Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian 4)

Malam berakselerasi dengan cepat, tergantikan oleh wajah pagi yang bersinar lembut. Menghangatkan setiap jiwa yang pandai bersyukur akan segala nikmat yang telah diberikan. Tapi tidak denganku! Ada kecewa yang meraja di hatiku, tatkala subuh tadi Mei mengatakan kalau calon bayi dalam perutnya tidak keluar. Wajah ayu Mei melukiskan guratan kebahagiaan, terbukti bibirnya yang selalu tersenyum. Seakan meledekku, mengatakan kepadaku bahwa calon anakku adalah anak yang kuat!


Dan sore harinya Mei berangkat ke bidan seorang diri, tanpaku. Lebih tepatnya aku menolak mengantarnya, dengan alasan rumah bidan yang akan dia kunjungi dekat dengan tempat tinggal kami. Mei tetap pergi seorang diri, tersenyum penuh kemenangan, tak peduli walaupun pergi seorang diri.

Perut Mei semakin membesar seiring bulan demi bulan melangkah meninggalkan ceritanya. Mei tetap beraktifitas seperti biasa, bekerja di pabrik, sorenya berangkat kuliah. Tiba kembali di rumah sudah sangat malam, jam 22.00 bahkan jam 23.00 juga pernah. Selama itu pula aku tak pernah menjemputnya jika kebetulan shift kerjaku pagi. Mei benar-benar perempuan tangguh, tak pernah merengek kepadaku. Pernah sekali dia memintaku untuk menjemputnya, waktu itu awal kuliah. Aku jawab, kalau nggak berani pulang malam, nggak jadi saja kuliahnya.  Mei menganggukkan kepalanya.

Selama hamil Mei tidak pernah menunjukkan seperti wanita hamil pada umumnya. Mei seperti biasanya, tidak mabuk ataupun lemas badannya. Dan akhirnya aku mulai menerima bayi dalam kandungannya, melihat Mei tidak mengalami kesulitan ketika hamil.

Catatan di lembar selanjutnya hanya menceritakan tentang kehamilan Mei, kegembiraannya meskipun tak mendapat perhatian penuh dariku, suaminya. Tak sadar bibirku membentuk senyuman manakala melihat foto bayi mungil nan cantik di tempel, tanggal menunjukkan tepat kelahiran putriku. Sederet doa indah untuk bayi perempuan kami. Kuusap foto bayi anakku. Sulungku mewarisi ketangguhan ibunya. Melihat dia aku seperti melihat wajah istriku. Pinang dibelah dua. Tingginya saja yang mengambil dariku. Untunglah tidak mewarisi Mei yang pendek.

Juni 1998
Kuajarkan pada Bintang untuk memanggilmu Ayah. Berharap hal baik memihakku. Meski kau pernah tidak menerimanya, tetapi setelah lahir, kulihat kau mampu menerimanya. Terimakasih, Ayah, suamiku. Hatiku pun mulai melunak untuk kembali belajar mencintaimu, walaupun sayat luka belum sepenuhnya sembuh.


Bersambung....

#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

12 komentar

  1. Bintang.. Jagain mama ya.. Jgn perdulikan ayahmu, dia jahat.

    ReplyDelete
  2. Semakin larut dalam cerita mba lisa nih saya...

    ReplyDelete
  3. Dari sekian cerita tokoh yang bernama Mei yang aku baca, dia adalah perempuan yang tangguh

    ReplyDelete
  4. Suaminya menyebalkan... si mei sabar pisan orangnya..

    ReplyDelete
  5. aku suka namanya Bintang. Bintang jadi anak baik ya.. jagain mamah..^_^

    ReplyDelete
  6. Haduuuh... ceritanya menguras emosi pembaca. Jagoan mbak lisaa..

    ReplyDelete
  7. Sungguh kasihan Mei.. Diriku juga kasihan karena dibuat penasara...

    ReplyDelete