Secangkir Maaf dalam Kopi

Undangan dengan warna biru, berpita warna senada, menghias indah. Tangannya gemetaran ketika membaca nama mempelai yang tertulis di undangan. Benarkah yang ia baca? Ataukah matanya mulai rabun?

Kembali matanya membaca huruf demi huruf dari nama yang terangkai. Benarkah ini? Tak mendengar kabarnya secara intens selama hampir lima bulan, tiba-tiba undangan ini yang mampir. Kenapa tak ada pemberitahuan sebelumnya? Setidaknya sinyal kepadanya bahwa hubungan mereka harus berakhir. Dan tentunya bisa dibicarakan baik-baik. 

Nanar mata Fatan membaca tanggal pernikahan yang tertulis. Masih seminggu lagi. Masih ada waktu, pikir Fatan. Sebelum janur kuning melengkung, ia akan menanyakan kenapa tanpa kabar Hana memilih menikah dengan pria lain. Siapa tadi nama mempelai pria yang dibacanya? Bima? Siapa dia? Fatan tak mengenalnya. 

Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja kecilnya. Memencet nomor sahabatnya Hana, Sinta.

Terdengar nada menunggu. Mungkin Sinta masih di kantor. Dicobanya sekali lagi. Kali ini usahanya berhasil. 

"Inget aku, Mas, kok tumben nelfon?" spontan Sinta menjawab telefon Fatan tanpa membalas ucapan salamnya.

Di seberang, Fatan hanya bisa garuk kepala yang tak terasa gatal. Setali tiga uang Sinta dengan Hana. Nyaris memiliki persamaan sifat. Juteknya suka keluar di saat yang tidak diinginkan.

"Sin, aku minta penjelasan darimu!" langsung Fatan menyampaikan maksudnya.

"Benarkah Hana akan menikah?" kalimat barusan yang keluar sungguh menyakitkan hati Fatan. Pelan tapi bergetar suaranya. Tanda ia menahan emosi.

Sinta tertawa mendengar pertanyaan Fatan.

"Hei, kemana aja selama ini? Hana mau menikah, Mas baru muncul. Kemarin-kemarin Mas kemana saja? Saat Hana begitu mengharap kehadiran Mas, Mas Fatan justru menghindar kan?" tanpa memberi kesempatan kepada Fatan untuk menjawab. Sinta mengungkapkan kejengkelannya. Bagaimana Fatan membiarkan Hana tanpa kejelasan apa-apa, bagaimana Hana harus terseok-seok saat berusaha menganggap perlakuan Fatan mungkin hanya karena banyak masalah, hingga akhirnya sahabatnya benar-benar hampir putus asa. Lima bulan tanpa memberi kabar dengan intens, hanya sesekali menjawab bbm atau wa Hana, itupun dengan jawaban singkat dari Fatan.

Fatan terdiam. Oh, Tuhan, beginikah wanita? Tak pernah bermaksud meninggalkan Hana, wanita yang sejak lama bertahta di kerajaan cintanya, ia hanya butuh waktu sendiri dulu. Kenapa harus berakhir begini? Fatan begitu mencintai Hana, dan tentunya ingin dialah yang akan menjadi suami Hana. Bukan orang lain.

"Aku akan ke Bogor. Naik kereta sore ini. Akan kutemui Hana dan meminta penjelasan darinya. Aku mencintainya, Sin. Aku ngaku salah, tapi jangan meninggalkanku dengan cara begini," Fatan menjawabnya dengan pelan. Nyaris tak terdengar oleh Sinta.

"Mau apa..." terputus suara Sinta karena telefon sudah ditutup oleh Fatan. Sinta hanya menggelengkan kepalanya. Hana perlu tahu ini. Senyum terlukis dari wajah Sinta.

**********
"Kita kelewatan nggak sih?" tanya Hana usai Sinta menceritakan telfon dari Fatan. Setiap mengurai cerita tentang lelaki itu, Hana selalu menampakkan wajah muram. Diacuhkan oleh Fatan tak membuat Hana mudah melupakannya. Sinta segera memeluk Hana sebelum telaga itu menumpahkan airnya. 

"Nggak! Kita nggak kelewatan kok. Kalau benar ia mencintaimu, maka ia benar akan datang besok, ke sini. Jika tidak," Sinta mengangkat bahunya sebelum melanjutkan.

"Kamu harus melupakan mas Fatan, selamanya. Dia tak pantas untukmu."

