Celito


“Kamu dapatkan madu ini dari mana, Celito?” suara Ayah makin meninggi.  Celito tak berani memandang. Mata ayah pasti melotot. Ibu tidak menolong sama sekali. Hanya terdiam, membiarkan ayah bersuara tinggi dan memarahi Celito.

‘Jawab, Celito!” bentak ayah membuat Celito terlonjak kaget. Keringat dingin sudah membasahi tubuh hitam Celito. Rambut hitamnya terlihat mengkilat. Berkilau terkena cahaya matahari yang menyusup dari sela-sela dahan pohon.

“A... a...ku dapatkan dari Paman Lato,” tergagap Celito menjawab pertanyaan ayahnya.

Hembusan napas ayah terdengar masih kesal. Celito sadar dengan kesalahannya. “Kenapa kamu menerimanya?”

“Paman Lato memaksaku,” pelan suara Celito. Masih ketakutan. Kepalanya menunduk melihat gundukan tanah yang ada di bawah. Dahan yang dia gunakan untuk duduk  seperti akan menelan Celito karena kemarahan ayah.

“Ayah selalu katakan agar tidak menerima barang dari siapapun tanpa bekerja terlebih dahulu. Masih belum jelas perkataan Ayah kepadamu?” kali ini suara ayah mulai melunak. Ibu sudah turun dari dahan. Duduk di bangku kecil. Tangannya sibuk memasukkan madu ke dalam kayu-kayu kecil.

Kepala Celito mengangguk pelan. Selama ini peraturan di rumah pohon harus ditepati. Dia tidak boleh menerima barang  tanpa melakukan usaha apapun. Harus berusaha, baru mau terima imbalan. Jika tetap menerima tanpa bekerja dahulu, berarti korupsi, kata ayah. Dan semua penghuni  memahami peraturan ini.


“Kembalilah ke rumah Paman Lato. Mintalah pekerjaan terlebih dahulu,baru kau berhak mendapatkan madumu!” ujar ayah. Celito mengangguk. Turun dari satu dahan ke dahan berikutnya. Berjalan pelan menuju rumah paman Lato. Ibu melihat Celito dan memberikan senyumnya sesaat Celito akan menuju rumah paman.

Tunggu lanjutannya yaa...

#OneDayOnePost

Share:

4 komentar