Seperti Iklan


Hari ini, sebetulnya tidak ada yang istimewa dari kegiatan saya di kelas. Berjalan seperti biasanya. Hanya saja entah kenapa kelas saya siang tadi pada saat jam pelajaran Bahasa Indonesia sedikit berbeda. Begini kronologisnya.
-
-
-
Saya meminta anak-anak untuk menuliskan daftar riwayat hidup mereka sendiri setelah mereka memahami bagaimana cara mengisinya. Pas bagian saya untuk berkeliling memeriksa hasil mereka, tanpa sadar mata saya melihat sobekan kecil kertas dengan tulisan “Alis Love Eril”. Mereka berdua adalah murid saya di kelas enam ini. Spontan saya membacanya sambil tangan saya mengambil lembar kerja yang dikerjakan oleh Alis. Kebetulan saya sedang memeriksa pekerjaan Alis. Entah siapa yang menulisnya, tapi karena saya membacanya dengan keras, otomatis anak satu kelas langsung bersorak menanggapi tulisan yang saya baca.

Baru saya tersadar setelah menatap wajah keduanya yang namanya tertulis dalam kertas tadi. Seperti kepiting yang sedang direbus. Memerah, entah karena malu ketahuan saya atau apa. Wah, saya harus ambil bagian ni, pikir saya. Majulah saya ke depan, memberikan sedikit kata-kata, agar anak-anak dalam kelas bisa memaknainya saat ia mulai merasakan perasaan ini. Dengan gaya saya seperti ibu mereka yaa...- bagian ini tidak saya ceritakan...-

Saya jadi ingat dengan curcol anak saya yang sulung.

“Ummi, Kakak naksir tuh, anak yang sedang berjalan, pake tas ransel biru, yang kanan, Mi,” katanya sambil menunjuk tiga orang lelaki yang berjalan. Saya pun mengamati ketiganya, lebih tepatnya yang diidentifikasi oleh kakak. Dalam hati bergumam, nggak ganteng-ganteng amat sih, hehehe...

Anakku sudah besar ternyata, mulai merasakan suka dengan lawan jenis di kelas IX ini. Sedikit was-was, tapi saya jawabnya santai.

“Kakak naksir apanya?” tanya saya. Nggak saya katakan langsung bahwa yang ditaksir nggak ganteng-ganteng amat menurut versi emaknya. Ya, kalau diberi nilai, cukuplah untuk melewati KKM. Eh...

Sulung saya tertawa. “Dia juara umum, Mi. Pinter , pandai main basket, nyanyi juga.”

“Ooo,” mulut saya langsung membentuk kata paham. Ada kelebihan yang membuat anak saya menyukainya.

“Kakak kenal? Satu kelas nggak?” lanjut saya bertanya.

“Nggak, dia kelas IX-2. Kakak cuma kenal nama. Dia nggak kenal kakak. Kakak juga nggak berani menyapanya.”

Aish, ternyata anak saya hanya jadi pengagum rahasianya. Saya akhirnya tersenyum. Rasa khawatir saya akhirnya tidak terjadi. Tapi saya harus tetap mengarahkan, agar dia memahami sejak awal. Saya lanjutkan obrolan saya dengan si sulung.
“Sudah banyakkah teman kakak yang pacaran?”

“Banyak sih, Mi.” Lalu dia sebutkan teman-temannya yang katanya sudah pacaran.

“Mereka ngapain saja, Kak, kalau cerita?” masih ingin menggali info lebih jauh tentang pemahaman anak saya mengenai pacaran ini.

“Kakak nggak pernah nanyain. Kepo amat nanya begituan sama mereka. Lagian yang sudah pacaran di kelas, anak-anak gitu tu, Mi. Alay-alay gitu.”

Nah, bagian kalimat terakhir saya agak nggak ngerti. Tapi saya manggut-manggut saja. Masih penasaran soalnya.

“Menurut Kakak, pacaran itu gimana sih?”

