Tembok-tembok yang Bicara



Hasil gambar untuk gambar tembok
pixabay.com
 Ayo, terus lakukanlah! Mumpung tidak ada yang melihatmu. Nanti kalau sudah ada orang, kamu akan sulit melakukannya. Ayolah, aku akan mendukungmu selalu!


Senyum seringai tanda puas terlihat sekali dari wajahmu. Gigi putihmu terlihat berderet rapi, menyunggingkan sebuah senyum kemenangan. Tak akan ada lagi yang mampu menolak dan mengatakan tidak dari kekuasaan tangan yang kau lakukan.

Tubuh di sebelahmu sendiri terlihat puas dan tersenyum penuh arti kepadamu. Bibir mungilnya ingin mengatakan kepadamu, “ Terima kasih, sudah mengajakku berkelana ke surgawi dunia yang sungguh luar biasa.”

Tangan kokohmu hanya merengkuhnya – masih tertawa puas penuh kemenangan – sambil mengatakan, “Aku akan mencintaimu selamanya. Seperti tubuhmu yang telah memberikan makna tersendiri kepadaku.”

Malam masih panjang dan semakin terasa lama untuk sampai di penghujungnya. Tubuhmu dengan alih-alih untuk memberikan perlindungan tidak bergeser sesenti pun untuk menguasainya. Dan kamu tertawa semakin puas, menandakan sebuah kekalahan yang telak dari tubuh di sampingmu.

***

Benda-benda yang ada di dalam ruangan seperti ikut bergoyang sesuai irama musik yang sedang disetel dari sebuah kaset yang dihubungkan dengan speaker. Suaranya melangit, berteriak kepada siapa saja yang tanpa sengaja ikut mendengarkan musiknya. Dangdut level satu sudah selesai diputar, kini giliran dangdut level dua dengan syair dan nada yang saling tidak berhubungan. Bersahut-sahutan tanpa makna yang jelas.

Tangan-tangan yang sebenarnya sibuk, tak lagi memiliki kekuatan untuk mencoba mencari secuil kapas. Menyumbat dua lubang di telinga agar dangdut level dua yang seperti nyanyian neraka tidak terdengar. Minimal bisa berubah menjadi usapan lembut di gendang telinga layaknya dendang seorang ibu yang akan menidurkan anaknya.

“Cobalah kau bilang kepada Inul, agar ketika dia menyetel lagu pujiannya, tak perlulah mengganggu telingaku!” teriakmu, mencoba menyuarakan isi hati.

Yang kamu ajak bicara hanya mengangkat bahu tanda enggan menuruti permintaanmu.

“Kau kan orang yang agak disegani oleh Inul. Kalau denganku, beh ... bisa-bisa ambil golok dia nanti.”

Kembali menggelengkan kepalanya.

“Ah, lama-lama makin miriplah kau itu dengan Inul!” semburmu menahan marah.

***

“Goblok banget sih, Nduk, jadi bocah. Nilai nggak ada yang bagus dan bikin bangga Mama!” semburmu sambil menunjuk-nunjuk muka seorang anak.

“Ini kan soal yang gampang banget. Mosok begini saja juga nggak bisa!” Masih terdengar umpatanmu makin kesal karena anak di depanmu sama sekali tak menggubris. Tangannya justru asyik bermain ujung karpet yang mulai rusak. Menarik-narik benangnya seolah memiliki mainan baru. Dari pada mendengarkan sumpah serapahmu yang tak mengenal tanda baca titik koma. Nerocos saja seperti bunyi bajaj di jalanan ibukota.

Kamu yang melihat ekspresi anak di hadapanmu, makin geram. Kalimat demi kalimat makin meluncur seperti sedang terjun bebas di perosotan mainan anak-anak. Tanpa penghalang apa pun.
***

Ah, andai aku bisa memilih, bukan menjadi seperti sekarang ini, pastilah aku tak perlu menjadi telinga atau mata bagi mereka yang ada di dekatku. Mereka tak pernah peduli dengan apa yang sudah dilakukan. Dosa atau tidak sepanjang tak terlihat mata yang mengawasi, mereka tetap beraksi. Padahal sungguh, aku yakin, ada mata yang diperintahkan Tuhan untuk menjadi kamera pengawas dari setiap lakon hidup yang diperankan.

#TantanganTugasRCO

Share:

0 komentar