Ali. Tadi suruh aku jalan cepat-cepat. E, dia sendiri jalan pelan. Aku hitung ya. Satu ... dua ... tiga ....

Belum selesai Ayu menghitung, sebuah jitakan mendarat di kepala Tya.

"Dasar adik durhaka!"

Tya menjerit kesakitan. Sebentar lagi akan tiba di rumah kakek. Ayah, Ibu, dan Kakek pasti sudah menunggu. Tadi mereka hanya berpamitan sebentar saja pergi ke rumah sepupunya di RT berbeda.

"Tya, besok siang kita lihat rumah ujung jalan itu, yuk! Abang penasaran. Apakah seseram ini kalau siang hari." Ajaj Ali.

Tya memandang wajah Ali. Jalan yang mereka lewati bukan lagi deretan pohon. Sudah penuh dengan rumah penduduk.

Tya menggeleng, "Nggah, ah, Bang. Aku takut."

"Siang Tya, bukan malam kita lihatnya." Ali masih memaksa. "Kata kakek, rumah itu nggak angker. Hanya lama tidak dihuni."

"Besok siang ya, Bang. Tapi, sebentar saja." Putus Tya akhirnya setuju dengan usul Ali.

*

Sekilas Ali menganggap rumah yang ada di ujung jalan tidak ada yang angker. Halaman rumah penuh dengan rumput liar, sehingga tanaman bunga tidak terlihat. Ada pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah lebat. Di sebelah pohon mangga, berdiri pohon jambu air yang juga berbuah lebat.

Ali mengendap-endap mengintip keadaan rumah dari jendela kaca nako yang terlepas. Di belakangnya Tya mencengkeram kuat ujung kaos Ali.

"Bang, pulang yuk," ajak Tya mulai ketakutan.

"Bentar, Abang melihat ada yang bergerak dari dalam rumah."

Tya semakin kuat mencengkeram kaos Ali. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kakinya terasa lemas untuk melangkah lagi.

"Bang, aku takut," pelan Tya berkata. Mata Ali tak berpaling. Dia asyik mengamati sesuatu yang bergerak dari dalam rumah. Belum juga penasaran Ali, terdengar suara seperti benda jatuh. Bug! Dan meloncatlah sesuatu yang diamati oleh Ali. Tya langsung menjerit dan memeluk tubuh Ali.

Meoong....

"Itu kucing, Tya. Yang bergerak tadi hanya seekor kucing." jelas Ali sambil memaksa melepaskan pelukan Tya.

"Apa yang jatuh tadi, Bang?" tanya Tya dengan mata masih terpejam.

"Buah mangga dan jambu air berjatuhan, Tya. Lihatlah, buahnya jatuh mengenai atap sehingga menimbulkan bunyi."

Mendengar penjelasan Ali, barulah Tya berani membuka mata. "Lalu, katanya ada yang pernah mendengar suara tertawa, suara siapa, Bang?"

Ali hanya menggelengkan kepala. Belum selesai mereka melihat, terdengar tawa melengking dari belakang rumah.

Sontak Ali dan Tya terkejut. Tya berteriak dan menarik tangan Ali mengajaknya berlari keluar dari rumah dengan kecepatan seorang pelari.

***

Share:

0 komentar