Agak lama dia nggak langsung menjawab. Mikir dulu sepertinya.

“Jalan bareng, nonton bareng, begitu kali ya, Mi.” Jawab anak saya. Saya kembali tersenyum dengan jawaban anak saya. Baiklah, saya akan masuk ke intinya.

Saya peluk si Kakak, saya bisikkan bahwa saya sangat menyayanginya, karena ia lahir lebih dahulu dan lebih lama menemani saya. Dia membalas pelukan saya,

“Kak, perasaan suka dengan lawan jenis itu wajar. Yang tidak wajar jika Kakak menyikapi dengan berlebihan. Ketika kita suka dengan seseorang, hanya melihatnya dari jauh, pasti sudah membuat hati kita senang. Tanpa perlu berduaan. Apalagi pegang-pegangan tangan. Nanti kalau bertemu, maunya pegang tangan, sesudahnya ingin lebih dari pegang tangan, karena penasaran. Dan akhirnya Kakak hanya akan diambil keuntungannya oleh orang yang kakak sukai.”

Saya ambil napas sebentar.

“Jika ada lelaki yang menyukaimu dan melakukan hal itu, berarti dia bukan laki-laki yang baik. Laki-laki yang baik tak akan memegangmu, ia akan menjagamu, karena dia sayang. Seperti Kakak yang sayang dengan kucing Kakak. Tak boleh kan jika disakiti? Nah, jika ada lelaki yang suka dengan kakak, lalu dia inginnya jalan berdua, pegang-pegang tangan kakak, berarti dia hanya ingin mengambil untung dari kakak.”

“Berarti Kakak nggak boleh pacaran ya, Mi?”

“Menurut Kakak?” saya balik bertanya.

Tawa khas sulung saya terdengar. Terkekeh.

“Nanti kalau Kakak pacaran, kakak jalan berdua, terus penasaran, coba-coba, dan akhirnya merugikan kakak bagaimana? Kakak pasti nggak mau kan menghianati Ummi? Nggak mau juga kan harusnya sekolah lalu harus punya bayi? Nah,dari pada penasaran lebih baik dihindari. Sukanya dijaga dengan baik. Bukankah tadi dengan melihat darinjauh saja Kakak sudah senang kan?”
Si Kakak memeluk saya. “Kakak sayang Ummi. Iya, Kakak paham yang Ummi katakan. Kakak masih ingin sekolah dahulu.”

“Maafkan Ummi ya, jika suatu hari nanti Ummi jadi seperti iklan Baygon. Menyebalkan bagi Kakak, karena Ummi akan selalu mengingatkan Kakak.”

Kakak hanya tertawa dan kembali memeluk saya. Semoga dialog ringan kali ini mampu membuka wawasan anak saya dalam berinteraksi dengan lawan jenisnya.


#OneDayOnePost

Share:

12 komentar

  1. Dilemma ibu2 yang anaknya mulai remaja. Waktu Awie smp ibu juga gtu.. suka jadi alarm

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi..aku dulu takut wie cerita ke ibuku, makanya sekarang buat pelajaran

      Delete
    2. hihihi..aku dulu takut wie cerita ke ibuku, makanya sekarang buat pelajaran

      Delete
  2. Saya juga agak was was ni Mb, bentar lg anak sulung dah abg

    ReplyDelete
  3. Anak sekarang Yo...hehe...orang tua mesti bisa jadi temen curhat yang baik Yo Mba.

    ReplyDelete
  4. Anak sekarang Yo...hehe...orang tua mesti bisa jadi temen curhat yang baik Yo Mba.

    ReplyDelete
  5. Jd keinget anak saya. Anak sekarang memang cepat pubernya ya mbak Lisa..makanya membutuhkan seorang ibu yang bisa mjd teman curhatnya dan bisa mengarahkannya ke hal yang positif. Alhamdulillah sdh dilakukan oleh mbak Lisa.. :)

    ReplyDelete