Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian 6)

Kupegang tangan Mei, menahannya untuk kembali duduk di sampingku. Mendengar ucapan Mei barusan, tak urung membuat kuping ini berdesing. Mei mengucapkan apa barusan? Memangnya Ibu mesin pencari uang buat Ayah? Oh, Mei, anggapannya kok begitu sadis. Semua ini kulakukan agar Mei tidak boros. Karena yang kutahu ia tidak bisa mengelola uang dengan baik. Berbekal pengalaman bersekolah di akuntansi, membuatku ingin mengelola keuangan keluarga. Mungkin menurut Mei ini tak wajar, karena biasanya istrilah yang mengatur uang. Tapi bukankah ini sudah kami bicarakan sebelumnya? Waktu itu Mei mengangguk setuju aku yang mengatur keuangan. Kenapa sekarang Mei protes?


"Maksud Ibu apa?"

Mei kembali duduk di sampingku, menatap mataku. Ada kilat bening di dua matanya yang coba ditahan agar tak jatuh.

"Maaf kalau Ibu salah ucap."
"Jelaskan dahulu maksud Ibu ngomong Ibu mesin pencari uang itu apa?" kembali aku tanyakan alasan Mei mengucapkan itu.

Mei mengambil nafas panjang. 
"Ibu nggak punya maksud apa-apa. Ibu hanya ingin merasakan punya gaji sendiri. Ingin beli sesuatu dari uang sendiri, kirim uang ke Ibu di Jawa. Bukan hanya Ayah yang bisa kirim uang ke tempat Ayah. Sesekali juga ingin memberi ke ibuku, meski beliau sudah punya gaji sendiri dari pensiunan almarhum bapak."

Kudengarkan penjelasan Mei. Aku tahu keluarga Mei adalah keluarga yang tidak membutuhkan biaya lagi. Ibunya memiliki penghasilan dari pensiunan almarhum bapak. Makanya sejak dulu aku selalu menolak jika Mei ingin memberikan uangnya untuk Ibu. Gaji Ibu sudah lebih dari gaji Mei, itu anggapanku. Jadi aku hanya mengirimkan uang ke rumahku, untuk bapak dan ibuku.

Mei terdiam setelah memberikan penjelasan padaku. Dua tangannya sibuk memainkan jari-jarinya, mengusir rasa takut kalau-kalau aku marah.

"Maaf jika perkataan Ibu menyinggung perasaan Ayah," pelan Mei mengatakannya setelah lama tak ada yang memulai percakapan.

"Baiklah, nanti kalau Ibu sudah mengajar di SD, silahkan pegang sendiri gajinya." Sedikit tegas kukatakan. Ada perasaan ingin marah ke Mei, tapi kuurungkan.

Mei kembali menatapku. Seolah tak percaya mendengar jawabanku.

"Benarkah, Ayah?"
"Ya." Dan aku berlalu meninggalkan Mei yang masih duduk.

Mei akhirnya mengajukan pengunduran diri dari pabrik tempatnya bekerja. Tidak butuh waktu lama, ia mendapatkan pekerjaan baru. Menjadi guru di SD Islam. Agak jauh dari kontrakan tempat tinggal kami. Dan Mei bertekad membeli sepeda mini sebagai transportasi untuk mengajar. Mei bersemangat naik sepeda, menempuh perjalanan kurang lebih 6 kilometer. Kata Mei, itu jarak yang dekat. Masa sekolahnya dahulu, lebih dari 6 kilometer.

Gajian pertama Mei benar-benar  dipegang sendiri. Ia minta ijin kepadaku, ingin berbagi dengan ibunya di Jawa. Dan aku ijinkan. Satu yang membuatku kembali acuh ke Mei, aku hanya membayar kontrakan tempat tinggal kami dari gajiku, tanpa kupedulikan kebutuhan belanja sehari-hari. Mei juga tidak memintaku. Berapa pun uang yang kuberikan kepadanya, ia tak pernah mengeluh. Hanya saja pada saat tengah bulan, Mei kembali meminta uang kepadaku.

"Ayah, boleh minta uang buat belanja?"
"Pakai aja uang Ibu, kenapa minta lagi ke Ayah? Bukankah Ibu yang ingin mengatur uang sendiri?" jawabku.

Mei terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Berputar haluan dan meninggalkanku menatap punggungnya.


Bersambung...


#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

13 komentar

  1. Ya ampuuunnn...jadi terbawa liku-liku kehidupan rumah tangga orang nih.

    ReplyDelete
  2. ish geram kali loh sama lelaki seperti ini
    karena bukan hanya di fiksi aja ada
    di kenyataan sehari-hari banyak

    ReplyDelete
  3. Apakah emang Mei yg tak bisa ngatur keuangan, Ya? Hmn..

    ReplyDelete
  4. huft....jangan panggil dia ayah #GaRelaaa

    ReplyDelete
  5. Jadi emosi yah bacanya. Hihihi. Mbak lisa. Jagoan bangett

    ReplyDelete
  6. Suami menyebalkan. Masa iya belanja pake uang istri. Gaji istri adalah haknya istri mau dipake apa. Urusan nafkah dan uang belanja tanggung jawab suami. Macam mana laa ini... suami tidak tanggung jawab.

    ReplyDelete
  7. Kali ini mau belain si Ayah ah.., karena ada beban membantu orang tuanya yang butuh biaya. Bisa jadi ini alasannya kenapa si Ayah Pelit bin Irit.

    ReplyDelete
  8. Hmmm....segitu rumit yach atur.keuangan rmh tangga...#mikir....
    Buka pengetahuan aq nih mbak lisa, must be teliti...kalo cari suami jgn yg pelit2...wkkwkwkw

    ReplyDelete
  9. Waaahhh rame banget disini dah kayak demo aja..😅😅😅

    ReplyDelete