Belajar Lebih Baik


Ruangan kelas VI Abu Ma’syar terlihat gaduh. Dua puluh anak nampak sibuk saling memperlihatkan kertas ulangan yanng baru saja dibagikan oleh ketua kelasnya. Sebentar lagi jam istirahat. Akbar, ketua kelas sengaja membagikan sesaat setelah bu Aisyah keluar kelas. Suara gaduh saling menunjukkan hasil ulangan kepada sesama teman, membuat Akbar kesulitan mengatur kelasnya menjadi tenang kembali.

“Eh, Akbar, siapa kali ini yang mendapatkan nilai 100?” tanya Zulfa.

Akbar berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat dari sekian kertas ulangan tadi siapa saja yang mendapat nilai sempurna.

“Sepertinya masih Husnul, Fa. Kenapa?”

Zulfa tersenyum. “Tidak apa-apa, Bar. Aku belum bisa ya, menyaingi nilai Husnul.” Berkata seperti itu Zulfa tertunduk. Husnul adalah anak yang pandai. Selalu mendapat nilai sempurna hampir di semua mata pelajaran. Zulfa belum mampu menandingi kelebihan Husnul. Dari kelas satu hingga kelas enam ini.

“Hei, tak perlu bersedih. Toh nilai kamu selalu ada di bawah Husnul. Dibandingkan denganku, masih bagus punyamu lah,” Akbar membesarkan hati Zulfa. Zulfa mengangguk. Mereka pun tertawa seiring bel istirahat berbunyi.

Dalam hati Zulfa ada keinginan untuk bisa mengalahkan Husnul. Bersaing dengan sehat. Berarti Zulfa harus belajar lebih giat, agar mampu mengalahkan nilai Husnul. Bu Aisyah pernah bilang, jika dia rajin mengulang setiap pelajaran yang telah diberikan, maka ia akan mudah mengingatnya.

Ya, Zulfa harus lebih rajin mengulang pelajaran apapun. Ada jam bermain yang akan dia kurangi. Tekadnya kuat mengalahkan Husnul. Perkataan Husnul beberapa waktu lalu rupanya melecut semangatnya.

“Hai, Husnul. Boleh aku bertanya bagaimana caramu belajar sehingga nilaimu selalu paling tinggi di antara kami?” tanya Zulfa ketika Husnul duduk di taman depan kelas. Husnul menatap Zulfa dan tersenyum.

“Aku kan sudah pinter dari lahir. Jadi tanpa belajar pun nilaiku tetap akan tertinggi!” dengan suara angkuh Husnul menjawabnya. Zulfa tediam. Hatinya sedikit tersinggung dengan jawaban Husnul.

Kejadian itulah yang melecut semangatnya untuk merubah cara belajarnya selama ini. Ia akan bertekad, lebih giat belajar. Meskipun Ummi mengingatkan agar niatnya belajar lebih baik tidak dikotori dengan keinginan yang lain, belajar lebih baik hanya untuk mengalahkan nilai Husnul. Itu sudah niat yang tidak baik, menurut Ummi.

Beberapa hari Zulfa lebih sering berada di dalam kamarnya. Biasanya sepulang sekolah dia akan keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman satu komplek, kali ini tidak. Zulfa terlihat memegang buku pelajaran. Membacanya berulang-ulang kemudian membuat coretan kecil di kertas lain. Mengulangnya dengan menuangkan dalam tulisan apa saja yang baru dibacanya. Dibuat dengan gambar menarik dan warna-warna mencolok. Lalu ditempelkan dekat dinding tempat tidurnya, agar ia membaca kembali sebelum tidur. Ummi selalu memberikan semangat setiap melihat tempelan baru hasil belajar Zulfa.

Pagi ini setelah aktivitas tahfiz dan sholat dhuha, akan ada pengumuman penting berkaitan dengan hasil latihan Try Out yang diadakan oleh lembaga belajar dari luar sekolah. Zulfa ingat, dia begitu bersemangat waktu itu saat mengerjakan. Hasilnya akan ditempel di mading masing-masing kelas enam.

Begitu pengumuman sudah ditempel, Zulfa segera menyusul teman-temannya untuk ikut bergerombol melihat hasilnya. Mata Zulfa seolah tak percaya dengan apa yang ditempel. Namanya menempati urutan teratas dengan nilai yang sangat memuaskan.

Dua tangan Zulfa menutup wajah. Ada haru tiba-tiba menyeruak. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat oleh matanya. Semua mata teman-temannya menatap dengan bangga.

“Zulfa hebat!  Akhirnya Husnul tergeser! Selamat Zulfa!” Akbar segera menghampiri Zulfa dan memberikan ucapan selamat. Yang lainnya juga ikut memberikan ucapan selamat.

Tak jauh dari mereka berdiri, Husnul melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Nama Husnul ada di urutan no empat, nomor yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Husnul terduduk dengan lemas. Zulfa segera menghampiri temannya. Begitu pula Akbar.

Zulfa memeluk Husnul. “Kamu tetap hebat, Husnul. Buktinya selama ini kamu selalu menjadi yang teratas. Baru kali ini saja kan, namamu tergeser.” Zulfa mencoba membesarkan hati Husnul. Akbar yang berada di sampingnya mengangguk.

“Aku sombong, merasa sudah pandai dari lahir. Hingga aku lalai tidak perlu belajar lagi karena selama ini nilaiku selalu bagus. Maafkan aku ya, Fa. Pernah menyombongkan diri di depanmu.” Tangan Husnul terulur ke arah Zulfa. Zulfa memeluk Husnul.

“Terimakasih ya, teman, kalian tetap menganggapku teman. Aku akan belajar lagi seperti Zulfa. Aku nggak mau kalah lagi.” Berkata begitu Husnul tertawa. Zulfa dan Akbar ikut tertawa.


#OneDayOnePost

Share:

5 komentar