Kisah Sebuah Pensil



Ruangan ini tidaklah cukup besar untukku dan yang lainnya. Berdesak-desakan mencari udara dengan bergantian menyembulkan diri jika lama berada di dalamnya. Rasanya seperti ada di dalam sebuah penjara tua. Sedikit udara dan tanpa cahaya matahari. Hanya sesekali bisa memandanng indahnya di luar sana.

Kemarin satu lagi yang berhasil dijejalkan, menambah sempit dan kami harus berebutan oksigen agar bisa bertahan. Melihat dari tampilan luar, sepertinya dia termasuk berkelas. Dengan polesan luarnya bergaris hitam putih bagaikan zebra.  Lebih panjang dari kami yang sudah terlebih dahulu ada di sini. Namun nampaknya dia belum beradaptasi dengan kami.

Penuh takut dan ragu-ragu ketika masuk. Matanya tak berkedip memandang kami bergantian. Apalagi ketika melihatku yang sudah pendek. Senyumku dibalas dengan senyum takut-takut.

“Hei, masuklah!” ajakku untuk mengusir rasa gugup yang kulihat terpancar dari wajahnya.  Perasaan semacam ini akan selalu hadir jika baru pertama kali.

“Masuklah, mari kita bercakap-cakap!” ajak yang lainnya juga. Barulah kulihat senyum itu menghiasi wajahnya.

“Apa kabar? Bagaimana rasanya berada di sini?” tanyanya pelan.

Kami semua tersenyum. Satu persatu perkenalan dimulai. Berbincang banyak hal agar ketegangan yang dimiliki menguap. Matanya masih memandangku tanpa bekedip. Aku hanya tersenyum mendapat perlakuan seperti itu.

“Hai, aku baru datang. Tidak terlambat untuk obrolan yang penting kan?” tiba-tiba muncul suara berat dari ruangan paling sudut. Ruangan yang sempit sekali, hanya bisa ditempati berdua.

Melihat kemunculan suara yang baru didengarnya, ia langsung berteriak histeris. Wajahnya nampak pucat pasi, tubuhnya menggigil ketakutan. Seolah-olah ia melihat hantu yang akan memangsanya. “Kenapa dia ada di sini juga? Dia adalah makhluk yang membuatku takut. Aku sangat membencinnya,” terbata ia mencoba menjelaskan.

Pemilik suara berat hanya bisa melongo keheranan. Kenapa ia begitu histeris? Dipandangnya keseluruhan tubuhnya, dari atas hingga bawah, begitu seerusnya. Barulah dapat dipahami, ternyata penghuni baru, jadi belum mengenal dengan baik.

Aku tertawa mencoba menjernihkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Semua mata melotot kepada penghuni berkostum zebra. “Justru kami di sini sangat berjasa kepadanya.” Tunjukku kepada sosok yang membuatnya ketakutan.

“Dia berjasa apaan? Membuat takut mah iya!”

Mendengar suaranya yang masih gemetar, kami tertawa. Tidak terkecuali pemilik suara berat.

“Dia sering menyakiti kami,” suaranya semakin lirih.  Tubuhnya merosot pelan. Tubuh berkostum seperti zebra bersandar, kepalanya tertunduk.

Perlahan aku mendekatinya. “Kau ingat pesan yang dititipkan oleh Tuanmu sebelum dirimu masuk ke sini?” pertanyaanku dijawab anggukan lemah dan suara yang nyaris tak terdengar.

“Kita adalah pensil. Tuan kita sudah berpesan agar kita memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada manusia yang memakai. Tubuh kita memang akan sakit saat diserut, tapi kita harus masuk dalam mesin penyerut. Agar kembali memberi manfaat. Semakin sering digunakan, di situlah letak kebahagiaan kita.” Aku mencoba menjelaskan.

Pensil dengan corak zebra tergugu. Serutan dan pensil yang ada dalam kotak terdiam. Memandang Pensil Zebra dengan harapan ia mampu memahami untuk apa ia dibuat. Memberikan manfaat untuk manusia.


#OneDayOnePost

Share:

3 komentar

  1. Aihhh.. mbak lisaaaaaaaaa sirik banget deh aku.. 😂😂😂 ceritanya ngalir, sederhana, tapi tetap penuh makna.. kapan aku bisa nulis kek gitu ya..😮

    ReplyDelete
  2. Bun lisss, (pasang wajah cembeyut) ajarin atuh. Ahihi

    ReplyDelete