Kepingan LDR bagian 5

Ayo, jawab iya saja, toh kamu masih mencintainya kan? Bisik satu sisi hatiku. Satunya lagi mengatakan, hei, tak ingatkah bagaimana ia pernah menyakitimu dengan diamnya? Bukan hanya sekali dua kali loh ya, tapi sudah berkali-kali. Yakin, masih ingin melanjutkan menikah dengannya? Orang sudah menyakiti perasaanmu?

Duh, aku bingung harus jawab apa. Kulihat mas Fian menunggu jawabanku dengan segudang pengharapan agar menerima lamarannya kembali. Terlihat dari wajahnya yang begitu berseri menanti jawabanku. Jika aku menolaknya, ada hatiku yang pastinya akan sakit juga. Namun bila menerima, apakah aku sudah siap dengan semua konsekuensi yang ditimbulkan jika kami menikah? Termasuk hanya akan bertemu seminggu sekali pastinya. Ah, kenapa keputusan untuk menerima atau tidak menjadi keputusan yang sulit kuambil?

Kedua tanganku tanpa sadar menutup wajahku. Mas Fian terkekeh melihat tingkahku. Berarti dia paham betul kalau aku kebingungan.

"De Wulan bisa menjawabnya nanti. Aku masih seminggu ada di rumah ibu. Menghabiskan cuti." jelas mas Fian.

Mendengarnya sungguh membuatku lega, seperti terbang ringan dengan sayap baruku. Mas Fian memberiku waktu. Jadi aku bisa meminta pertimbangan kembali kepada keluargaku.

Aku tersenyum. "Kasih waktu tiga hari ya, Mas."

Mas Fian menjawabnya dengan anggukan.
"Nginep ya, aku kangen ngobrol denganmu, De."

Nah, niat awal aku nggak akan nginep, tapi setelah memeluk ibu tadi, aku jadi ingin menginap, tidur dengan ibu. Tapi, jika ada mas Fian, tak enak rasanya meneruskan niat menginap. Terdengar suara mas Fian kembali tertawa.

"Ayolah, menginap. Ibu pasti seneng. Apalagi aku."

Ganti aku yang tertawa mendengar jawaban mas Fian. "Aku pulang saja ya, Mas. Kalau aku nginap, nanti otakku kena racun darimu agar segera kasih jawaban." jawabku sekenanya.

Mas Fian makin lebar tertawanya. "Tapi, nanti agak malam ya pulangnya. Aku anter ke rumah. Aku masih kangen ceritamu."

Aku mengangguk. Aku juga kangen, Mas, kata hatiku. Sangat kangen malah.

Menghabiskan sisa malam dengan bercengkerama bersama Ibu, mas Fian, de Wiwik, dan de Ambar, membuatku merasa nyaman. Kebersamaan inilah yang membuatku betah di rumah ini. Ibu dan adik-adiknya mas Fian menerimaku dengan baik. Menyusup rasa yakin untuk menerima ajakan mas Fian menikah.

"Mas, sudah malam. Anter pulang yuk," Saat jam sudah berada di angka sepuluh tepat. Ibu dan dua adiknya sudah meninggalkan kami sejak tadi. 

"Motormu tinggal sini saja ya,"

"Iya, Mas. Atau mas anter aku pake vario, nanti pulangnya bawa lagi. Biarin besok aku ambil ke Ibu." Jelasku dijawab anggukan kepala mas Fian. 

Mas Fian masuk ke dalam kamar, mengambil dua jaket. Satu jaket untukku dan satu lagi ia pakai. Ibu tadi sudah berpesan, tak perlu bangunkan beliau jika akan pulang. 

Berdua menyusuri jalanan yang masih ramai. Tidak terlalu jauh sebetulnya perumahan yang kita ambil dengan rumah ibu. Hanya berjarak sekitar lima kilometer, berada di tengah kota. 

Ngobrol banyak membuat kami tak terasa menembus dinginnya malam. Rumah mungil bercat hijau sudah ada di hadapan kami. Mas Fian menatap lama sebelum memutuskan masuk. Mungkin dia rindu dengan rumah ini. Kunyalakan lampu depan. Mas Fian duduk di kursi teras. 

"De, aku langsung pulang ya. Segera tidur, besok aku anter motormu pagi-pagi. Setelah itu kita jalan ke alun-alun yaa."

Aku mengangguk. "Mas," panggilku pelan sebelum kaki mas Fian melangkah ke arah motor.

"Ya, De," Mas Fian menghentikan langkahnya. 

"Aku siap menjadi istrimu." mantap jawaban yang kuberikan.

Pelukan erat langsung kudapatkan. Ada haru menyeruak. Wajahnya begitu bahagia. Seperti hatiku yang juga menari gembira. Tak perlu menunggu tiga hari, aku merasa sangat yakin menerimanya. Kami siap mengarungi cerita nantinya berdua, bersama, tanpa lelah untuk saling menemani.

#OneDayOnePost

Share:

10 komentar