Aku dan Pohon Jenjeng

Matahari mulai merayap ke ufuk barat. Menyembunyikan sinarnya yang menyilaukan mata. Bayang-bayang terlihat makin gelap, seiring sinarnya yang juga makin hilang. Tinggallah aku dan teman-temanku yang merasa sangat penat sekali. Berkali-kali tubuhku dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan otot. Rasanya semua tulangku remuk, seperti dihantam sebuah benda yang sangat keras. Ketika sore menjelang malam seperti inilah, saatnya aku menikmati waktu bersantai. Bercengkerama dengan teman-temanku dan penghuni sekitar sini.

“Huf, akhirnya kita istirahat juga ya,” kataku. Di sebelahku Dozer warna biru masih meliukkan tubuhnya.

“Badanku sakit semua, Kuning.” Kata Dozer Biru.

Aku tertawa mendengar keluhannya. “Kau kira tubuhmu saja yang letih? Aku pun demikian. Sakit semua rasanya badanku!”

“Lihat Excavator merah di sana. Apakah dia baik-baik saja?” tunjuk Dozer Biru kepadaku.

“Tadi pagi dia mulai memanjat tebing untuk menggali tanah bagian atas. Dia bekerja lebih berat dari kita hari ini.” Lanjut Dozer Biru. Aku hanya mengangguk.

Sudah dua bulan lebih aku dan kawan-kawanku bekerja di sini. Meratakan dataran yang bertingkat-tingkat. Lokasinya lebih tinggi dari sekitarnya, dengan tanah berwarna merah. Setiap Excavator merah mengeruknya, akan terhalang oleh batuan di dalamnya. Tanah yang sudah digali olehnya dipindahkan ke dalam truk-truk besar. Barisan truk akan membawanya menyeberang jalan di depan kami. Menimbun bagian jalan yang curam seperti tebing.

Ada kengerian dalam diriku. Daerah ini terkenal rawan longsor. Jika hujan turun terus menerus, ketakutanku makin menggila. Tanah yang sudah kuratakan dan sudah digali oleh Excavator Merah, khawatir akan longsor dan menimbun kami. Ketakutan kami beralasan, karena pohon Jenjeng yang dulu menghias wilayah ini sudah habis ditebang terlebih dahulu sebelum aku bekerja.

Pertama kali datang, masih kulihat beberapa pohon Jenjeng yang berdiri kokoh. Bahkan aku masih sempat berbincang dengan mereka.

“ Kenapa kalian ke sini?” tanya Pohon Jenjeng yang paling tua.

Dozer Biru menatapku, memintaku agar aku saja yang menjelaskan. “Aku tidak tahu pasti kenapa aku dan kawan-kawanku didatangkan ke sini. Yang pasti tugas kami adalah meratakan tanah. Dia si Merah yang bertugas untuk menggali tanah ini. Nantinya akan dibangun apa dan untuk apa, bukan urusan kami.”

Pohon Jenjeng tua terlihat manggut-manggut. Ada kesedihan tergambar dari wajahnya. Juga wajah semua pohon Jenjeng yang tersisa.

“Sebelum teman kami ditebang, kami sangat nyaman tinggal di sini. Jalanan menjadi rindang dan adem karena kami. Banyak orang yang hanya sekedar duduk menikmati sore atau ketika siang menyengat, singgah sebentar melepas penatnya selama di jalan. Kami senang menjadi bagian dari tanah yang berbukit-bukit. Karena aku dan kawanku akan melindungi tanah ini dari bahaya longsor.” Panjang lebar Jenjeng tua menceritakan kepadaku.

“Menurut yang aku dengar, daerah ini akan dibangun sebuah masjid besar.” kata salah satu pohon Jenjeng, “tapi kenapa harus meratakan tanah di sini? Mengapa tidak mencari lokasi yang sudah rata sehingga lebih mudah pembangunan masjidnya?”

Kami semua terdiam. Pohon Jenjeng tua tertunduk. Ia merasa sebentar lagi tubuhnya akan mengalami hal yang sama dengan pohon lainnya yang sudah di tebang.

Mengingatnya membuatku sedih. Pohon Jenjeng tua sudah teronggok kaku. Sudah tak ada lagi pohon Jenjeng yang berbaris rapi. Hanya terlihat tanah merah terhampar sepanjang mata memandang, bekas kerukan Excavator dan aku, Dozer. Kenangan indah tentang percakapanku dengan mereka tinggal dalam memoriku. Berharap semuanya cepat selesai, sehingga kecemasan kami tak akan terjadi, karena musim hujan mulai menghampiri.


#OneDayOnePost

Share:

20 komentar

  1. Kayak film cartoon yang berbagai alat berat. Keren...

    Kayak cerpen gula dan alat dapur

    ReplyDelete
  2. Kaya film toy story semua benda mati bisa ngomong

    ReplyDelete
  3. Unik nih cerita, dozer yang malang harus terjebak batin nya😞

    ReplyDelete
  4. Unik nih cerita, dozer yang malang harus terjebak batin nya😞

    ReplyDelete
  5. Like usually mbak Lisa kereeennn banget ceritanya. Sudut pandangnya selalu unik dan nggak biasa..

    ReplyDelete