Manajemen Kata dan Hati



"Kenapa nggak coba ambil pembantu buat ngasuh yang kecil, Mbak?" kata tetangga berinisial A.



Tetangga B menjawab, "Wah, bisa berabe kalau saya ambil pembantu atau pengasuh. Apalagi kalau pengasuh atau pembantu tersebut masih perawan. Bahaya dong! Kan jadi berdua sama ayahnya bocah."

A mengkerutkan dahinya. Dalam hati ia berpikir, lha maksudnya itu cari pengasuh buat anaknya, bukan buat bapaknya. Si A ini mencoba mencarikan solusi untuk si B, di mana kondisi B tinggal berjauhan dengan suami dan anaknya karena tugas. Ketika suami si B ini sakit, otomatis ia akan pontang panting harus bolak balik menempuh jarak yang tidak dekat.

Si A ini berharap jika ada yang mengasuh anak B, maka ayahnya atau suami si B tidak perlu lelah mengasuhnya. (Karena itu alasan B ketika berbincang kenapa suaminya sering sakit). Si A juga berpikir, pengasuh ini kan untuk anaknya, sedangkan suaminya pasti juga kerja. Bagaimana bisa di rumah berdua? Bisa disiasati juga kan, dengan tidak menginap atau menggunakan jasanya sampai sore.

Pernahkah mengalami hal seperti di atas? Maksud baik yang ingin membantu justru tidak bisa ditangkap dengan baik oleh orang yang dituju. Beruntung jika tidak diperpanjang dengan hal lain yang bisa memicu konflik lainnya.

Terkadang kita sering dihadapkan dengan situasi yang tidak sesuai dengan harapan. Maksud lisan yang kita katakan ditangkap berbeda maknanya oleh lawan bicara kita. Lalu bagaimana jika ini terjadi?

Tetap berpikir positif, agar hati tidak ikut ruwet. Anggaplah lawan bicara yang kita ajak bercakap sedang nggak fokus. Jadilah salah tafsir.

Jika sampai terjadi salah paham yang berujung dengan sedikit adu urat, lekaslah meminta maaf dan mengklarifikasi. Bisa jadi suasananya kurang tepat ketika berbincang tadi.

Nah, semoga dengan saling memahami dan belajar lagi mengolah kata untuk menyampaikan maksud, tidak akan menimbulkan salah paham berkepanjangan.

#KabolMenulis7
#Day-27

Share:

0 komentar