Hana mengangguk. Ini seperti hitungan matematika. Menunggu peluang yang akan diambil oleh Fatan. Jika perhitungannya tepat, maka semua akan berjalan sesuai rencana. Andai Fatan benar datang menggunakan kereta, pagi hari ia sudah tiba di Jakarta. Jakarta Bogor bukan jarak yang jauh. Paling lama siang Fatan akan sampai di kost an Hana. 

Tapi jika tidak? Berarti prasangka Hana tentang Fatan selama ini benar. Kebisuannya adalah upayanya untuk menghindar dari Hana. Meski sebelumnya Fatan mengatakan, ia butuh waktu sendiri. Namun haruskah dengan cara seperti ini? Nyaris tak ada komunikasi. Yang biasanya hampir tiap hari saling berkabar, tiba-tiba berubah. Tentu saja membuat Hana bermain dengan banyak prasangka. Fatan juga tidak pernah membantahnya jika Hana mengatakan keraguannya. Menjelaskan pun tidak. Dan menunggu waktu hingga esok siang itu adalah hal yang paling menyiksa menurut Hana dan Sinta.

************

Matahari siang sudah digantikan oleh cahayanya yang mulai redup oleh waktu yang bergeser dari putarannya. Dua sahabat yang menunggu kedatangan Fatan mulai cemas. Hitungan yang mereka perkirakan kemarin ternyata meleset. 

Sinta mulai sibuk menenangkan Hana yang sudah berurai tangisan sejak siang tadi. Fatan yang ditunggu tak ada kabarnya juga. Untunglah hari ini Sabtu, mereka leluasa menunggu Fatan. Melihat kondisi Hana, Sinta berjanji akan menemaninya sampai esok pagi. 

"Sudah ya, Han, ingat janjimu." Sinta mengelus pundak Hana. Hana mengangguk.

"Biarkan aku menangis lagi kali ini, Sin. Agar esok aku sudah bisa tersenyum lagi. Tanpa perlu mengingat  mas Fatan yang pernah hadir di hidupku." bahu Hana kembali terguncang. Menangis memang cara paling ampuh meredakan duka. Sinta akhirnya memeluknya kembali. Matanya mulai ikut berair. Mengingat bagaimana Fatan dan Hana bisa sejauh ini. Tapi harus selesai dengan cara seperti ini. 

"Menangislah kalau itu buatmu lega." Sinta berucap pelan. Tangis Hana memilukan hati yang mendengar. Menggambarkan begitu luka hatinya akan penantian Fatan yang membisu. 

Cukup lama Hana melepaskan sedihnya. Meratap pilu berada di pelukan Sinta. Sore sudah tergantikan gelap. Mereka hanya membisu dalam kamar Hana. Sibuk dengan pikiran masing-masing yang mengembara. Hana berbaring di kasur, Sinta hanya duduk di tepian ranjang. Menatap majalah wanita yang tak sungguh-sungguh ia baca. Sedangkan mata Hana terpejam. Bukan tertidur, hanya sekedar memejamkan mata.

Sinta mendengar suara pintu diketuk seseorang. Hana tidak mendengarnya. Terbukti mata Hana masih terpejam.

Kamu saja yang bukakan pintu," kata Hana sebelum Sinta sempat bertanya. Sinta terkekeh. 

Berdiri di depan pintu kamar kost Hana. Lelaki bertopi dengan ransel di punggung. Kaos warna hijau garis putih dipadu dengan celana selutut. Sandal gunung melindungi kakinya. Sinta menatapnya dari atas hingga ujung kaki. 

"Hana ada, Sin?" tak peduli bengongnya Sinta.

"Naik siput ya, jam segini baru muncul." masih dengan bengong Sinta berkata dengan jutek.

"Nanti aku jelaskan. Aku butuh Hana sekarang. Mana dia?"

"Han..." Sinta memanggil Hana yang ternyata sudah ada di belakang Sinta. 

"Kita perlu bicara, Saayy," tamu yang tak lain adalah Fatan langsung menarik tangan Hana untuk duduk di teras. Hana hanya mengekor. Sinta ikut duduk di depan mereka. 

"Mau bicara apa, Mas?"

"Batalkan pernikahan itu, Yank. Menikahlah denganku. Aku nggak rela kalau Say menikah dengan orang lain."

