Pendusta Kecil
Kue
itu berwarna hijau dengan hiasan kelapa parut. Berbentuk bulat dengan lubang di
tengah. Dimasak dengan cara dikukus. Orang menyebutnya putu ayu. Wangi dan
menggoda mata untuk menikmatinya. Hanya ada satu tergeletak di atas piring
kecil. Aroma pandan sudah menyebar ke seluruh ruangan. Menggoda hidung setiap
yang melihat.
Kaki
kecilnya melangkah mengendap-mengendap. Kedua retinanya menatap seluruh
ruangan. Kepalanya celingukan. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan dan tegang.
Ada sesuatu yang akan ia lakukan tapi tak ingin diketahui oleh orang lain.
Jantungnya berdegup keras. Jika didengarkan dengan alat stetoskop pasti akan nyaring sekali seperti bunyi genderang perang
yang sedang ditabuh. Kedua tangannya diletakkan di belakang punggungnya.
Langkah
pelannya mengantarkan ia sampai di meja. Tinggal satu tangkapan, maka putu ayu
itu akan berpindah dalam mulutnya. Sekali lagi matanya tajam mengitari ruangan.
Masih sepi. Hanya ada dia dan kue hijau ini. Hati kecilnya mengatakan sebuah
kebaikan.
“Itu kue bukan milikmu. Jangan
pernah makan barang haram!” bisikan itu halus terdengar dari
hatinya.
Kakinya
terhenti. Membenarkan kata hatinya. Perutnya berontak.
“Aku lapar. Dari kemarin perutku
kosong. Kapan akan kau penuhi agar cacing di dalamnya berhenti berontak?”
Tangan
mungilnya mengelus perut ratanya. Sangat kempis. Rasa sakit melilit sudah tidak
lagi mempan baginya. Kalah tersingkir oleh keadaan yang memaksa.
Kedua
kaki telanjangnya tanpa juga terhenti. “Jangan
kau lakukan. Berhentilah! Usah lanjutkan langkahmu hanya untuk menambah dosa.”
Mata
hitamnya menatap dua ujung pada kakinya. Kuku panjang berwarna hitam menandakan
jarang dirawat. Jempol kakinya bergerak atas bawah. Mempertimbangkan kata hati,
perutnya, dan kakinya.
Setelah
yakin kondisinya aman, kedua tangannya yang mungil berniat untuk mengambilnya. Terhenti
ketika tangannya menjerit. “Tangan
mungilmu akan berdosa lagi. Mengambil makanan yang bukan milikmu.”
Peduli
amat, kata kepalanya. Rasa laparnya sudah membesar. Tak bisa lagi dikempiskan. Dengan
gerakan secepat kilat, putu ayu sudah berpindah ke mulutnya. Satu kali suapan. Dikunyah
dengan terburu-buru. Khawatir ada orang yang akan masuk. Tersedak sesaat. Tapi tidak
dihiraukan. Tetap mengunyah dan akhirnya tertelan, masuk meluncur ke dalam
lambungnya.
Tak
ingin minum, bergegas akan melangkah keluar ruangan. Mendadak muncul tubuh besar berjalan masuk dalam ruangan. Wajahnya
langsung pias. Tangan dan kakinya gemetar. Kedua matanya menatap tubuh mungil
dengan pandangan curiga.
“Sedang
apa kau?”
“Ti...ti...dak
apa-apa.” Tergagap menjawab.
“Kau
ingin mencuri?” tanya wanita bertubuh besar.
“Tidak!”
kali ini mulut mungilnya menjawab dengan tegas. Hati kecilnya mengeluh. "Kau kembali berbohong. Padahal baru saja kau
mencuri makanan di atas meja."
Perut
ratanya membela. "Biarkan saja, daripada
kelaparan. Hanya kue putu ayu kecil, satu pula!"
Kedua
kaki tanpa alas berlari menjauh. "Sudah,
ayo kita pergi saja! Sebelum pertanyaan tak bisa lagi kau jawab!"
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
6 komentar
Ih... ini kisah kucing yah.. keren banget.
ReplyDeleteKreatif banget mba.
ReplyDeleteWah... Kucing lagi. Pandailah bun lisa bikin cerita anak, hehe
ReplyDeleteKreatif banget mba.
ReplyDeleteWahhh keren... Mau dong putu ayunyaa....
ReplyDeletekucingkah??? masa kucing doyan jue hehehe
ReplyDelete