Kepingan LDR bagian 4

Keputusan menikah atau tidak bukanlah keputusan yang dampaknya untuk sehari atau dua hari. Tetapi sebuah keputusan untuk memulai hidup baru, dengan orang baru, dengan segala karakter yang mungkin saja belum pernah aku ketahui sebelumnya. Kecuali sifat diamnya yang memang sudah aku tahu sebelum terlanjur menikah. Kepala batu, selalu diam jika marah, egois, dan entah julukan apalagi yang layak kuberikan.

Mengingat semua sifat kerasnya, tanpa sadar butiran bening yang coba kutahan agar tak mengalir, akhirnya ambrol juga. Aku kembali menangis di hadapan orang yang meraja di kerajaan cintaku. Rasa cinta yang kumiliki tak bisa kupungkiri. Aku ingin mengurai cerita bersamanya di sepanjang sisa perjalanan hidup kami. Aku ingin menjadi bagian dari kisahnya, aku ingin...kata hatiku yang paling dalam.

Batinku terus bergolak antara mengiyakan kembali ajakan mas Fian atau menolaknya. Melihatku menangis, mas Fian tertunduk. Dua tangan lebarnya menggenggam tanganku erat. Sedikit meremasnya, seperti memberikan kekuatan agar aku menjawab iya pada ajakannya.

"Aku nggak mau menikah denganmu, Mas. Jika dalam pernikahan nantinya setiap kita ada masalah, Mas justru mendiamkanku. Ketika aku berbuat salah, Mas akan pergi dariku, bersembunyi dalam tembok yang selalu membisu. Aku nggak ingin pernikahan yang seperti itu."

Mas Fian mengambil napas sebanyak yang ia butuhkan untuk menghadapiku. Aku dikenal olehnya sebagai gadis bawel yang tak pernah kehabisan cerita jika sedang berdua. Itu yang membuat betah mas Fian saat ngobrol denganku.

"Jujur aku masih mencintaimu, De. Ta..."

Belum sempat mas Fian melanjutkan ucapannya aku sudah memotongnya. "Cinta seperti apa yang Mas punya untukku? Cinta yang betah membisu kalau sedang marah denganku? Cinta yang selalu lari setiap ada masalah di antara kita? Kau bohong, Mas! Bahkan rindumu pun bohong! Sakit, Mas. Aku selalu kau diamkan."

"De, dengarkan aku dulu." Mas Fian mencoba menenangkanku yang mulai bersuara sedikit keras di sela-sela tangisku. Kutarik kedua tanganku dari genggaman mas Fian. Telunjuk kananku menunjuk dada, mengatakan padanya aku begitu terluka. 

Mas Fian memeluk tubuhku. Kubiarkan tangisku pecah dalam dadanya. Tubuhku tidak memberikan penolakan atau balas mendekapnya. Kedua tanganku terkulai lemas di samping tubuh mas Fian. 

Kudengar mas Fian berbisik lembut berkali-kali. " Aku mencintaimu, De. Sungguh mencintaimu. Melebihi dari yang kau tahu. Maafkan aku, jika selama ini sikap diamku menyakitkanmu."

Suara mas Fian sedikit serak, sepertinya menahan diri agar tidak menangis. Tangisku perlahan mereda. Tubuhku masih dalam pelukan mas Fian. 

"Ajari aku, De, agar menjadi pria romantis, yang bisa memanjakanmu ketika kita sudah menikah nantinya. Tegur aku jika aku kembali diam. Kau benar, diam berkepanjangan hanya akan menambah masalah baru. Menikahlah denganku, De." kembali mas Fian memintaku sambil melepas pelukannya. 

Kuusap sisa-sisa air mata dengan tisu yang kutarik dari tas kecilku. Kulipat kedua kakiku rapat dengan dada, kepala bersandar pada kedua lututku. Tanganku memeluk kaki, kembali memikirkan permintaan mas Fian. Mas Fian tersenyum melihatku sudah mulai tenang. Diambilnya tangan kananku, dikecupnya perlahan, mata elangnya menatap dua retinaku, tajam menembus hingga ke jantung. Terasa memanas dua pipiku mendapat tatapan permohonan lelaki di hadapanku.

"Mau ya, kita melanjutkan rencana awal? Kita menikah, kita memulai cerita baru bersama, saling bertahan jika di antara kita menyakiti, saling menguatkan, mengingatkan, dan tetap tanpa lelah saling mencintai."

Duh, meleleh hatiku mendengar penuturannya. Tanpa sadar bibirku membentuk lengkungan senyum yang manis. Tapi kepalaku belum mengiyakan, meskipun hatiku sudah menari melihatnya memohon.

Bersambung...

#OneDayOnePost



Share:

6 komentar