Hana menatap wajah Fatan. Ada cemas, takut tergambar dari wajah lelaki yang dirindukannya selama ini. Wajah penuh penyesalan nampak pula di samping wajah lelah setelah menempuh Jogja Bogor.

"Kau tak pernah mencintaiku, Mas. Bahkan merindukanku pun tidak. Kalau kau merindukanku, pastilah Mas akan sering berkabar padaku. Bukan mendiamkanku hingga aku menyimpulkan sikapmu." panjang lebar Hana mengungkapkan perasaannya. 

Fatan meraih tangan Hana, menggenggamnya. Ingin rasanya Fatan memeluk Hana, begitu dilihatnya mata bening itu mulai berair. 

"Aku mencintaimu, Hana sayang. Bahkan aku selalu merindukanmu. Maafkan aku yang kamu anggap hanya diam beberapa bulan ini. Aku ikut terpuruk setiap membalas wa mu, dan saay selalu ragu denganku. Aku jadi minder, merasa tak bisa membuatmu bahagia."

"Tapi bukan dengan mendiamkanku, Mas. Mas bisa bantah semua perkataanku. Agar aku tak selalu hidup dalam prasangka buruk. Memangnya dengan mendiamkanku Mas yakin sudah membuatku bahagia?" Hana mengatakan di sela-sela tangisnya. Fatan makin tersayat hatinya. Begitu terlukanya wanita di hadapannya, hingga air matanya masih mengalir. 

"Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku," Fatan makin erat menggenggam tangan Hana. Ditariknya tubuh Hana dalam pelukannya. Membiarkan Hana menangis. Sinta ikut menangis melihat keduanya dalam kesedihan. Fatan nampak masih mencintai Hana, begitu pula Hana. Sinta menarik nafas, harus diakhiri permainan ini, putus Sinta dalam hati.

"Aku ke dalam dulu buatkan kopi buat Mas Fatan," putus Sinta dijawab anggukan oleh Hana. Tak tega ia berlama-lama bersama mereka.

"Mas, aku mau ngomong sesuatu padamu. Maafkan kami sebelumnya." Kata Sinta setelah meletakkan kopi di hadapan Fatan. 

Pandangan Fatan beralih ke Sinta. 

"Tapi, minum dulu kopinya, Mas."

Fatan mengangguk, mengambil cangkir kopi. Di bawah cangkir terdapat kartu kecil bertuliskan maaf. Fatan mengambil kartu tersebut. Dari matanya ia meminta penjelasan kepada Sinta. 

"Tenang, Mas. Akan aku jelaskan, tapi minum dulu kopinya." tambah Sinta mencoba mengalihkan penasaran Fatan. Fatan pun menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Hana sudah terlihat tenang. Segaris senyum terlihat dari bibirnya. 

"Tolong jelaskan ini!" pinta Fatan menunjuk pada kartu kecil.

" Mas, sebetulnya undangan yang Mas terima itu hanya undangan palsu. Kami, terutama aku hanya ingin tahu sejauh mana Mas sebetulnya serius dengan Hana. Mas boleh marah. Tapi aku sudah nggak tahu caranya bagaimana agar Mas keluar dari kediaman yang membisu." jelas Sinta.

"Jadi..."

"Ya, aku ngerjain Mas. Hana tidak menikah dengan laki-laki yang kutulis dalam undangan itu. Hana masih menunggumu, dan hanya ingin menikah denganmu. Tuh, lihat badannya, lima bulan Mas cuekin, turun tuh berat badannya!" penjelasan Sinta disambut tawa kecil Hana.

Fatan bergantian memandang kedua wanita ini. Ada perasaan lega. Undangan itu hanya undangan palsu. Wanita yang dicintainya tetap akan menjadi miliknya, bukan orang lain.

"Oh, Tuhan...Kalian yaaa..." Fatan berseru sambil menutup wajahnya.

Sinta makin tertawa keras demi melihat wajah Fatan. Wajah Fatan yang tadinya kalut, nampak mulai gembira. 

Fatan memeluk Hana dengan erat. Dan berbisik lembut, "Menikah denganku, ya. Aku akan segera melamarmu sebelum kedua kali kalian ngerjain aku."

Hana membalas pelukan Fatan. Bahagia yang membuncah dalam rongga dadanya. Sinta bertepuk tangan, gembira melihat kedua sahabatnya bahagia.

#OneDayOnePost
#TantanganBaperlicious

Share:

11 komentar