Kepingan LDR

Mataku kembali menatap kalender. Sudah berapa bulatan dengan tinta merah yang kubuat untuk menandai hari-hari yang melelahkan. Letih sangat, bukan fisikku, tapi lebih tepat hatiku. Hari ini kembali jariku melingkari angka, mencoba berhitung dengan keberuntungan. 

Ah, keberuntungan itu sudah enggan bersamaku, gumamku lirih. 

Kuletakkan tas ransel yang sejak masuk rumah mungil ini belum terlepas dari punggung. Tanganku bergerak membuka kulkas, mengambil botol air minum dingin dan menuangkannya dalam gelas. Habis kutenggak untuk mengusir dahaga selama perjalanan dari tempat kerja. 

Tubuh penat tanpa berganti baju terlebih dahulu, kusandarkan punggung ke kursi. Menatap kosong ke seluruh ruangan kecil bercat hijau muda, yang kusebut dapur. Sengaja kubuat kecil, bukan aku, tapi kita. Salah satu ruangan yang kita impikan. Dengan jendela dan pintu menghadap taman kecil dengan kolam ikan kesukaanmu. Jadi ketika kita makan, kita tidak melulu di dalam dapur. Bisa keluar dapur, menikmati kolam ikan sambil menikmati sore. Berdua, ya, berdua bersamamu.

Tanpa sadar aku menggeleng lemah. Jari tanganku mengusap titik-titik air yang terbentuk di luar gelas. Rumah kecil yang kita rancang, hanya menimbulkan nyeri tiada akhir.

Bergegas berdiri sebelum kepingan anganku lebih jauh. Retinaku juga mulai terasa panas. Mandi rasanya lebih menyegarkan dari pada melamun merangkai kepingan luka, putusku.

"Assalamualaikum..." ucap salam dari depan. 

Kaki yang hendak melangkah ke kamar mandi urung. Berbalik ke arah salam yang kudengar. Sepertinya aku mengenal suara itu dengan baik. Suara Ambar, adiknya mas Fian.

"Masuk, De. Sendirian?"

"Iya, Mbak, sendiri. Disuruh Ibu ngantar makanan buat ke sini. Kata Ibu, ini makanan kesukaan Mbak."

Tersenyum mendengar jawaban Ambar. Ibu, masih ingat saja makanan kesukaanku. Sambal tumpang, sejenis sayur terbuat dari tempe yang sudah semangit disantan, dengan aroma daun kemangi. Hmm, bisa nambah makannya.

"Wah, Ibu. Masih ingat kesukaanku."

"Sama Ibu juga minta Mbak ke rumah. Sudah lama nggak ke rumah. Jangan karena pernikahan dengan mas Fian batal, Mbak nggak mau ke rumah lagi."

Pelan yang dikatakan Ambar. Tapi cukup membuatku tertegun. Benar kata Ibu, dua bulan ini aku belum ke rumah ibu.

"Iya, De, nanti selepas isya, aku ke rumah."

"Bener ya, Mbak. Ditunggu. Kalau bisa nginep ya," Pinta Ambar sambil memegang tanganku. Berharap aku memenuhi keinginannya. 

Aku menjawabnya dengan senyuman. Tak bisa menolak, namun juga belum tentu mengiyakan. Hanya ingin membuat Ambar tenang.

Bersambung...

#OneDayOnePost

Share:

6 komentar