Jangan Dekat-Dekat Aku, Rara

Kangen nulis cerita anak, meski akhirnya agak kaku juga memulainya. Semoga masih enak dibaca ya. 


Jangan Dekat-Dekat Aku, Rara!
Oleh Lisa Lestari

          “Kamu ngapain ke rumahku, Ra?” tanya Lili ketika melihat Rara temannya mengetuk pintu rumahnya.
          “Aku bosan, Li.”
          “Tapi kita nggak boleh keluar rumah, Ra. Ingat kata bu guru. Kita harus tetap di rumah selama corona masih ada,” Lili masih berusaha menahan Rara masuk. Rara dibiarkan di depan pintu yang hanya setengah terbuka.
          “Aku mau masuk, Li. Boleh ya?” pinta Rara dengan wajah melas.
          “Nggak! Sana pulang lagi! Kamu juga nggak pakai masker!” usir Lili.
          “Lili, kok kamu tega sih!” teriak Rara histeris.
          Lili terdiam, iya juga sih. Perkataan Rara benar, dia tega sekali. Namun, ingat pesan bu guru dan Ibu. 

          “Aku kan sahabatmu, Li,” Rara masih berusaha merayu.
          Lili tetap menggeleng. Kali ini gelengan kepala Lili melemah. Dia mulai ragu, antara menerima Rara bermain atau meminta Rara pulang kembali.
          “Aku hanya ingin ngobrol denganmu, Li.”
          Lili terdiam. Dia seperti memikirkan sesuatu.
          “Benar hanya ingin ngobrol denganku?”
          Rara meenganggukkan kepala. Lili tersenyum seperti mendapatkan ide bagus.
          “Kamu pulang ya, Ra. Nanti kita ngobrol dari kamar kamu,” jawab Lili.
          Rara kebingungan. Rumah mereka memang bersebelahan sih, tapi gimana caranya ngobrol dari kamar?
          “Sudah, kamu pulang sana!”
          Mau tak mau Rara pulang. Senyumnya seketika hilang dari wajahnya. Lili juga tidak mau bermain dengannya. Bahkan bertemu saja Lili nggak mau. Virus yang katanya mematikan ini benar-benar membatasi pertemanan Rara dan Lili. Biasanya setiap hari Rara dan Lili selalu bisa bermain bersama. Sekarang? Rara ingin menangis saja rasanya.
          “Kamu sudah di kamar belum, Ra?” terdengar teriakan Lili dari kamarnya. Kamar mereka dibatasi tembok yang tidak terlalu tinggi.
          Terlihat wajah Rara di jendela. Bibirnya cemberut sambil memandang ke jendela Lili. Lili tidak berada di dalam kamarnya, tapi dia ada di bawah jendela. Di tangan Lili terlihat kaleng susu bekas dua buah.
          “Nih, kamu pegang kaleng ini ya. Satu lagi aku yang pegang,” Lili memberikan kaleng bekas susu kepada Rara. Dia sendiri memegang kaleng satunya. Dua kaleng ini dihubungkan dengan benang. Lili memasukkan satu kaleng ke dalam kamarnya lewat jendela. Lili sendiri masuk kembali ke dalam rumah. Rara masih belum paham Lili mengajaknya bermain apa.
          “Kita mau main apa sih, Li?” tanya Rara penasaran.
          Lili hanya tersenyum. “Ada deh!”
          Rara makin cemberut karena Lili masih mengajaknya bermain teka-teki.
          “Nah, Ra, kaleng yang kamu pegang itu tempel di telinga. Rara mengikuti permintaan Lili.
          “Kamu tahu nggak sih, Ra, anjuran pemerintah saat pandemi begini?” Lili berbicara dengan kaleng di mulutnya.
          “Benangnya harus kenceng, Ra. Jangan kendor!” teriak Lili tanpa melalui kaleng.
          “Ini apa sih, Li?” Rara masih belum paham permainan yang mereka lakukan.
          “Rara, kita ini anggap saja sedang bermain teleponan, tapi pake kaleng. Kalau aku sedang bicara, kaleng punyamu letakkan di telingamu dengan benang nggak boleh kendur. Trus nanti pas kamu jawab, aku akan mendengarkan. Dengan begitu kamu bisa ngobrol kan?” jelas Lili.
          “Oke, aku paham!” teriak Rara sambil mengacungkan jempolnya.
          Rara memulai percakapan. Dia menempelkan kalengnya di mulut. Lili mendengarkan. Terjadilah percakapan antara mereka. Sesekali Rara tertawa mendengar cerita Lili. Begitu juga sebaliknya.
          “Nah, Ra, dengan kita hanya di rumah, kita itu berarti sudah mendukung program pemerintah agar virus corona tidak menyebar lebih luas. Jadi, jangan pergi-pergi dulu ya,” kata Lili.
          “Kalau kamu bosan, kita ngobrolnya dari sini, begini aja,” tambah Lili.
          “Iya, Li, aku akan bantu memutuskan rantai virus ini dengan tetap di rumah. Agar virus ini cepat berlalu. Begitu kan, Li?” tanya Rara.
          “Betul sekali, Rara cantik,” balas Lili.
         Mereka tertawa. Senang rasanya bisa ngobrol santai tanpa harus berdekatan menggunakan alat telepon tradisional.



Share:

0 komentar