Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian 5)

Bayi mungil Bintang menunjukkan kekuatannya, mampu mengubahku menjadi seorang ayah yang peduli, peduli kepada ibunya, Mei istriku. Setidaknya itu menurutku. Tahun kelahiran Bintang juga merupakan tahun selesainya Mei menempuh kuliah diploma duanya. Sebentar lagi ia akan wisuda, tepatnya pada bulan Agustus. Tergambar dari catatan Mei.


Agustus 1998
Seminggu lagi akan wisuda. Mempersembahkan toga kelulusan untuk ibuku dan suami, yang telah banyak membantu. Tapi...aku bingung. Wisuda mau pake baju apa? Tak harus kebaya, kata suami. Pake baju yang ada saja. Hiks...hiks...itu bajuku yang layak pakai sudah usia usang. Masak Ayah nggak mau beliin baju buatku? Malah dijawab, "Ibu ini ngabisin uang ayah saja."
Sediiih dibilang begitu...
Aku kan juga kerja, Ayah, meski nggak pernah megang uang sendiri.

Menjelang wisuda, Mei memang sibuk menanyakan padaku, hendak pakai baju apa jika tak dibolehkan sewa kebaya. Dia ingin beli baju baru, karena menurutnya selama menikah denganku Mei belum pernah beli baju. Ya, sejak menikah denganku, uang Mei aku yang mengaturnya. Mei hanya mendapatkan jatah hariannya untuk kebutuhan belanja. Setiap ingin beli kebutuhan yang lain, selalu kukatakan, tak ada dan aku tak pernah memberinya uang lebih. Bagiku, Mei bisa kuliah saja harusnya sudah membuat dia tak perlu minta apa-apa. Itu pikirku.

Dan pada saat Mei ribut ingin membeli baju baru, aku memang mengatakan hal tersebut. Bukan hanya sekali perkataan itu kulontarkan kepada Mei. Seingatku aku sering mengucapkannya. Jika Mei ingin mengganti tas lamanya, aku juga ucapkan, "Ibu ini bisanya menghabiskan uang Ayah saja." Biasanya Mei hanya menjawabnya dengan senyum tipisnya.

Kubalik halaman berikutnya. Foto wisuda Mei berdampingan denganku. Mei memakai gamis lamanya. Tanpa polesan make up apapun. Memperlihatkan wajah aslinya, hanya polesan bedak tipis. Itu pun sudah hilang ketika perjalanan menuju tempat wisuda. Kami tidak mengajak Bintang, aku melarangnya. Takutnya acara akan lama, dan Bintang akan rewel. Kesedihan Mei tentang baju wisuda tak diperpanjang.

Hal yang membuatku tak pernah lupa adalah, percakapan kami pada malam harinya setelah acara wisuda.

"Ayah, Ibu ingin keluar dari pabrik. Boleh?" tanya Mei hati-hati sekali. Aku masih menunggu kelanjutannya. Karena kulihat Mei masih ingin bicara.

"Ibu akan melamar menjadi guru SD."

Kupandangi wajah Mei untuk melihat kesungguhannya. Mei menganggukkan kepalanya dengan mantap. Pertanda ia serius dengan ucapannya.

"Sudah Ibu perhitungkan jika keluar dari pabrik? Gaji guru honor kecil lho, tidak sebanding dengan kebutuhan kita."

"Ibu akan melamar kerja di sekolah swasta. Bukan di negeri."

"Kalau begitu cari sekolah swasta yang gajinya besar. Biar nggak ngabisin uang Ayah!"

Mei mengangguk. Sebelum berlalu, Mei mengucapkan, " Memangnya Ibu mesin pencari uang buat Ayah?"


Bersambung....



#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

10 komentar

  1. Hadeehh..kesalnya aku sama si ayah.
    Mba..aku sedih bacanya.😭😭😭

    ReplyDelete
  2. Problematika rumah tangga yo mba...harus dijalani..

    ReplyDelete
  3. saya sebagai laki" pun ikut geram liatnya mbak

    ReplyDelete
  4. waduuh, dr postingan bagian pertama, semua pada geram dan marah,maaf yaa plends

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Semoga aku nnti tdk menajdi suami kek gitu.. He.. (Kok larinya kesitu.. Ups..)

    ReplyDelete
  7. Nyebelin yak. Itu moment istimewa kenapa gak boleh beli baju baru?? ih

    ReplyDelete