Terpenjara dalam Diam (bagian 1)
Adi menatap telefon yang dipegangnya. Tarikan nafas yang berat ia hembuskan dengan perlahan. Beban berat ini dirasakan makin terasa berat setelah percakapannya di telefon dengan adiknya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Perkataan adiknya cukup menamparnya.
"Mas Adi, aku mau meminjamkan modal ke mas. Tapi dengan satu syarat. Tinggalkan Yogya. Merantaulah ke sini atau ke Jakarta. Berapapun modal yang Mas butuhkan, akan aku siapkan!"
Kenapa De Wiwik memberikan pilihan yang sulit? Meninggalkan Yogya berarti meninggalkan anak dan istrinya. Tak mungkin ia lakukan. Tapi ia juga butuh modal untuk usaha. Tidak mungkin hanya seperti ini terus. Tanpa berbuat apapun.
Adi menggelengkan kepalanya. Diisapnya kembali rokok putih yang tadi disimpan di atas meja. Adi menyandarkan tubuhnya di sofa. Matanya menatap langit-langit rumah. Kaki kanan ia silangkan di atas kaki kirinya. Pikirannya mengembara mencari jalan keluar dari permasalahan yang memenjara. Wajahnya sudah nampak kusut seperti kertas yang diremas.
Pelan dia hembuskan asap dari mulutnya. Mengepul membentuk gumpalan putih.
"Ya Allah, sulit nian keputusan yang harus dipilih," pelan Adi berucap. Jika ia memilih meninggalkan Yogya, apa kata istri dan keluarga besar istrinya? Jika ia tetap bertahan dengan kondisi seperti ini, ia merasa makin tak dihargai. Sebagai laki-laki dan kepala keluarga, nyaris tak pernah ia rasakan.
"Aku ingin Ayah meneruskan usaha Bapak. Tak perlu mencari pekerjaan lagi." Ucap Intan istrinya kala itu. Ketika ia diminta keluar dari pekerjaan yang ia geluti. Meskipun pekerjaannya memberikan gaji jauh di bawah gaji Intan, ia bahagia. Bekerja sesuai keahliannya, dengan berpikir sambil mengumpulkan modal.
Sekarang sudah tiga bulan Adi di rumah. Menjadi seorang mpu, membuat alat-alat pertanian. Keahlian yang sama sekali tidak ia sukai. Beberapa kali tangannya harus terkena percikan api, melepuh, kering, dan akan melepuh lagi setiap selesai membuat senjata.
Pernah Adi mengeluhkan hal itu ke Intan.
"Bun, Ayah cari kerja lagi ya?"
"Buat apa sih, Yah? Udah nggak usah cari kerja. Kalau bantu Bapak, Ayah bisa rapi-rapi rumah, jagain anak-anak. Kalau Ayah kerja lagi, siapa yang jaga anak-anak?" Jawab Intan dengan sedikit ketus. Wajahnya nampak kesal setiap Adi meminta ijin ingin kerja atau buka usaha.
Mulut Adi langsung terkunci. Dirinya serasa tak berkutik setiap Intan berbicara. Bukan apa-apa, Adi hanya tak ingin ada ribut ataupun adu mulut. Kalau Adi meladeni omongan Intan, keluarga besar Intan pasti akan ikut campur. Jadi lebih baik ia diam. Agar omelan Intan tidak makin panjang dan lama.
Bersambung...
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
13 komentar
Pilihan yang sulit... Demi anak-istri plis jangan pindah ke Jakarta (eh, lho kok?)
ReplyDeletewelah nggak jadi.. cerita anak tho mbak..
ReplyDeleteEmmm... Mas adi harus tegas dong. Kan kepala keluarga.. Gemes ihhh
ReplyDeletePasti seru nih Mba...
ReplyDeletePasti seru nih Mba...
ReplyDeleteAdi lagi Gegana ~ gelisah, galau melanda.....cie...ga yg single tok...
ReplyDeleteDilema yg dah nikah makin berat nich...
Bingung milih yg mana. Terserah mas Adi aja lah.
ReplyDeleteEh..hehehehe. 😀😀😀
ketika menikah, justru itulah awal.mulanya babak.baru, cieee, apa sih yaaa
Deletepilihan dalam diam...
ReplyDeletehehe, nggeh niki pak
Deletehehe, nggeh niki pak
DeleteKeren Lis.
ReplyDeleteSaranku, lebih tampilkan nuansa Jawanya, identik dg Mpu atau Pande tukang pembuat alat2 dr besi
Si Adi mah suami takut istri ya... hehehe
ReplyDeleteTegas atuh. Tapi jangan asal tegas saja, ya. Harus bijak pula... :)