Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian10)

Memutar semua kenangan tentang pernikahanku dengan Mei, menghadirkan warna tersendiri dalam hatiku. Meskipun dalam catatan buku birunya, Mei banyak menuliskan kesedihan dibandingkan kebahagiaannya. Rentang waktu yang boleh dibilang bukan pernikahan seumur jagung, aku ingin bukan hanya dalam lima tahun ke depan atau sepuluh tahun ke depan, tetapi selamanya. Membenahi lubang-lubang dalam kapal rumah tangga kami dengan menutupnya. Tidak membuat lagi lubang lainnya dalam kapal, agar kapal ini tidak tenggelam.


Mei banyak melukiskan perasaannya, terluka dalam pernikahannya denganku, namun bertekad tetap memberikan yang terbaik sebagai istri. Aku yakin, seiring waktu Mei akan mencintaiku. Ah, tanpa cinta pun Mei sudah mampu menunjukkan baktinya kepadaku dengan baik. Tak perlulah cintanya. Aku tersenyum menanggapi perbincangan kecil dalam hatiku.

Satu lembar dalam catatan Mei membuatku melambung terbang tinggi.

Sesakit apapun yang pernah tergores, mungkin akan tetap membekas. Tapi yakin akan bisa memudar. Akan berusaha menjadi akar. Tak nampak dari luar keberadaannya, akan tetapi selalu memberikan kekuatan untuk batang agar tetap berdiri kokoh, menjadi sandaran, dan tetap kokoh hingga tak diperlukan lagi.

"Assalamu'alaikum," terdengar suara salam dari pintu depan. Sepertinya itu adalah suara tiga bidadariku. Mei istriku, Bintang sulung kami, dan Bulan adiknya Bintang. Segera kututup buku biru Mei dan kumasukkan lagi ke dalam laci berkumpul dengan benda simpanan Mei.

"Wa'alaikumussalaam..." jawabku beranjak dari kursi kerja Mei membukakan pintu. Bertiga bidadariku tersenyum mencium tangan kananku. 

Usai mencium tanganku, Mei menuju dapur. Meletakkan beberapa barang ke dalam lemari kecil. Aku mengekor di belakangnya. Dua bidadariku yang lain sudah asyik ada dalam kamarnya. Kupandangi wajah Mei yang terlihat dari samping. Masih tirus namun tetap terlihat ayu. Janji yang sudah kupatri kuat untuk tidak melukainya, kini bertambah kuat setelah membaca buku birunya. Aku memang bukan suami yang diharapkan Mei di awal pernikahan, tapi aku akan memintanya kuat bertahan ketika badai menghantam perahu kami.

"Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan Ibu?" tanya Mei risih aku perhatikan sedari tadi.

"Bu, jika nanti seiring perjalanan pernikahan kita, ada masalah besar yang menghadang, berjanjilah kepadaku, agar Ibu tetap bersamaku. Apapun yang terjadi."

Mei menatapku dan tersenyum menganggukan kepalanya. Kupeluk Mei sambil kubisikkan permintaan maafku.


"Maafkan Ayah, ya, Bu."
"Iya, Yah. Maafkan Ibu juga, belum bisa menjadi istri yang sempurna buat ayah."


Tamat

#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

8 komentar

  1. Happy Ending ..

    Udh tamat? Aku masih long iki Lis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heeh, pengen ganti judul Her. Tamatno sampe 20 nggonmu yo, aku penasaran

      Delete
  2. Wah happy ending mb.keren sekali duduk seperti ini tulisannya

    ReplyDelete
  3. Wah... sudah tamat, hehe diriku masih dalam perjalanan...

    Akhirnya si suami ucap maaf juga meski sebelumnya menyebalkan tingkat... hehe

    ReplyDelete
  4. Akhirnya Happy Ending. Meskipun saya masih benci sama tokoh utama prianya. Dari awal sampe akhir tetep aja egois. :D
    Good Job mbak Lisa. Ditunggu cerita selanjutnya..

    ReplyDelete
  5. Kupikir tadi Meinya akan meninggal.. Biar tragis mbak..hehehehe hukuman buat si ayah. Yah.. Pokoknya mbak Lisa keren banget.

    ReplyDelete