Merindukan As-Salaam
Maret 2009
Pagi ini, kusambut pagi dengan enggan. Tidak seperti biasanya dengan semangat empat lima. Kedua mataku bengkak, bekas menangis sisa semalam belum hilang. Masih ada duka yang bergelayut dalam wajahku. Alhasil jadwal menyambut anak-anak diwarnai duka. Meski senyum manis kupaksakan terbentuk.
"Assalamualaikum..." sapa riang setiap anak yang memasuki gerbang sekolah. Wajah imut, ceria, dan penuh semangat, siap menghadapi tantangan di kelas nantinya.
"Bu Lisa habis nangis ya?" tanya Pak Januar ketika melihat mataku yang masih sembab.
Bukannya menjawab, tapi malah tangisan yang akhirnya menjadi jawaban. Pak Januar, kepala sekolah kami akhirnya memintaku menepi dari barisan penyambutan siswa.
"Ada masalah apa, Bu?"
Setelah kurasa aku bisa mengendalikan diri, kujawab pertanyaan pak Januar.
"Sinus mati, Bapak..." Dan tangisku pecah kembali. Menangis di depan kepala sekolah, membuatku sedikit malu. Akhirnya aku duduk, membelakanginya. Masih sempat kulihat raut mukanya menggambarkan kebingungan. Sinus siapa? Tapi belum sempat kujawab, karena tangisku sudah menjawab rasa penasaran. Pasti seseorang yang berarti, begitu pikir beliau.
Selesai penyambutan siswa, alhasil aku menjadi selebritis. Rekan-rekan yang kebagian jadwal bersamaku mengelilingiku yang masih sesenggukan.
"Siapa Sinus, Bu Lisa?" tanya bu Hernah.
"Sinus itu kucing kesayangan saya, Bu," pelan aku menjawabnya. Serentak semua membentuk mulut O dan memelukku. Seolah memberiku kekuatan, agar aku tabah ditinggal Sinus.
Gontai kakiku melangkah menuju kelas. Setelah membasuh muka agar sedikit lebih segar. Dari arah timur kelas muncul pak Fathul, menyapaku.
"Oh, ya, Bu. Nanti kalau acara tujuh harinya Sinus, saya siap mimpin acara tahlilannya."
Huwa...saya bukan tersenyum, tapi kembali menangis. Dari balik kaca kelas, anak-anak hanya memandangku. Wali kelasnya sedang berduka, itu pikir mereka.
Tiga hari kemudian...
Selesai membantu anak-anak kelas rendah salat berjamaah, kami para guru wanita berkumpul membentuk lingkaran menikmati santap siang. Sambil sesekali kami bercerita.
"Bu Lisa, aku tuh asli pengen ketawa pas bu Lisa cerita tentang Sinus yang mati sambil nangis. Tapi nggak tega lihat Ibu yang sedih banget." Kata bu Ani disambut anggukan hampir seluruh ibu-ibu.
"Aih, saya kan memang sedih. Sinus sudah seperti anak lanang," kataku dengan senyum.
"Terasa banget kehilangan," lanjutku.
Yang mendengar jawabanku tertawa. Hanya karena kematian seekor kucing, aku bisa menjadi sangat melo, menangis sesenggukan di kantor, dan itu membuat teman seperjuangan ikut merasakan. Walaupun sebetulnya mereka ingin tertawa.
*******
Cerita ini hanya untuk mengenang kalian sahabat, selama aku berada di tengah-tengah kalian hampir enam tahun. Rasa bahagia, banyak belajar dari kalian, membuatku merasa kalian adalah keluargaku. Aku merindukan kalian sahabat, rindu suasana bersama kalian.
#OneDayPost
#EdisiMerinduAs-Salaam
Tags:
Cerpen
10 komentar
Maaf mbak lisaa... Aku juga ngakak ini bacanyaa...
ReplyDeleteIya maaf mbak lisa nggak ikut sedih..malah ngakak..asli mbayangin Mb lisa nangis
ReplyDeleteHahaha, iya de, mbak wid, tp pas aku cerita sambil nangis itu, semua serius dengerin...
ReplyDeleteHahaha, iya de, mbak wid, tp pas aku cerita sambil nangis itu, semua serius dengerin...
ReplyDeleteSinus..oh sinus...turut berduka ya say...jd kangen juga nih sm assalam...
ReplyDeleteHeeh bu, aaku juga jarang maen
DeleteHeeh bu, aaku juga jarang maen
DeleteSinus mati. Cari Cosinus...
ReplyDeletehahaha....
Cosinus waktu itu udah jad om nya Sinus bapak..dan masih hidul
DeleteCosinus waktu itu udah jad om nya Sinus bapak..dan masih hidul
Delete