Ciko Jadi Monster
Namaku
Ciko, seekor cicak jantan yang memiliki banyak mimpi. Kegiatanku sama seperti
temanku yang lainnya. Berburu serangga saat malam hampir menjelang. Menunggunya
dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Karena kami tidak bisa terbang seperti
serangga yang kumakan. Kakiku yang lengket dengan perekat menjadi sennjata
andalanku ketika merayap di dinding rumah. Ditambah lidahku yang panjang,
menambah kekuatanku untuk mendapatkan seekor nyamuk kecil untuk mengisi
peruutku.
Tapi
entahlah, malam ini aku merasa agak malas untuk berburu. Aku memilih tempat
paling sudut hanya untuk melihat teman-temanku. Celo, teman akrabku rupanya
mengkhawatirkan keadaanku yang hanya bengong. Tidak seperti biasanya yang
selalu bersemangat berburu serangga. Aku punya impian, ya sebuah keinginan yang
ditertaweakan oleh Celo ketika aku mengatakan kepadanya.
“Aku
ingin punya badan lebih besar. Tidak hanya merayap di dinding, tapi bisa juga
tinggal di bawah. Setidaknya badanku lebih besar dari ukuranku yang sekarang. Sebesar
Tokek mungkin,” kataku seorang diri. Anganku sudah jauh berkelana, membayangkan
jika aku benar-benar seperti impianku.
Malam
semakin larut merangkak meninggalkan senyap yang semakin merayap. Aku sudah
berada di bawah, di lantai dengan ukuran badanku yang besar, seperti ukuran
badan tokek. Senangnya hatiku, akhirnya aku bisa merayap, menginjak lantai
untuk menemukan mangsakku. Perutku sudah menagih janjinya. Melilit rasanya.
Lampu
ruangan ini sudah dipadamkan. Sehingga aku leluasa berjalan. Ada banyak nyamuk
yang tergeletak di lantai. Mungkin terbunuh akibat semprotan serangga. Ingin lidahku
mengambilnya. Tapi tidak, tentu rasanya tak akan seenak jika ia masih terbang
dan aku menangkapnya. Aku ingin menikmati berjalan di bawah, melihat
sekelilingku yang sudah terlelap.
Mendadak
langkahku terhenti. Dengkuran seekor kucing membuatku mundur dua langkah. Makhluk
tersebut sungguh membuatku takut. Tubuhku merasa gemetar, kakiku langsung
terasa lemas, tak mampu bergerak. Harusnya aku segera berlari agar tidak
menjadi mangsanya, tetapi aku seperti tidak memiliki tenaga.
Aku
hanya diam mematung, menatap penuh harap agar sosok berambut tersebut tetap
pulas tertidur. Kulanjutkan mencari mangsa dengan bergerak pelan, berusaha
tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu tidurnya.
Kulihat
ada tiga ekor nyamuk terbang di atas kepalaku. Dengan sigap kujulurkan lidahku
untuk menangkapnya. Hup, dapat. Nyam, nyam, nikmat sekali. Sekali telan
langsung tiga mangsa aku dapatkan. Tapi tunggu, perutku belum kenyang. Oh, iya,
tubuhku sekarang menjadi lebih besar. Pantas tiga ekor belum membuat perutku
puas.
Kulanjutkan
berburuku. Sekawanan nyamuk nampak ada di atas kepala kucing. Sepertinya dia
masih pulas bergelut dengan mimpinya. Mengendap kulangkahkan kaki untuk lebih
mendekat. Yakin sekali, sekali tangkapan, pasti akan masuk dalam mulutku. Kalau
tak salah hitung, ada sekitar tujuh ekor nyamuk.
Hup, dapat empat ekor yang berhasil
masuk dalam mulutku. Mantab sekali buruanku di bawah, gumamku.
Jika masih di atas, tak mungkin aku akan mendapatkan banyak mangsa. Tak sengaja
kakiku menyenggol ramut yang ada di leher makhluk berambut tebal ini. Dan dengan
cepat, dua matanya yang bulat menatap tajam tubuhku seperti hendak menerkamku.
Jantungku
berdegup dengan keras, tubuhku gemetar. Ketakutanku akan dimangsanya membuat
otakku tak bisa berpikir dengan jernih.
Makhluk
itu menguap, memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang besar dan siap mencabik
tubuhku. Kaki depannya dengan kuku tajamnya mengayun ke arahku. Terlambat sudah
untuk bergerak mundur. Badanku terhimpit tak bisa berkutik. Aku hanya
menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Berusaha melepaskan cengkeraman
kucing. Oh, tidak, terjebak dengan makhluk berambut ini tak pernah ada dalam
bayanganku jika aku tinggal di bawah, meskipun dengan tubuh lebih besar dari
sebelumnya.
Aku
menjerit ketika melihat mulut besarnya menganga siap menelanku. Aku berteriak
keras, bermaksud mengusir keinginannya menelanku. “Jangan!” sekali lagi aku berteriak lantang. Tak ingin berakhir
dengan tragis.
“Ciko,
Ciko. Hai, kamu bayangin apa? Hingga berteriak seperti itu!” kaget Celo.
Kedua
mataku langsung terbuka. Jantungku berdegup tak berirama. Naik turun seperti
habis berlari. “Oh, Celo, ternyata aku belum menjadi monster. Tubuhku masih
kecil dan aku masih ada di atas. Syukurlah,” berkata seperti itu Ciko tersenyum
memeluk Celo.
“Kamu
berhayal ya?” tanya Celo.
Ciko
hanya mengangguk. Celo menggelengkan kepalanya. Mudah-mudahan keinginan Ciko
untuk tinggal di bawah sudah tak ada lagi. Semoga juga Ciko menjadi lebih
bersyukur dengan ukuran tubuhnya yang sekarang.
#OneDayOnePost
Tags:
Cerpen
4 komentar
Waaahhh keren mbak lisaa
ReplyDeletewaaah, saya harus bersyukur karena saya besar nih, ehehe
ReplyDeleteKeren Mb lis
ReplyDeleteMantap mba Lisaa
ReplyDelete