Ketika di Titik Terendah part 2
Mendengar penjelasan
mamang, tubuhku semakin lemas. Aku terisak, mama kakak Rara sudah memelukku,
mencoba menguatkan.
“Tadi saya
sampe pukul 19.00, Pak. Saya letakkan motor saya di sebelah mobil. Saya tutup
pagarnya seperti biasa. Motor juga saya kunci leher,” lemah saya menjelaskan. Berarti
cepat sekali proses menghilangnya si merah dari saya datang dan mamang yang menyadari
motor saya sudah tidak ada di tempat parkir.
“Saya antar ya,
Bu, pulangnya,” tawar papanya kak Rara.
Aku menggeleng,
“Saya sudah teleppon abinya untuk menjemput, Pak.”
Tadi memang
sudah menghubungi suami agar menjemput. Ketika beliau bertanya kenapa harus
dijemput, hanya kukatakan, jemput saja!
Aku hanya
menangis pelan dan dengan cepat menyusutnya. Suami datang dua puluh menit
kemudian. Orangtua murid memberikan penawaran untuk memakai motornya saja. Beliau
tahu tugas mengajarku jauh. Apalagi saat kejadian, aku harus menempuh
perjalanan ke sekolah sejauh 57 km karena jalan yang biasa dilewati longsor. Harus
berputar lewat Jonggol.
Jika menggunakan
mio biru, motor itu sudah terlalu tua diajak nanjak, sudah tak kuat menemani
untuk mendaki gunung. Sedih dan bingung. Suami juga nampak bingung.
“Pakai saja
motor saya, Bu. Gunakan selama yang Ibu butuhkan. Sebagai ganti motor Ibu yang
hilang di rumah saya.” Kata papanya kak Rara. Suami menggeleng.
“Ini musibah,
bukan salah Bapak. Kebetulan hilangnya di rumah kak Rara. Nantilah saya
pikirkan, bagaimana ke sekolah untuk ummi,” jawab suami. Kedua orangtua kak
Rara mengangguk. Sekali lagi beliau meminta maaf.
***
Ini adalah
kejadian tiga tahun lalu. Kehilang kendaraan yang belum ada setahun menemani
saya mendaki gunung ke sekolah. Sedihkah saya? Luar biasa sedih. Saya menangis
semalaman. Menganggap ini adalaha teguran kepada saya karena saya kurang
beramal atau teguran atas kesalahan lainnya. Pokoknya semalaman nangis sambil
meminta maaf ke suami dan saudara-saudara.
Esok paginya
meminta maaf kepada teman-teman semua. Tapi esok paginya saya sudah tidak
menangis lagi. Saya harus kembali memikirkan dengan cara apa saya bisa menuju
sekolah kembali. Berdiskusi dengan suami, akhirnya meminjam sepeda motor
orangtua kak Rara selama saya belum bisa membeli yang baru. Saya tidak mau
memakai selamanya, meskipun mereka sudah memberikannya kepada saya. Sebagai pengganti
atas motor saya yang hilang di rumahnya. Sekali lagi ini musibah yang kebetulan
terjadi di rumah kak Rara.
Sering saya
berkelakar dengan rekan guru, kenapa malingnya tidak menyisakan apapun buat
saya. Padahal di motor saya ada helm yang saya eman-eman, ada sekresek dagangan
kerudung dan kaos kaki. Juga jas hujan, sarunng tangan, dan gelas tupper yang
saya letakkan di depan. Bercanda saya terkadang juga kelewatan, kenapa
malingnya nggak minta BPKB punya saya sekalian, jadi jual motornya bisa mahal. Hehehe...
itu hanya untuk mengobati kesedihan saya waktu itu.
Pikiran saya
mengatakan, mungkin yang meminjam motor saya tanpa pamit memang benar-benar
membutuhkan untuk mencukupi kebutuhannya. Semoga bermanfaat dan jangan
mengambil motor orang lagi, itu harapan saya. Pasti ada hikmah di balik
semuanya.
Sekian cerita
saya dan terima kasih.
#OneDayOnePost
#TantanganMakRai
Tags:
Cerpen
1 komentar
Inspiring sekaliii mbaaa... cerita ini bener2 bisa menyeretku masuk ke situasi saat itu, sedihhh banget. Terimakasih atas ceritanya, Mba Lisa .. Terimakasih sekaliii... :)
ReplyDelete