Macaroni'n Cheese

Hasil gambar untuk gambar makaroni cheese dalam roti cone
image:google

“Kenapa sih, kalau masak selalu pedas? Aku kan nggak suka pedas!” ketus mengatakannya sambil mulut menahan rasa cabai yang tak hilang juga meski sudah menghabiskan dua gelas air bening.

Martha hanya tertawa melihat Vio masih mengusir rasa pedas. “Salah siapa masih nekat makan. Aku sudah bilang, ini pedas, Vio.”

Masih ber hu ha hu ha... Vio menjawab. “Tapi kamu menggodaku untuk mencobanya.”

“Idih, siapa coba yang menggodanya. Kamu sendiri yanng tergoda.” Balas Martha tak mau kalah.

Dengan kesal Vio memukul lengan kanan Martha yang sengaja selalu memasakkan makanan dengan cabai tak pernah memakai ukuran perutnya. Padahal dia tahu, Vio tak kuat dengan pedas. Namun sepertinya Martha tak pernah lelah mengajaknya untuk selalu mencoba lagi bereksplorasi dengan cabai.

Martha hanya tertawa kecil. “Ini kan resepmu, Vio. Tapi aku tambah saja dengan cabai.” Sahut Martha cuek. Vio makin gemas dibuatnya.

“Auk ah gelap!” Vio bergegas ke dapur mengambil gula pasir dan air hangat untuk menetralisir rasa yang baginya seperti monster.

“Vio, makaroni ini harus kita eksekusi lebih baik lagi. Jangan hanya diwadahi dalam mangkok saat kita akan menjualnya.” Masih saja Martha berkata-kata meskipun Vio sudah tidak di sampingnya.

Vio menyahut dengan deheman. Ide untuk membuka usaha ini adalah ide berdua. Membuat makaroni dengan campuran cheese yang pas di lidah tentunya bukan usaha mudah. Rasa sudah kami dapatkan dipadu dengan berbagai varian rasa sepertinya sudah cukup membuat menu yang kami tampilkan akan berbeda. Hanya saja menurut Martha, wadahnya harus berbeda dengan yang lain. Kalau sama menggunakan mangkok, rasanya tidak akan memiliki nilai jual. Itu diskusi kami tadi malam.

“Jadi, mau pake wadah apa?’ tanya Vio setelah mengelap tangannya dengan tisu. Duduk kembali di hadapan Martha. Percobaan makaroni cheese dengan varian rasa cabai rawit, keju, dan saus bolognaise ternyata cukup berhasil. Terbukti Martha menandaskan sampai tidak besisa.

“Kau doyan atau lapar?” tanya Vio membolak-balik mangkok kecil.

Martha hanya nyengir. “Asli enak, Vio. Hanya saja kalau sesuai seleramu, kurang pas. Makanya tadi aku variasikan dengan cabai rawit. Enak kan?”

Vio membenarkan. Jika hanya mengandalkan saus bognaise, rasanya memang kurang. Harus ditambahkan dengan irian cabai rawit. Barulah enak. Untuk yang menyukai rasa pedas. Bagi Vio itu adalah menu yang menyiksa.

“Hei, ayo kita pikirkan. Wadahnya jangan menggunakan cup. Pakai apa ya?” colek Martha membangunkan lamunan Vio.

Vio manyun. Sebetulnya dia sudah menemukan wadah yang unik. Tapi ia ragu, apakah Martha akan setuju dengan usulnya?

“Kau pasti ada ide ya?” selidik Martha. Vio hanya mengangguk. “Apa idemu?” lanjut Martha.

Vio membenahi duduknya. Menyilangkan kakinya dan memasang wajah serius. “Bagaimana kalau kita gunakan wadahnya dari roti berbentuk cone. Rotinya harus lembut tapi cres saat digigit. Akan berpadu dengan gurih dari makaroni cheesenya. Bagaimana?” Vio meminta pendapat Martha.

Martha tampak berpikir sejenak. Membayangkan roti yang Vio katakan. Kemudian kepala Martha mengangguk paham. Wajahnya kelihatan senang sekali.

“Ide bagus sepertinya. Mari kita eksekusi agar segera tahu rasanya.” Kata Martha menyeret Vio kembali ke dapur.

Vio hanya mengekor ditarik oleh Martha. Impian untuk segera memiliki usaha sendiri sungguh sudah di depan mata. Membuat keduanya selalu bersemangat untuk mengeksekusi setiap  ide yang muncul.


#OneDayOnePost
#TantanganCerpenKuliner

Share:

6 komentar