Setumpuk Maaf di Balik Kebisuan

Hhhhhgg..Nata menggeram kesal dengan bunyi telefon dari HPnya. Berdering seolah tak ingat waktu. Matanya baru saja akan terpejam setelah setumpuk tugas dari kantor ia selesaikan. Jarum jam sudah menepi ke angka 02.20. Dan ia harus tidur. Kalau tidak, besok pagi seluruh jadwalnya bisa berantakan.

Ringtone lagu Padi kembali terdengar. Nata menutup telinganya dengan bantal. Tapi tetap saja dering telefon itu tak mengerti kondisi matanya. Akhirnya dengan malas dipencetnya tombol terima di HP.

"Siapa sih, malam-malam telfon? Nggak bisa nunggu besok apa?"

Terdengar suara tawa khas milik Andin, sahabatnya. Iseng banget nih bocah, gangguin tidur Nata. 

"Lu, Ndin. Besok aja yaa kalau mau curhat. Gue mau tidur nih. Ngantuuk, cos tadi jam satu mata gue baru merem." Sambil menahan kantuk, Nata nyerocos duluan. Takut keduluan bawelnya Andin bisa bahaya. Alamat nggak akan tidur kalau Andin sudah bicara.

Kembali Andin terkekeh. 
"Iya deh, lu tidur aja lagi. Besok gue ke kost an lu, ya. Siapin ember yang gede!" kata Andin menutup telefonnya.

Nata menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur. Meneruskan hasratnya untuk tidur. Tapi matanya justru enggan terpejam. Melotot menatap langit kamar. Pikirannya terbang ke Andin sahabatnya. Andin memang suka iseng, menelfon malam-malam dan sekedar cerita ringan sudah sering dilakukan. Gokil habis-habisan dengannya selalu menyenangkan.

Nata bergumam sendirian. Memikirkan Andin membuat matanya tetap terbuka. Suara Andin tadi sedikit serak. Pasti ada hal penting.

Nata mengambil handphonenya. Ditekan nomer milik Andin. Langsung diangkat oleh Andin, terdengar dari suaranya.

"Katanya lu mau tidur?"

"Nggak bisa tidur jadinya. Takut lu jadi hantu trus nyekik gue karena gue tolak cerita. Nah, sekarang lu cerita dah, dari pada lu nangis sendirian gitu. Gue temenin kalau lu mau nangis."

Yang terdengar justru suara isak Andin. Nata hanya terdiam. Tak mungkin menyediakan bahu saat hanya bisa mendengar lewat telefon. Lima belas menit berlalu, Andin mulai tenang. Terdengar dari tarikan nafasnya. 

"Masalah sama masku, lagi, ya?" pelan Nata bertanya. Tak biasanya Andin menangis seperti ini jika bukan karena ulah Mas Candra, sepupunya. Andin orang yang cuek, masalah apapun tak akan membuatnya baper. Kecuali satu hal, masalah dengan belahan hatinya. 

"Aku dilarang WA lagi sama masmu. Nggak usah WA kalau hanya ngajak debat. Aku sebeeel sama mas Candra. Kalau bukan aku yang kirim WA duluan, mana pernah ia duluan nanya kabarku? Seolah-olah mas Candra nggak butuh aku. Atau memang sudah nggak butuh aku sejak Desember kemarin?" cerita Andin berhenti, ia menarik nafas, bersiap melanjutkan ceritanya. 

"Gue masih sakit hati saat mas Candra ngilang bulan Desember kemarin. Diemin aku, nyuekin aku, nggak balas setiap aku WA. Kalau mau putus, bilang. Tapi ini kan enggak ada keputusan. Tiba-tiba nggak ada kabar, lalu muncul lagi. Hilang lagi setiap aku tanyakan kenapa nggak balas WA ku. Jika marah denganku, mas Candra juga betah dengan diamnya. Tak hanya sehari dua hari. Awet berhari-hari bahkan berminggu-minggu."

Nata mendengarkan cerita Andin. Ia paham benar bagaimana Andin terseok saat mas Candra menghilang tanpa sebab. Hanya kalimat sedang ada masalah, menyebabkan Andin tak bisa mendapat kabar Candra. Berusaha menghubungi setiap hari, menyempatkan waktu untuk sekedar berhalo ke Candra. Namun lebih sering Andin harus meneteskan air mata sedih. Tak pernah mendapat balasan. Setiap ditanya ada apa, Candra juga tidak memberikan jawaban. Hanya diam hingga Andin merasa putus asa. Merasa bahwa ia diabaikan oleh Candra.

