Setumpuk Kata dalam Sepi (bagian3)

Mataku terpejam, kututup sampul buku tebal biru catatan milik Mei, istriku. Aku merasakan luka setelah membaca buku ini. Tetapi waktu itu? Apakah aku merasakan luka Mei? Entahlah, saat aku melakukannya hatiku sepertinya tertutup oleh cinta. Apakah ini namanya cinta? Ya, aku sangat mencintai Mei, tapi mungkin tak pernah terlihat oleh Mei.


Aku memiliki cara unik memperlihatkan cintaku kepada istri, dan itu pernah ditanyakan oleh Mei. Kesungguhanku mencintainya. Tapi aku tak pernah meragukan pengabdiannya. Mei katakan padaku, "Aku memang belum bisa mencintaimu, Mas, namun aku akan selalu berusaha dan belajar mencintaimu. Mas bisa melihatnya, aku akan tetap menjadi istrimu yang terbaik."

Dan aku percaya itu. Sekian tahun mengarungi lautan kehidupan bersamanya, tak pernah sekalipun aku dibuat marah. Mei selalu mengikuti permintaanku, aturanku, dan semua keputusanku. Terdengar egois memang, tapi itulah watakku. Aku suka melihat Mei tunduk kepadaku, suaminya.

Sejenak setelah terdiam dalam kenangan, antara melanjutkan membaca isi hati Mei atau menyudahinya. Pasti isinya bercerita tentangku, dan perjalanan hidupnya. Mengingat buku biru ini masih tebal.

Sebelum melanjutkan atau tidak membaca buku ini, kupandangi bingkai foto yang tertempel di tembok, di atas meja kesayangan milik istriku. Terlihat di foto, wajah bidadari milikku dengan dua putriku, hasil pernikahanku dengan Mei. Wajah Mei masih memperlihatkan wajah ayu, senyum manis, dan sejuta kenyamanan yang dihadirkan untukku. Hanya saja, Mei tidak pernah gemuk. Tubuhnya tetap kurus, menurutku. Kuingat-ingat Mei tak pernah memiliki berat badan ideal, selalu kurang dari seharusnya.

Puas memandang foto Mei, mataku kembali beralih ke buku biru tebal. Kuputuskan untuk melanjutkan membaca.

Berpindah ke lembar ketiga, tertulis jauh melewati bulan demi bulan.

Penghujung akhir Juli 1997
Setahun lebih terlewati bersama orang yang masih belum bisa kucintai sepenuh hati. Kutunjukkan baktiku sebagai istri yang baik. Dan kau nampak bahagia, terlihat dari kemajuan perutmu yang kian membuncit. Hehehe...maaf suamiku.
Bulan ini, aku terlambat datang bulan. Apakah aku hamil? 

Awal Agustus 1997
Aku kembali terkoyak, hatiku menjerit dalam diam...
Kau suamiku, memintaku menggugurkan kandunganku. Kau memaksaku minum pil kecil itu, di depanmu, dan aku meminumnya sambil menangis. Kupinta dalam tangisku untuk calon anakku, kamu harus kuat, nak!
Kau pengecut suamiku, hanya karena aku sedang kuliah, kau tak inginkan anak ini lahir. Kau tak pernah mencintai hatiku, kau hanya mencintai tubuhku!!!

Ya Tuhan, lirih kusebut namaNya, sambil  kuusap wajahku. Aku ingat betul kejadian yang dituliskan istriku. Bagaimana gembiranya dia ketika test pack menunjukkan garis strip merah dua. Diperlihatkan kepadaku hasil tes urinenya.

"Mas, aku hamil."
"Hmm," hanya itu yang terdengar dari mulutku. Tanggapan tak jelas, seperti perasaanku yang sedikit kaget mendapatkan kabar kehamilan Mei.

"Kok Mas sepertinya tidak gembira?" tanya Mei menatap wajahku yang biasa-biasa saja.

"Jangan dilanjutkan ya, hamilnya. Sebaiknya dikeluarkan saja. Kamu kan sedang kuliah. Nanti saja hamilnya setelah lulus kuliah."

"Apa, Mas?"
"Keluarkan!" titahku seperti perintah seorang raja kepada prajuritnya. Kulihat Mei tertunduk, untuk kemudian menangis. Hanya itu yang selalu dilakukannya jika keinginannya mendapat pertentangan dariku. Dan itu tak pernah lama. Mei hanya akan diam dalam sedih, sebentar, dan akan kembali mengajakku bercakap. Mei begitu pandai dan rapi menyimpan suka maupun sedihnya.

Malamnya aku memaksa Mei minum pil kecil berwarna putih yang kubeli dari apotek untuk membuatnya haidh kembali, dan Mei sekali lagi menurut. Diminum dengan pengawasanku, dua pil sekaligus. Tinggal menunggu reaksi obat itu bekerja. Dua jam kemudian kulihat Mei merasakan kesakitan pada bagian perutnya. Ia merintih memegangi perut. Tak keluar keluhan apapun dari mulutnya. Hanya kulihat bening matanya mengalirkan kesedihan. Hingga akhirnya ia tertidur meringkuk di atas kasur dengan peluh membanjiri wajah ayunya. Sakit yang ditahan, sakit karena permintaanku untuk membuatnya haidh kembali.


Bersambung...


#OneDayOnePost
#TantanganMenulisCerbung

Share:

11 komentar

  1. Wah...jadi ikutan tegang nih Mba baca ceritanya.

    ReplyDelete
  2. Rasa-rasanya saya mengenal sosok itu. Pria paling menyebalkan sedunia, egois, serakah, kejam.
    Jd terbawa esmoni bacanya.😓😢

    ReplyDelete
  3. Prianya kejam banget mba. Pendeskripsian yang bagus.

    ReplyDelete
  4. Siapa sih suaminya itu, yuk keroyok aja, hhhaa

    Mbak Lisa canggih ihh...

    ReplyDelete
  5. Mba lisa pandai buat catatan2 kek gitu. Ajarin donk, mba itu timeline ya namnya?

    Kasian banget si Mei.. Jdi sedih, koq bisa dapt suami bejat gitu.. Hmnn

    ReplyDelete
  6. mbak liiiiissss keren. keren. keren. wait, aku mau baca lanjutannya.

    ReplyDelete