Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian 7)

Kepingan puzle kehidupanku bersama Mei bergantian diputar seperti sebuah film. Buku tebal biru ini bagaikan rol film untukku. Menceritakan bagaimana aku dan Mei menjalani pernikahan. Dua puluh tahun sudah kini kami bersama, selama itu pula kami tak pernah berantem, ataupun terjadi pertengkaran berarti. Setidaknya menurutku begitu, tetapi kenyataannya tidak. Mei menuliskan dengan rapi setiap hal yang berhubungan dengan pernikahannya di buku ini, tanpa setahuku. Baru hari ini aku mengetahuinya, secara tak sengaja.


Dadaku terasa sesak, sebuah batu sepertinya menghantam, dan buk! Mei tak pernah mengeluh apa-apa terhadapku. Ia selalu tersenyum di hadapanku. Bahkan jika ingin menangis, Mei tak pernah memperlihatkan di depanku. Aku hanya melihat kilatan bening saja, jatuhnya menjadi tangisan dibawa menjauh oleh Mei. Terbukti dari catatannya.

Tak ingin kutulis ini bulan apa, tahun berapa. Aku hanya ingin terbang jauh dari kehidupan yang terpaksa kupilih, tanpa ada pilihan untukku. Hingga harus menempuh kehidupan berliku bersamamu. Apakah aku yang tak pernah bisa menjadi permata hatimu di rumah ini? Aku ingin kau memelukku, suamiku, tatkala air mataku jatuh di pipi. Hiburlah aku dengan kata-kata lembut. Bukan acuhmu yang hanya terdiam. Mungkin aku yang memang terlalu sensi, hingga mudah menangis. Perkataanmu lebih sering mengiris hatiku, tapi menurutmu, itu hanya perasaanku, manakala kuungkapkan ganjalan ini. Iya, mungkin hanya aku yang kurang guyon, jadi sensi. Mungkin aku yang mendamba romantismu dalam pernikahan ini. Guyonanmu tentang aku yang suka menghabiskan uangmu, guyonmu yang tak beri aku uang belanja saat aku minta. Hanya perasanku katamu. Tapi kenapa hatiku begitu sakit, suamiku?
Maafkan aku jika ini hanya perasaanku. Aku berjanji, tak akan pernah menangis di hadapanmu, tak akan pernah meminta uang lagi padamu! Dan lihatlah, aku akan memiliki uang lebih besar dari gajimu!

Tulisan pada baris terakhir Mei menohokku makin dalam. Mei membuktikannya. Tanpa kenal lelah ia meminta ijinku untuk ambil beberapa les private setelah pulang ngajar. Aku mengijinkan, dengan catatan Bintang dibawa. Waktu itu umur Bintang tiga tahun. Dibawa naik sepeda, didudukkan di depan, berangkat les private. Pertama kali les private, Mei hanya memiliki murid dua. Seminggu dua kali. Bintang menikmati waktu bersama Ibunya setiap sore. Mengajar les, tak pernah rewel, bahkan anteng dengan mainannya. Hanya sesekali minta dipangku jika Bintang mengantuk. Pulangnya Mei pun menjadi lebih sore. Terkadang maghrib baru sampai di rumah kontrakan kami. Sejauh itu Mei tak pernah mengeluh.


Bersambung...


#OneDayOnePost
#MenulisTantanganCerbung

Share:

19 komentar

  1. Hebat, anaknya juga niru kesabaran ibunya. Ini cerita yang sangat menarik mba.

    ReplyDelete
  2. Luar biasa mbak Lisa... Sosok mei begitu inspiratif...

    ReplyDelete
  3. Itu sebetulnya si Mei udah jatuh cintrong ama suami, yah. Minta dipeluk katanya... hehe

    ReplyDelete
  4. Cinta tanpa syarat...tp suatu saat akan menuntut haknya

    ReplyDelete
  5. Ngalir banget bahasanya mba Lis...
    Ini true story ya... ???

    ReplyDelete
  6. Ngalir banget bahasanya mba Lis...
    Ini true story ya... ???

    ReplyDelete
  7. sedih aku
    aku bisa merasakan seperti apa perasaan mei..

    salut wanita hebat

    ReplyDelete
  8. Ini true story kah mbak? Karakternya kuat banget. Aaaah.. jagoan banget dirimu mbak.

    ReplyDelete
  9. Lis, aku curiga.
    Jangan2 iki awakmu dewe yo???
    Kepo 😂

    ReplyDelete
  10. Salut dengan kesabaran dan keteguhan hati Mei

    ReplyDelete
  11. Perjuangan seorang wanita yang sabarnya unlimited

    ReplyDelete
  12. Mbk Mei tegar yach...mampu menyimpan duka dalam kediamannya...
    Semangat mbk lisa.....

    ReplyDelete
  13. Kebanyakan lelaki emang kurang peka. #ups :D
    Ditunggu lanjutannya mbak..
    Seru nih, bahasan seputar prahara rumah tangga wanita. *kasi dua jempol*

    ReplyDelete