Keadaan ini diperparah ketika ulang tahun Andin. Mas candra hanya mengucapkan ultah melalui WA. Tak berusaha meneleponnya seperti biasanya. Candra makin betah dengan kebisuannya, kebiasaan menelfon Andin tak pernah dilakukannya lagi. Bahkan di hari yang dianggap istimewa bagi Andin.

"Nata, lu tidur ya?" tanya Andin karena hanya dia yang bercuap-cuap tanpa ditimpali suara Nata.

"Gue dengerin lu, kok. Teruskan ceritamu!" jawab Nata memangkas ingatannya tentang Candra.

"Gue makin kesel sama masmu, Nat. Kemarin dia bilang kalau kartunya hangus, tidak bisa digunakan lagi. Padahal aku ingin mendengar suaranya. Makin lengkap rasa jengkelku. Merasa banget kalau mas Candra memang tak ingin lagi menelfonku. Berkirim kabar padaku saja mungkin terpaksa karena aku yang ngeyel selalu WA duluan."

"Ah, mas Candra, selalu saja bikin ceweknya nangis. Cueknya itu loh, kebangetan." gregetan aku membalas curhatan Andin. Gemes dan kesel bercampur. Harusnya sesekali mas Candra perlu menjadi wanita, menjadi Andin, agar tahu bagaimana rasanya dicuekin.

"Lu sekarang maunya gimana, Ndin?"

"Karena masmu yang minta agar aku tak WA duluan, akan aku lakukan. Aku harus kuat!" jawab Andin.

"Nggak bakal kangen kah? Pasti nanti kalau kangen lu bakalan WA duluan ke Mas Candra seperti biasanya." seloroh Nata yang hafal bagaimana Andin. Sahabatnya ini nggak pernah bisa ngambek lama. Akan mulai duluan berkirim kabar atau menanyakan kabar. 

"Hehehe..." Andin terkekeh mendengar selorohan Nata. "Kayak e kali ini aku ikutan diem deh. Nggak mau ngalah lagi. Aku sudah terlalu sering ngalah. Mana pernah masmu ngalah dan gigih meminta maaf kalau salah." lanjut Andin.

Benar kata Andin. Setiap mereka berantem, Andin selalu memulai duluan. Bertanya kabar dan meminta maaf. Jika Andin hanya diam, mas Candra lebih sering juga ikut.diam. Tak berusaha gigih. Sekali mencoba dan kalau Andin masih ngambek, dia akan ikutan diam sampai Andin hilang ngambeknya. Padahal wanita sesekali perlu juga dirayu agar tak larut dalam marahnya.

Mungkin memang gengsi dan egois bagi laki-laki memulai sebuah kebisuan. Memilih ikut diam dengan dalih tak ingin perparah keadaan. Padahal jika memang cinta, kenapa harus ada gengsi untuk mencairkan sebuah kekakuan?

"Kalian udahan sajalah, dari pada selalu berantem hanya masalah sepele. Gue tahu, kalian saling cinta, saling nggak bisa jika salah satu tak berkirim kabar. Udahan saja, ya?" 

Andin terdiam ditanya seperti itu oleh Nata. Masak sih, harus dia lagi yang memulai? Sedangkan Candra sudah melarangnya berkirim WA. Meskipun Andin yakin, mungkin itu emosinya sesaat karena ulahnya juga. Selalu mengungkit masalah kediamannya, sedangkan Candra sudah tak ingin membahasnya. Sifat wanita, jika kesenggol hal sepele, maka ia akan terus teringat.

"Aku nggak mau udahan. Aku masih sayang sama mas Candra," pelan Andin menjawabnya. 

Nata tertawa mendengar jawaban Andin.

"Ya udah, mulai sono lu duluan! Gue mau lanjutin mimpi gue." jawab Nata sambil menguap. Ditutupnya telfon dengan Andin. Mereka hanya gengsi meminta maaf duluan. Dan Nata kembali terpejam melanjutkan mimpinya. Berharap besok Andin dan mas Candra sudah kembali akur seperti semula. Membayangkannya dalam mimpi, membuat Nata tersenyum dalam tidurnya.

#OneDayOnePost

Share:

7 komentar